Mempersoalkan Ekosistem Kreatif Surabaya
Saya masih terus bertanya-tanya mengapa dunia kesenian di Surabaya mandeg? Okelah kalau bicara kesenian dianggap terlalu muluk, mengapa dunia kreatif kita juga kalah berkembang dibanding kota lainnya?
Jagat kesenian sebenarnya bagian dari dunia kreatif. Atau kini lebih dikenal dengan istilah industri kreatif. Tapi keduanya sama-sama membutuhkan ekosistem yang sama untuk bisa berkembang. Tidak bisa berdiri sendiri. Perlu ada desain khusus untuk menumbuhkembangkan.
Lihatlah Jogjakarta. Yang belakangan mampu menggeser kiblat seni kontemporer dari Bandung. Bahkan juga seni lainnya. Lewat ArtJog dan berbagai kegiatan kesenian yang tak pernah berhenti. Penuh gairah. Meski baru mati suri karena pandemi.
Kebangkitan para senimannya mengesankan. Pameran lukisan berlangsung di mana-mana. Seni pertunjukan juga ikut menggeliat atau digeliatkan. Berbagai komunitas seni bermunculan dengan karyanya.
Jujur saya belum bisa move on dari kekaguman saya tentang ArtJog. Inilah peristiwa kesenian yang digelar seorang seniman swasta dan berlangsung terus sampai lebih dari satu dekade. Sejak tahun 2010 lalu. Yang sebelumnya menjadi bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Sesuai namanya, ArtJog digelar di Jogjakarta. Di Jogja Nasional Museum (JNM). Satu kilometer arah barat dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Atau sekilo dari Titik Nol Jogja. Tahun ini, diselenggarakan sejak 7 Juni hingga 4 September. Ini pameran seni kontemporer yang lagi hits.
Dianggap sukses karena bisa bertahan selama 12 tahun. Dengan kualitas pameran yang terus meningkat. Dengan pengunjung yang terus berkembang. Meski untuk bisa menikmati karya-karya seniman itu sekarang harus membayar Rp75 ribu. Kini banyak pengunjung remaja berdatangan.
Di Surabaya, yang bisa mengalahkan konsitensi penyelenggaraan ArtJog hanya Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI). Yang digelar seniman swasta. Kalau ArtJog diprakarsai Heri Pemad, PSLI dipandegani seniman yang juga Pemimpin Redaksi ngopibareng.id M Anis lewat Yayasan Merah Putih.
Tapi jangan bandingkan ArtJog dengan PSLI. ArtJog digelar di tempat bergengsi. Sedangkan PSLI seperti gelandangan yang setiap tahun bingung dengan venue yang akan jadi tempat pameran. Minimal bingung dengan cara membayar sewa tempat pamerannya. Ups….
Mengapa ArtJog bisa berkembang dan bisa menggeser kiblat seni kontemporer dari kota lain? Ini yang menarik untuk dibahas. Rasanya tidak ada salahnya kita belajar dari keberhasilan mereka dalam membangun sebuah peristiwa kesenian.
Yang pasti tidak adil hanya mengandalkan orang per orang dalam membangun dunia kreatif sebuah kota. Sukses ArtJog bukan hanya karena Heri Pemad. Seniman yang menjadi inisiator sekaligus manajemennya. Yang juga penyelenggara ArtBali.
Bambang Paningron, pelaku seni Jogja melihat kuncinya ada di ekosistem. "Kreatifitas bisa didrive, tapi ekosistem butuh waktu yang panjang untuk mendorongnya. Art Bali pun tidak bisa menyaingi Art Jog, meskipun diinisiasi oleh manajemen yang sama (Heri Pemad). Selebihnya adalah persoalan Tata Kelola," katanya.
Dibanding kota lain, Jogja kini memang betul-betul istimewa. Kota ini memiliki 5 elemen penting penopang ekosistem kesenian. Apa itu? 5 K: Kraton, Kampung, Komunitas, Kampus dan Keprajan. Yang disebu terakhir ini adalah pemerintah.
Keharmonisan kelima elemen ekosistem itu yang membuat dunia kreatif di Jogja bergairah. Kraton memberikan spirit, kampung menopang dan memberi ruang, komunitas menggerakkan, kampus menginjeksi gagasan, dan keprajan memfasilitasi dan menyiapkan sarana prasarana.
Surabaya sebetulnya bisa punya daya dukung seni yang kuat jika kelima elemen itu digerakkan bersama. Tentu dengan karakter yang berbeda dengan Jogja karena memang basis karakter masyarakatnya sudah tidak sama.
Nah bagaimana menggerakkan elemen-elemen ekosistem dunia kreatif jika satu sama lainnya tidak harmonis? Rasanya ini yang perlu menjadi renungan bersama. Termasuk elemen komunitas seni yang lebih suka gegeran ketimbang berkarya.
Di Surabaya punya tradisi kampung yang kuat. Bahkan banyak pihak yang menyebut Surabaya bukan kota. Melainkan kumpulan kampung-kampung. Komunitas keseniannya dulu sangat kuat. Sehingga muncul para perupa hebat, musisi handal, dan seniman tradisi yang membanggakan.
Memang Surabaya tidak punya kraton yang menjadi spirit menyatukan. Tapi punya karakter seduluran yang erat. Semangat dan keberanian yang menggelora. Sehingga bisa melahirkan gerakan rakyat melawan tentara sekutu dan melahirkan Hari Pahlawan.
Cukup banyak kampus yang bisa menopang gagasan dan memproduksi ilmu pengetahuan. Baik yang negeri maupun swasta. Hanya tidak punya perguruan tinggi seni. Namun banyak kampus swasta yang mengembangkan studi industri kreatif.
Hanya pemerintah atau keprajan yang perlu meningkatkan komitmen terhadap perkembangan dunia seni dan jagat kreatif. Yang sebetulnya bisa memiliki daya gerak yang tinggi karena bisa kolaborasi antara pemerintah kota dan provinsi.
Sayang, kelima elemen itu belum bisa harmonis satu sama lain. Akibatnya, dalam hal kesenian dan dunia kreatif, kita belum layak disebut ibukota Jawa Timur. Apalagi bermimpi menjadi kiblat untuk timur Indonesia.
Atau memang kita sudah puas dengan kondisi sekarang? (Arif Afandi)