Memperjuangkan Hidup
Sabtu, 30 November 2019, saya menghadiri pernikahan seorang kawan. Doktor yang berjuang mencari cinta. Setelah sekian pinangan bertepuk sebelah tangan, akhirnya pelaminan digenggam.
Istrinya berprofesi seorang dokter gigi. Beragam penolakan membuat dia yakin, cinta harus diperjuangkan. Tak heran, kepastian yang ditawarkan.
“Dua kali ketemu, pertemuan ke dua, Ane langsung minta sama Babehnya,” jelasnya dengan mata berbinar.
Awalnya, pernikahan itu sedikit ada halangan. Pokok perkara, kakak sang gadis juga ingin menikah. “Tak baik, melangsungkan dua pernikahan dalam setahun,” ucap calon mertuanya waktu itu.
Rencananya, sang kakak akan menikah pada 2020. Tapi, tak mau kehilangan kesempatan, Abang doktor itu pun sigap bermanuver. Menawarkan sesuatu yang tak bisa ditolak.
“Saya minta izin menikah di bulan November,” rajuknya ke sang calon mertua. Gayung pun bersambut, calon istrinya pun mengamini permohonan itu. Jadilah, dua pesta digelar.
Tanggal 22 November, akad nikah dan resepsi digelar mempelai wanita. Abang Doktor memilih 30 November. Tentu saja dengan adat Betawi. Sepasang ondel-ondel dipajang di pintu masuk tenda.
Kisah cinta Abang Doktor ini mengajarkan kepada kita, semua hal dalam hidup harus diperjuangkan. Termasuk cinta. Agar kita bisa menikmati proses dan hasilnya.
“Bagaimana setelah menikah?” tanya saya. Dia terdiam. Namun wajahnya cerah sekali. “Bahagia, nikmat sekali,” jawabnya dengan mata berbinar.
Setiap melihat kawan menikah, saya juga merasakan kebahagian. Cinta jadi perlambang kasih sayang yang luar biasa. Jadi, saat menemukan ada teman atau kenalan yang akhirnya berpisah karena cerai setelah menikah, sedihnya luar biasa.
Namun, tiap perpisahan itu selalu ada sebabnya. Bisa urusan prinsip atau urusan sepele. Bagi saya, bila sebelumnya mereka disatukan tanpa perjuangan cinta, perpisahan itu gerbang selanjutnya.
Bagi laki-laki dan perempuan dewasa, perpisahan bisa dianggap biasa. Hidup yang harus dilewati. Lantas sambil berderaknya waktu, hidup berganti.
Namun, bagi yang punya anak, cerita bisa berbeda. Bisa jadi, anak-anak menjadi ringkih karena kehilangan dua figur utama. Mudah marah karena merasa ditinggalkan.
Bila kedua orang tuannya dewasa, tentu bisa melewatinya dengan baik. Mereka masih berbagi tanggung jawab. Berbagi waktu pengasuhan. Terutama berbagi biaya kesehatan dan pendidikan.
Jadi walau dipisahkan status suami istri, namun tanggung jawab sebagai manusia tetap dilaksanakan. Memenuhi kodratnya. Menyebarkan kasih sayang ke semesta.
Namun, saya menemukan banyak perpisahan yang tidak ideal. Para kenalan perempuan itu yang ditinggalkan. Sedangkan para pria sudah sibuk dengan dunianya.
Anak-anaknya, mereka serahkan ke ibunya. Alhasil, sang ibu harus berjibaku. Membanting tulang mencari penghasilan. Agar kehidupan anak-anaknya tetap terjaga.
Namun, kembali ke para pria. Seharusnya mereka bertanggung jawab untuk anaknya. Saya tak tahu apa yang dipikirannya. Sadar saat bergelut agar melahirkan anak, namun selak saat disodori tanggung jawab.
Ada seorang teman, yang sangat menghormati janda atau single parent. Dia merasa, itulah ladang ibadahnya menuju surga. Dia akan ringan tangan membantu mereka.
“Ibu itu segalanya. Bisa kamu bayangkan betapa berat perjuangannya. Allah itu bersama mereka yang berusaha dengan keras,” ujarnya memberi petuah.
Harapannya, dengan membantu para janda itu, dia ingin kecipratan berkah dari Allah SWT. Turut mencicipi nikmat surga yang dijanjikan. Melu mulyo.
Itu pula, betapa teman saya ini sangat menghormati ibunya. Apa saja yang diminta ibunya, tak ada kata tidak. Sesekali dia masih memijat kaki ibunya.
Beberapa kali, dia mencuci kaki ibunya. Pernah juga diminum bekas cucian kaki itu. Ibunya melarang atas perilakunya itu, sambil menangis tentu saja.
Namun, saat ibunya menangis, di situlah dia merasa, berkah dan kasih sayang ibunya tertumpah sempurna. Keiklasan ibu, adalah keiklasan Tuhan. Sehingga dia yakin, langkah hidupnya menjadi semakin terang dan berkah.
Tak heran, kini dia sukses bukan kepalang. Perusahaannya banyak. Sebuah usahanya saja menghidupi hampir 15 ribu karyawan. Kalikan empat saja dengan anggota keluarganya, berapa jiwa yang tergantung pada dia.
Peristiwa itu kadang saya sampaikan ke teman. Bila ada yang bertanya, bagaimana memulai hidup yang benar. Bagi saya, berdasarkan pengalaman teman itu, menyenangkan ibu itu tiket utama kesuksesan.
Ada yang tertarik untuk mencobanya. Tapi, ada kenalan, yang menganggap perilaku itu tak masuk akal. “Ilmu dari mana itu?” sergahnya. Namun, saya tak mau membantahnya.
Dalam hati, saya hanya membatin, “Apa hidupmu sudah benar?” Faktanya, hidupnya kacau balau. Tak ada tanggung jawab sama sekali. Anak dan istrinya ditelantarkan. Sibuk dia mengurus syahwat laki-lakinya.
Namun, karena dia sudah dewasa, hidupnya adalah tanggung jawabnya sendiri. Maklum, dari muda seluruh hidupnya sudah dicukupi orang tua atau mertuanya. Dari rumah, mobil, pekerjaan, hingga memulai wiraswasta.
Hasilnya? Tak sukses sama sekali. Memang, mana ada orang tua yang kuat melihat anaknya tanpa daya. Namun, uluran tangan orang tua yang terlalu ketat itu malah menghancurkan segalanya. Tak ada kemandirian. Tak ada semangat juang atas hidupnya.
Itupula yang terjadi atas kehidupan cintanya. Saat cintanya tak diperjuangkan, semua asa hilang. Entah, akan jadi apa dia nanti.
Ajar Edi, kolomunis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id