Memosisikan Muslim di Bali, Gus Ghofur: Rahmat Patut Disyukuri
Bali selalu mengesankan adanya keindahan. Keindahan alam, sekaligus keindahan masyarakatnya. Lalu bagaimana sesungguhnya Islam berkembang di Pulau Dewata?
KH Abdul Ghofur Maimoen mempunyai pengalaman khusus, terkait posisi Muslim di Bali.
Berikut petikannya:
Pada Desember 2022, tanggal 21 hingga 23, Majelis Masyayikh punya gawe di Bali. Hari terakhir kebetulan hari Jumat. Senang sekali rasanya, kawan-kawan muslim di sana mengajak saya melaksanakan salat Jumat di salah satu Mushalla.
Menurut sebuah informasi, tanah yang digunakan mushalla tersebut adalah tanah wakaf. Saya lebih cenderung memahami, selama tanah telah diwakafkan untuk salat lima waktu maka statusnya adalah masjid meski tetap bernama mushalla. Tentu ini adalah persoalan khilafiyah, dan catatan ringan ini tidak bermaksud membahasnya.
Selain itu, Salat Jumat tidak harus dilaksanakan di dalam masjid menurut pandangan Syafiiyah. Jadi, tidak ada korelasinya antara status mushalla—sebagai masjid atau tidak—dan berlangsungnya Salat Jumat.
Menghormati Muslim Bali
Saya kebetulan ditunjuk oleh Takmir untuk berkhotbah. Bermaksud menghormati muslim-muslim di Bali yang telah sangat berbaik hati, saya mengiyakannya meski sejatinya diliputi oleh kekhawatiran tidak mampu menjalankannya dengan baik. Jadwal rutin khotbah Al Faqir hanya di dua masjid kecil di desa setempat. Khotbah di Bali tentu sesuatu sekali
Saya hanya mampu menyampaikan seputar hal-hal berikut ini, yakni bahwa umat Islam di Bali adalah rahmat yang perlu disyukuri. Keberadaan mereka adalah potitif, bagi muslim dan non-muslim. Bagi non-muslim, keberadaan umat Islam di sana memberi kesempatan untuk berinteraksi secara langsung. Pengetahuan mereka tentang umat ini, dengan begitu, tidak lahir dari “katanya”, akan tetapi dari pengalaman bersentuhan langsung.
Bertahun-tahun lalu, Amrozi cs. telah memberi kesan yang mendalam betapa di antara umat Islam ada pribadi-pribadi yang jika tidak setuju dengan sesuatu maka reaksinya adalah memporak-porandakannya. Bahkan, bisa jadi melalui bom yang membawa korban manusia. Saya kira kesan ini belum sepenuhnya hilang. Perisiwa pengeboman itu telah dijadikan monumen. Beberapa—bahkan mungkin banyak—turis tampak mengambil poto di depannya. Mereka mungkin hanya bermaksud mengenang 202 korbannya, akan tetapi secara tidak langsung itu juga berarti mengenang pengebomnya.
Kesan-kesan ini akan segera hilang manakala umat Islam memberi kesan yang sangat baik di Pulau Bali ini: ramah-ramah, rapih dan bersih, baik hati kepada setiap manusia, banyak yang berprestasi, dan punya peran yang besar dalam pembangunan kemanusiaan dan perekonomian.
Dahulu saat masih berada di Makkah, Nabi Muhammad Saw. pernah mengirim sejumlah sahabatnya ke Habasyah, negeri Kristen yang rajanya berlaku adil kepada rakyat. “Di Habasyah, ada seorang raja yang di wilayah kekuasannya tak seorang pun dizalimi,” kata Nabi Muhammad Saw. seperti diriwayatkan oleh Ibn Isḥāq.[1] Pada hijrah ke Habasyah yang kedua, umat Islam yang berangkat ke sana mencapai 102 atau 103, 83 laki-laki dan 18 atau 19 perempuan.[2] Itu artinya Nabi Muhammad mengizinkan mereka tinggal di Habasyah sebagai minoritas.
Sejumlah buku biografi para sahabat Nabi meriwayatkan bahwa seorang sahabat bernama Fudaik tampak resah. Ia telah masuk Islam akan tetapi tidak berhijrah ke Madinah. Ia datang ke Madinah mengadu kepada Baginda Rasul Saw., “Mereka beranggapan bahwa siapa yang tidak berhijrah akan celaka!” Beliau menjawab, “Wahai Fudaik, dirikan salat, tunaikan zakat, tinggalkan hal-hal buruk, dan tinggallah di mana pun engkau suka dari negeri kaummu. Dengan demikian, engkau telah berhijrah.”[3]
Menghormati Anak Negeri
Riwayat berikut sejalan dengan kebijakan beliau saat memerintahkan Fudaik tetap tinggal di negerinya:
البلاد بلاد الله والعباد عباد الله فحيثما أصبت خيرا فأقم
“Seluruh negeri adalah milik Allah dan semua manusia adalah hamba Allah. Karena itu, di mana pun kamu semua dapat memperoleh rezeki yang baik dan bisa pula beperilaku baik maka tinggallah di sana,” dawuh Nabi Muhammad Saw. riwayat Imam Ahmad bin Hambal dengan sanad yang dhaif.[4]
Keberadaan muslim di sini juga sejalan dengan universalitas Islam. Sejak semula, Islam adalah risalah dunia. Ia harus disuarakan ke seluruh penjuru bumi. Keberadaan muslim di semua jengkal bumi menjadi bermakna, minimal sebagai pemenuhan terhadap tuntuan universalitas Islam. Berbagai fatwa yang memerintahkan kepada umat Islam agar kembali dari wilayah-wilayah minoritas menuju wilayah-wilayah mayoritas rasanya kurang mempertimbangkan hikmah ini.
Sementara bagi umat Islam, keberadaan Islam di sini sangat dibutuhkan. Muslim-muslim baru menjadi punya teman dan dapat belajar dengan baik tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin; muslim-muslim dari luar yang kebetulan berkunjung ke Bali dapat menjalankan salat Jumat karena di sini ada muslimnya dengan jumlah yang sifnifikan; Pilihan makanan yang menentramkan hati juga menjadi termudahkan karena ada kawan-kawan muslim.
Itu semua berarti umat Islam harus baik dan kuat dalam berbagai bidang, terutama tentu saja adalah kuat secara akidah. Mereka harus mampu bergaul dengan umat lain tanpa kehilangan jati diri. Dalam rangka ini, ada kalanya harus berkumpul dalam komunitas sesama muslim, akan tetapi juga ada saatnya harus bergaul dengan sesama bangsa. Semoga Gusti Allah Swt. merahmati dan membimbing muslim-muslim di manapun agar menjadi etalase yang baik, sehingga tak ada yang salah paham tentang Islam.
Tentu tidak semua yang saya tulis ini adalah materi khotbah. Ini hanya seketsa umumnya saja.
Wallāhu a’lam bi aṣ-ṣawāb.
Catatan:
[1] Ibn Hisyām, As Sīrah an Nabawiyyah, jilid 1, hal. 280.
[2] Al Mubārakfūriyy, Ar Raḥīq al Makhtūm, hal. 83.
[3] Ibn al Aṡīr al Jazariyy, Usud al Ġābah, jilid 4, hal. 334; Ibn ‘Abd al Barr, Al Istī’āb, jilid 3, hal. 1268; Ibn Ḥajar al ‘Asqalāniyy, Al Iṣābah, jilid 5, hal. 272. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya, jilid 11, hal. 202.
[4] Al Imām Aḥmad, Al Musnad, jilid 2, hal. 198.