Memelajari Kitab Agama Sama di Pesantren, Muhammadiyah Kok Beda?
Tokoh-tokoh Muhammadiyah, sama dengan umat Islam lainnya di Indonesia, banyak yang tumbuh dari pendidikan Islam tradisional atau pesantren. Namun, meski belajar kitab Keislaman tradisional yang sama, para tokoh Muhammadiyah umumnya selalu menghadirkan pemaknaan baru dibandingkan dengan para alim dan cendekiawan Islam lainnya.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren (LP3M) Muhammadiyah, Khoiruddin Bashori menjelaskan penyebabnya.
Dalam Pengajian Ramadan 1443 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kamis pagi, Khoiruddin menyebut hal itu terjadi karena Muhammadiyah secara resmi memiliki pedoman penggunaan akal pikiran dalam beragama.
Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah (MKCH) menulis poin yang berbunyi, “Penjelasan dan pelaksaan ajaran-ajaran Alquran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.”
“MKCH itu luar biasa. Para pendahulu kita bikin rumusan yang long lasting, Muhammadiyah memakai Alquran dan Sunnah tapi dengan catatan memakai akal pikiran. Alquran dan hadis itu statis, sementara itu perkembangan zaman dinamis, karena itu penggunaan akal pikiran jadi unsur yang sangat penting dalam Persyarikatan,” jelasnya.
Penjelasan Padat Kiai Aslam Zainuddin
Khoiruddin kemudian mengingat kisah saat mendampingi kader Pemuda Muhammadiyah bersilaturahmi dengan para ulama dan kiai senior Muhammadiyah di Majelis Tarjih.
Saat itu, tokoh yang ditemui adalah Sekretaris Majelis Tarjih yang pertama, yaitu Kiai Aslam Zainuddin di Kauman. Khoiruddin lantas menanyakan masalah di atas.
“Logika kami adalah para Kiai Muhammadiyah itu kan dulu ngajinya juga di pesantren-pesantren tradisional. Lalu tentu kitab-kitabnya juga begitu. Dalam pikiran kami, kiai-kiai Muhammadiyah dulu berbeda istinbatnya karena punya kitab-kitab baru, punya bacaan-bacaan baru,” ungkap Khoiruddin.
“Ketika kita sowan ke Kiai Aslam Zainuddin, apakah kitab-kitab yang dibaca berbeda? itu dengan enteng Pak Kiai menjawab ya sama saja, wong kiai Muhammadiyah itu ngajinya juga di pesantren-pesantren tradisional,” imbuhnya.
“Lalu kita nanya lagi, tapi kok hasilnya beda? Kiai Aslam dengan gaya Quraisy, dengan gaya Kauman itu lalu menunjuk kepalanya sendiri dan berkata, Sing bedo pikirane. Jadi yang berbeda itu cara berpikirnya. Itu yang membuat Muhammadiyah dalam beberapa hal berbeda dengan saudara-saudara kita yang lain,” jelas Khoiruddin.
“Di Persyarikatan ini, ketajaman logika, kemampuan berpikir reflektif itu menjadi sangat dihargai dan itu yang membuat Islam lebih menarik untuk masa-masa yang akan datang,” tuturnya.