Memperebutkan Makna Gus Dur, Begini Kata Mereka
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Desember tahun ini, telah genap sepuluh tahun wafatnya. Maka, di Pesantren Tebuireng Jombang pun digelar Haul ke-10 Gus Dur yang puncaknya, Sabtu 21 Desember, dihadiri langsung penceramah kondang, KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha’).
Seorang sahabat Gus Dur, KH Husein Muhammad menuturkan pandangannya akan eksistensi Gus Dur hingga kini. Lewat tulisan bertajuk "Memperebutkan Makna Gus Dur", berikut bagian awalnya:
Gus Dur, nama yang akan dikenang rakyat Indonesia berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun tahun dan untuk rentang waktu yang panjang. Boleh jadi ia akan menjadi legenda dalam sejarah bangsa Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini.
Beberapa orang meramalkan Gus Dur untuk satu atau dua abad kemudian akan berubah menjadi pribadi yang dimitoskan. Kuburannya akan dikunjungi banyak orang setiap hari, seperti para Wali Sanga atau para bijakbestari lain di dunia, seperti Ibn Arabi, Maulana Rumi, Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, Sayyed Badawi, dll. Hari kematiannya akan diperingati setiap tahun (haul) yang dihadiri beribu orang dari berbagai penjuru, dari desa dan kampung. Mereka hadir dalam rangka mendengarkan lagi kisah hidupnya yang sarat makna kebaikan dan keteladanan, di samping sebagai tanda rasa hormat, dan mendoakannya.
Mungkin hal ini oleh sebagian orang dianggap sebagai pandangan yang berlebihan, mengada-ada atau tidak masuk akal bagi manusia yang hidup hari ini. Tetapi masa depan yang panjang adalah kemungkinan-kemungkinan yang tak terpikirkan. Manusia tak pernah tahu hari esok. Hanya Tuhan yang Mengetahinya.
Ketika pikiran-pikirannya ditulis sebagai babad, sejarah hidupnya didongengkan kepada anak-anak dan pesan-pesannya dipahat di mana-mana, serta ketika puisi-puisinya disenandungkan di surau-surau, ia sangat mungkin menjadi sarat makna mitis, menjadi Sang Legenda.
Ramalan di atas bukan tanpa alasan. Tanda-tandanya telah tampak di mana-mana. Lihatlah, hari ketika Gus Dur wafat. Puji-pujian dan kekaguman-kekaguman kepadanya mengalir begitu deras dari berbagai sudut, pojok, pusat lingkaran dan pinggir social yang tak terjamah oleh tangan kekuasaan. Mereka yang di pasar-pasar, di sawah-sawah dan di kebun-kebun membicarakannya dan merasa ada yang hilang dari dirinya, meski tak mengenalnya dari dekat.
Bunga warna warni yang wangi dan tertata rapi menyebar dan berhamburan ke dan di setiap jalan yang dilaluinya, menumpuk bagai di taman bunga, lalu sebagian daripadanya ditebarkan di atas tanah, pusara, tempat istirahnya yang terakhir dan abadi. Sangatlah terasa dan terlihat dengan kasat mata, pujian dan kekaguman yang disampaikan orang ketika Gus Dur pulang begitu besar, tak terbayangkan dan melampaui kematian orang besar siapapun di negeri ini.
Ribuan orang di berbagai kota dan desa menangis tersedu-sedu, pada hari ditinggal Gus Dur dan hari-hari sesudahnya. Mereka berduka sambil komat-kamit memanjatkan do’a ampunan dan rahmat baginya. Lihatlah, ribuan para peziarah, perempuan dan laki-laki, tua, muda dan anak-anak, dari berbagai desa dan kota datang ke tempat peristirahatan terakhirnya di Tebuireng. Latar pesantren dan masjid di sana tak lagi menampungnya. Sekitar 40 ribu orang hadir di sana.
Masjid-masjid di seluruh pelosok negeri segera menyelenggarakan shalat ghaib, membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, surah Yasin dan Tahlil. Mereka berdo’a agar Tuhan memaafkan kesalahan dan dosanya serta memohon agar beliau ditempatkan di Pangkuan-Nya dalam dekapan kasih yang menghangatkan dan mengalirkan kedamaian. Pahala bacaan-bacaan suci itu dihadiahkan atau dimohonkan kepada Tuhan untuk beliau. Tuhan Maha Mendengar, Maha Kasih dan Maha Mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya.
Gereja-gereja mendentangkan loncengnya, untuk menyelenggarakan ritual dan do’a khusus bagi Gus Dur. Boleh jadi mereka juga membaca kitab suci: Injil atau Bible. Kuil-kuil, Sinagog-sinagog, Vihara-vihara, Pure-pure, Klenteng-klenteng dan tempat-tempat penyembahan kepada Tuhan yang lain, apapun namanya, juga menyelenggarakan ritual, mantra dan do’a untuknya.
Kata mereka, Gus Dur adalah orang suci, sang Santo. Ketika kaum Kristiani, umat Budha, umat Hindu atau jama’at Ahmadiyah, atau berbagai aliran kepercayaan atau yang lain ditanya tentang Gus Dur, mereka akan mengatakan : “Apa yang dikatakan dan dijalani Gus Dur, itulah yang difirmankan Yesus, diajarkan Moses, dituturkan Sang Budha, disabdakan dalam Baghawad Gita, disabdakan dalam Tipitaka dan diceramahkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Melalui beliau kata-kata Yesus, Moses (Nabi Musa), Budha Gautama, Gita dan Hazrat Mirza, menjadi hidup kembali”.
(Bersambung)
12.12.19
HM