Memperkokoh Civil Society Cendekiawan NU Menulis Kebijakan LDII
Buku tentang nilai-nilai kebajikan dalam jamaah LDII, dari amal saleh hingga kemandirian yang diluncurkan di Sadjoe Cafe & Resto, Jakarta Selatan, pada Senin, 17 Juli 202. Buku ini menarik karena ditulis oleh seorang cendikiawan NU, Dr. Ahmad Ali MD, M.A, mengingat sampai sekarang masih ada perbedaan pandangan dari sebagian warga NU terhadap jamaah LDII.
Dosen yang juga anggota Majelis Ulama Indonesis (MUI) tersebut mengatakan bahwa buku yang diterbitkan oleh Deepublish Yogyakarta itu merupakan hasil riset yang ia lakukan cukup lama.
Ia ingin meluruskan stigma negatif bahwa jamaah LDII itu eksklusif. Bahkan sampai ada yang menyebut kalau ada orang lain yang salat di Majid LDII, lantainya langsung dipel. Jamaah LDII tidak mau menjadi makmum kalau imamnya bukan orang LDII.
"Dalam riset itu saya tidak menemukan fakta itu. Yang saya lihat malah sebaliknya, LDII organisasi keagamaan yang inklusif, bisa kerja sama dengan siapa pun sejauh untuk fastabikul khoirot," kata Ahmad Ali.
Namun istilah hasil riset seperti yang disebutkan oleh penulis dimentahkan oleh pakar komunikasi dan guru besar Universitas Indonesia Ibnu Hamat.
"Lebih pas kalau disebut hasil investigasi untuk kepentingan pribadi. Terlalu dangkal kalau disebut hasil riset. Karena riset itu ada metodologinya. Tetapi dalam buku ini saya tidak menemukan," kata Ibnu.
Tapi ia menghargai ikhtiar yang dilakukan oleh intektual NU supaya LDII diterima di seluruh lapisan masyarakat tanpa prasangka.
CEO Deepublish, An Nuur Budi Utama menyatakan tertarik menerbitkan buku penelitian mengenai LDII, karena sorotan kepada mereka sangat kontroversial. Di satu sisi LDII telah memberikan kontribusi positif sebagai ormas terhadap pembinaan karakter warganya. Sementara di sisi lain, terdapat orang-orang yang mengaku disesatkan oleh LDII.
Selain rasa penasarannya terhadap LDII yang menjadi latar belakang penerbitan buku itu, Budi memandang perlunya umat Islam melihat dengan jernih kontribusi ormas-ormas atau kelompok-kelompok Islam dalam bernegara.
“Perbedaan itu selalu ada, dan tentu keyakinan dan penerjemahan manusia terhadap teks agama berbeda-beda. Di sinilah perlunya toleransi dan menghormati perbedaan,” tegas Budi.
Dalam bingkai civil society, keberadaban bangsa sangat ditentukan oleh sumbangsihnya terhadap kemanusiaan dan lebih lebar lagi, bagaimana ormas-ormas bergandengan tangan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberagaman ormas agama di Indonesia merupakan anugerah, yang bisa menjadi potensi besar untuk pembangunan nasional.
“Perbedaan keyakinan adalah persoalan persepsi. Tiap orang meyakini kebenaran dengan berbeda-beda pula. Maka, tidak bisa satu otoritas melabel sesat pihak lain. Kecuali, sudah mengingkari konsensus bersama seperti Pancasila bahkan melakukan tindakan yang melanggar hukum dan ketertiban masyarakat.
Budi mengajak semua pihak bersabar dalam menyikapi perbedaan. Kelas dominan yang memegang otoritas 'kebenaran' pun harus memandang perbedaan tersebut sebagai hal yang natural.
“Bila berbeda jangan dipaksakan untuk sama, bila sama jangan dibedakan. Inilah yang menjadi prinsip dalam toleransi beragama di Indonesia yang beragam suku, agama, dan rasnya,” imbuh Budi.
Ia pun menekankan, setiap kelompok-kelompok agama memiliki dogma tertentu yang hanya berlaku di dalam kelompoknya. Dogma itu biasanya ditekankan dalam acara yang sifatnya internal dan privat.
“Menjadi persoalan ketika dogma yang sifatnya internal di-blow up ke ranah publik. Tentu, yang menyebarluaskan dogma dari ranah privat ke ranah publik memiliki maksud tertentu,” katanya.
Menurutnya, tentu saja dogma yang sifatnya privat itu menjadi sensasi atau kontroversi di tengah publik. Hal tersebut memicu keresahan bahkan pertikaian, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam beragama. Tentu, kita juga patut mempertanyakan pihak-pihak yang mendiskreditkan LDII, apa maksud dan tujuan mereka. “Memecah belah umat atau ada motif pribadi?” tanya Budi.
Dalam pandangannya, warga LDII sebagaimana umat Islam lainnya yang santun dan ramah. Fokus mereka adalah pembinaan karakter generasi mudanya.
“Generasi muda LDII tidak seperti layaknya generasi muda umumnya, yang berhura-hura atau terlibat kenakalan remaja. Ini menjadi salah satu nilai positif dari jamaah LDII,” ujar Budi.
Dalam buku berjudul “Nilai-Nilai Kebajikan dalam Jamaah LDII dari Amal Saleh Hingga Kemandirian: Menggali dan Mengkreasikan Hikmah dalam Kehidupan”, Ustadz Ali mengirimkan pesan, LDII yang dilabeli sesat oleh pihak-pihak tertentu memiliki nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal, dan membangun karakter yang khas bagi warganya.
Terkait LDII, Ustadz Ali dalam kata pengantar bukunya mengatakan bahwa kebencian seorang mukmin terhadap orang lain mengenai sesuatu yang dibawanya, tidaklah boleh menjadikannya menolak sesuatu hikmah ataupun kebaikan yang dibawa orang lain itu.
Bahkan justru, ia hendaknya mengambil hikmah dan mengamalkannya (al-istifâdah wa-al-’amal bi-hâ) dari apa pun wadah keluarnya hikmah dan melalui lisan siapa pun munculnya hikmah itu.
Ia menguraikan setidaknya 11 nilai positif dalam LDII, yakni (1) amal saleh; (2) kebersihan, kesucian, dan kerapian; (3) kedisiplinan; (4) solidaritas; (5) rukun, koordinasi, soliditas, dan kekompakan; (6) persaudaraan (ukhuwah); (7) menghormati tamu (ikrâm al-dhaif); (8) musyawarah; (9) kerja sama yang baik; (10) kepedulian sosial; dan (11) kemandirian. Di antara nilai-nilai kebajikan tersebut dalam term LDII dikenal dengan istilah/sebutan Enam Tabiat Luhur.