Memperebutkan Makna Tanpa Kekerasan
Islam selalu mengajarkan akan kedamaian. Dakwah tanpa kekerasan, merupakan jalan damai untuk menenamkan nilai-nilain ajarannya. Hingga berkembang di Bumi Nusantara ini.
KH Husein Muhammad memberikan catatan penting tentang hal itu, seperti berikut ini:
Perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan atas suatu teks atau suatu objek merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia muncul sejak manusia mulai berfikir dan berkebudayaan. Ia berlangsung bukan hanya dalam masyarakat muslim, tetapi juga di dalam semua penganut semua agama.
Dalam masyarakat Muslim, perdebatan itu telah melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran keagamaan bahkan ideologi-ideologi, dalam berbagai dimensinya. Pada dimensi fiqh, dikenal dua aliran besar, ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y. Aliran pertama memperlihatkan pemahaman atas teks-teks keagamaan cenderung lebih tekstualis (harfiah/literal) dan mempercayai sumber berita, sementara aliran yang kedua lebih rasional dan lebih melihat kandungan (isi) dari informasi teks tersebut. Banyak orang menyebut yang pertama sebagai aliran tradisionalis, dan yang kedua, aliran rasionalis.
Ada pertanyaan-pertanyaan yang selalu disampaikan orang: Apakah teks harus diterima menurut arti lahiriahnya atau bisa di-ta’wîl (tafsîr)? Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa ditanyakan “mengapa’? atau tidak bisa?. Atau dalam bahasa Arab dikatakan:
هل الاحكام معللة بعلة ام لا
(hal al-ahkâm mu’allalah bi ‘illah am lâ)?
Apakah akal bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks berlawanan dengan logika-rasional atau dengan realitas empiris, manakah yang harus diprioritaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam dengan argumentasinya masing-masing.
Tak ada perbedaan dalam Tujuan
Sesungguhnya kedua aliran tersebut tidak jauh berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semuanya sepakat bahwa hukum-hukum Islam adalah untuk mewujudkan kebaikan, keadilan dan menegakkan kemaslahatan (kesejahteraan) manusia. Kebaikan, Keadilan dan kemaslahatan (kesejahteraan) adalah tuntutan umat manusia di tempat manapun dan pada zaman kapanpun. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam. Izz al-Din bin Abd al-Salam ( 578-606 H), berpredikat ‘Sulthan al-Ulama” (Sultan para ulama), mengatakan :
"التكاليف كلها راجعة الى مصالح العباد فى دنياهم وأخراهم. "(قواعد الاحكام فى مصالح الانام,
“Semua hukum Tuhan ditetapkan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya di dunia maupun akhirat”. (Qawa’id al-ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz II, hlm. 73)
Di tempat lain al-Izz mengatakan :
كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل
“Setiap tindakan atau keputusan hukum yang tidak menghasilkan tujuannya, maka ia batal dengan sendirinya”. (Qawa’id al-Ahkam, II, hlm. 121)
Gus Dur Melampaui
Terlampau sulit untuk dapat disangkal bahwa KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah symbol pembaruan dalam pemikiran dan kehidupan social di dunia muslim, khususnya di Nusantara.
Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi kepentingan ini. Ia hadir dengan pikiran dan gagasan yang mengagumkan, cemerlang, mencerahkan sekaligus mengguncangkan publik, dengan caranya sendiri yang unik, eksklusif, menyusupi ruang-ruang tradisi dan kadang diselimuti misteri.
Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbentang lebar. Gus Dur tidak hanya pandai mengaji kitab suci, sabda Nabi, dan khazanah keilmuan Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga menelaah beribu buku dari dan dalam beragam bahasa.
Ia membaca dengan lahap dan menyerap dengan riang pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa melihat asal usul dan keyakinan mereka, hingga piawai dalam pengetahuan social, budaya, seni, musik, sastra, politik dan agama-agama dunia.
Pengetahuan Gus Dur melampaui sekat-sekat primordialisme. Ia melampaui tradisi tempatnya dilahirkan dan dibesarkan yang sering melihat sesuatu dengan sekat "mu'tabar" atau "ghair mu'tabar", pembaruan intelektual sudah tertutup. Dan bersahabat dengan siapapun, tanpa sekat-sekat primordial.
Demikian catatan KH Husein Muhammad.
Advertisement