Memelihara Anjing Boleh, lho! Ini Penjelasan Imam al-Syathibi
Sikap yang umum di kalangan komunitas Muslim terhadap anjing adalah cenderung negatif. Saya tidak menggeneralisir, tetapi saya hanya bicara tentang trend umum.
Di beberapa komunitas Muslim, seperti Muslim di tanah Minang, atau komunitas Muslim yang hidup di kawasan Sahara, sikap mereka terhadap anjing justru cenderung positif. Bahkan anjing merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Tetapi memang benar, bahwa secara umum, sikap umat Islam terhadap anjing cenderung negatif. Zaman saya kecil dulu, pemandangan seperti berikut ini sudah jamak dan umum: anak-anak, bahkan kadang termasuk orang dewasa juga, mengejar (istilah kami dulu "mlecit" - - mengejar sampai terkaing-kaing) anjing, seraya melemparinya dengan batu.
Pandangan negatif soal anjing ini, sebagian, berhubungan dengan pandangan fikih yang umum diikuti oleh umat Islam di kawasan Melayu atau Nusantara, yaitu fikih mazhab Syafii. Menurut mazhab ini, bersentuhan dengan anjing dalam keadaan badan kita atau anjing itu basah, bisa menyebabkan kita terkena najis mughalladzah, najis yang berat (a gross uncleanliness).
Mazhab lain dalam Islam, seperti mazhab Maliki misalnya, sikapnya cenderung lebih "lunak" terhadap anjing (kutipan pandangan Imam Malik tentang anjing bisa dibaca melalui gambar/skrinsyut yang saya sertakan di bawah). Di kalangan para sufi, sikap terhadap anjing justru jauh lebih lunak anjing.
Ada banyak kisah yang memperlihatkan persahabatan yang erat antara sufi dan binatang ini, menggaungkan semangat yang termuat dalam kisah Ashab al-Kahfi atau "seven sleepers" dalam Al-Quran (surah nomor 18/Surat Al-Kahfi).
Dalam tradisi intelektual Islam, pandangan terhadap anjing sebetulnya justru cenderung positif, berbeda dengan praktek di kalangan sebagian komunitas Muslim.
Salah satunya tercermin dalam syair yang digubah Imam al-Syathibi (w. 1194) dalam matan al-Syathibiyyah (judul aslinya: "Hirzul Amani) yang sangat populer di kalangan pengkajj ilmu qiraat (ilmu tentang perbedaan cara membaca Al-Qur'an).
Catatan selingan: Ada dua Imam al-Syathibi yang harus dibedakan, dan jangan dikelirukan satu dengan yanh lain. Imam al-Syathibi yang ahli dalam ilmu qiraat dikenal dengan Abu al-Qasim al-Syathibi, wafat 1194 M. Sementara Imam al-Syathibi yang masyhur melalui karyanya, al-Muwafaqat, dikenal dengan Abu Ishaq al-Syathibi, wafat 1388.
Tentang anjing:
Imam al-Syathibi dalam karyanya yang sudah saya singgung di atas ("Hirzul Amani") menyebut anjing dengan nada yang sangat positif. Anjing beliau gambarkan sebagai binatang yang loyal kepada tuannya, walau ia disakiti dan "dikuya-kuya" olehnya.
Kami akan kutipkan bait dari karya al-Syathibi tadi (mengikuti langgam "bahar thawil" dan "guru lagu" atau qafiyah berupa huruf "lam"; bait no. 90 - - dari total bait yang berjumlah 1173):
وقد قيل كن كالكلب يقصيه أهله #
وما يأتلى فى نصحهم متبذلا
Transliterasi: Wa-qad qila kun kal-kalbi yuqshihi ahluhu # W-ma ya'tali fi nush-hihim mutabadz-dzila
Secara garis besar bait ini mengandung makna sbb: jadilah seperti anjing yang terus loyal kepada "ahlahu" alias tuannya, walau tuannya itu "menggusah" atau mengusirnya.
Salah satu syarih atau komentator kitab al-Syathibiyyah ini menyebutkan sebuah riwayat yang menjadi rujukan bait ini.
Menurut komentator tersebut, bait al-Syathibiyyah tersebut merujuk kepada sebuah kisah dalam bangsa Yahudi yang diriwayatkan oleh Wahb ibn Munabbih, seorang tabi'in dan murid dari sahabat Nabi bernama Ibn 'Abbas. Wahb ibn Munabbih dulunya beragama Yahudi, kemudian masuk Islam, dan menjadi murid ternama dari Ibn' Abbas.
Dalam riwayat ini dikisahkan bahwa seorang rahib (mungkin seorang rabbi Yahudi) memberikan nasehat kepada muridnya sbb:
"Berilah nasehat dengan ikhlas demi Allah, begitu rupa sehingga engkau mirip anjing yang memberi nasehat kepada tuannya. Lihatlah, tuan-tuanjing anjing itu menyiksanya, membuatnya lapar, tetapi anjing itu terus sabar memberi nasehat tuan-tuannya itu dan loyal kepada mereka.
Kisah dalam tradisi masyarakat Yahudi yang dirujuk oleh Imam al-Syathibi ini menarik karena mengandung dua unsur yang bisa dianggap "myth buster", mengoyak dan mengoreksi mitos yang buruk tengang dua hal sekaligus: tentang bangsa Yahudi dan tentang anjing.
Apa yang ditulis oleh Imam al-Syathibi ini menunjukkan bahwa pandangan tentang anjing dalam tradisi tulis Islam klasik tidaklah seragam; sebagian besar justru sangat positif. (adi)
Advertisement