Membusuk Bersama Partai Politik
Partai politik zaman reformasi tumbuh subur seperti cendawan. Ia tumbuh bak jamur kuping di musim semi. Namun celakanya ia mudah membeku, sebeku sikap-sikap pendiri atau pemiliknya. Bahkan didalam perjalanannya ia sudah keluar dari watak dan sifat-sifat generiknya sebagai partai politik.
Dalam dictionary of science, partai politik didefinisikan sebagai berikut;
A political party is an organization that works to elect candidates to public office and identifies candidates by a clear name or label (Partai politik adalah organisasi yang bekerja untuk memilih kandidat untuk jabatan publik dan mengidentifikasi kandidat dengan nama atau label yang jelas).
Apa artinya? Pertama, bahwa partai politik itu bekerja untuk semata-mata memenuhi kepentingan dan kebutuhan publik secara luas. Menjawab kebutuhan bangsa dan negara dalam jangka panjang. Bukan menuruti nafsu dan kepentingan pendek para cukong, kepentingan klik politik, atau bahkan untuk kepentingan pribadi-pribadi para pemiliknya.
Kedua, definisi itu mensyaratkan bahwa partai politik berkewajiban untuk memberi label atau nama yang jelas pada sang kandidat yang akan memikul amanah mengurus kepentingan publik. Artinya kandidat tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan proses pewatakan atau proses ideologisasi secara intensif.
Dengan demikian dalam kepala sang kandidat isinya adalah kepentingan publik adalah yang paling pertama dan utama daripada yang lain. Hal ini biasa dilakukan jika partai tersebut memiliki ideologi yang jelas.
Ketiga, untuk menjalankan tugas ideologisasi itu dibutuhkan satu rangkaian proses kaderisasi yang terencana, terstruktur, dan berkesinambungan. Dalam proses kaderisasi itu setiap kader dilatih untuk bersaing menjadi yang terbaik.
Mereka harus belajar tata negara, ilmu pemerintahan, keuangan negara, geopolitik dan geo-strategi, pertahanan negara, filsafat politik, sejarah, hukum, sosiologi, psikologi massa hingga agama dan kebudayaan.
Para kader partai politik itu sedianya juga dilatih public speaking skill, debat tematik, analisis kasus kebijakan publik, serta berbagai model pendekatan pemecahan masalah-masalah sosial. Partai politik juga harus belajar mengelola perbedaan pendapat karena faksionalitas dan aliran pemikiran yang berkembang dalam partai.
Mengapa? Karena partai adalah gambaran kecil sebuah negara yang terus bergerak ( mini-state models). Sebagai negara kecil, partai politik harus terus berlatih mengelola masalah-masalah publik tersebut secara sungguh-sungguh. Mereka harus melatih diri untuk belajar taat pada seluruh aturan main yang ada dalam AD/ART organisasi mereka. Sebab AD/ART organisasi itu adalah konstitusi bagi mereka.
Mari kita lihat faktanya dalam sejarah politik Indonesia modern, terutama kita fokuskan selama 20 tahunan reformasi.
Selama reformasi bergulir, ada banyak tokoh ilmuan bergelar profesor yang ramai-ramai bikin partai politik. Diantara mereka banyak sekali yang berguguran, seiring partainya yang tidak lolos electoral threshold. Suatu prasyarat yang membuat partai harus membubarkan dirinya secara paksa.
Untuk mengenang keinginan baik para profesor itu dalam membangun republik ini ada baiknya kita sebut nama-nama mereka sedekat ingatan penulis. Pertama adalah Profesor Deliar Noer. Doktor Ilmu politik pertama di Indonesia, lulusan kampus bergengsi di Amerika; Cornell University. Beliau dengan semangatnya, bangkit mendirikan Partai Umat Islam (PUI). Menurutnya, partai itu bukan hanya merupakan political movement, namun juga suatu ikhtiar Islamic movement.
Berikutnya ada Profesor Amien Rais dengan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Sekalipun sudah 20 tahun berlaga dalam pentas politik nasional, lulusan UGM dan Amerika itu tidak berhasil membawa partainya ke papan atas. PAN hingga kini masih bertahan dipapan tengah, bahkan potensial merosot ke bawah karena miss management pemimpinnya yang sangat pragmatis. PAN kini sedang bersiap untuk melaksanakan Kongresnya pada 10-12 Februari 2020 di Kendari. Semoga sukses memilih pemimpin baru, bukan pemimpin yang bau.
Ketiga adalah Profesor Ryaas Rasjid, seorang pakar ilmu pemerintahan, mantan Rektor Institut Ilmu Pemerintahan. Partai besutannya; Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) juga gagal bertahan setelah berlaga dalam putaran pemilu.
Keempat, Profesor Yusril Ihza Mahendra, seorang pakar hukum tata negara jebolan UI dan UKM Malaysia mendirikan Partai Bulan bintang sebagai reinkarnasi Partai Masyumi. Partai ini walau semula sempat masuk dalam parlemen, namun seiring perkembangan politik yang makin kompetitif, PBB akhirnya tersingkir dari papan catur perpolitikan nasional.
Dari tokoh lain juga muncul nama Profesor Dimyati Hartono yang berusaha mendirikan partai. Beliau seorang politikus PDIP yang dalam perjalanan politiknya, Dimyati pernah berselisih pendapat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Atas dasar itu, Dimyati kemudian membentuk Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA). Namun, partai tersebut tidak berkembang.
Pelajaran apa yang penting dari munculnya para profesor mendirikan partai politik lalu gagal itu? Hemat saya, dunia politik praktis membutuhkan prasyarat yang berbeda dengan dunia akademis.
Dalam partai politik, seorang pemimpin politik harus membangun jejaring sosial politik yang intensif untuk memperluas pengaruhnya dalam masyarakat. Pemimpin partai politik harus mampu membangun manajemen politik yang berisi penuh harapan bagi rakyatnya. Sasaran utamanya adalah meraih simpati rakyat sebanyak mungkin sebagai konsekuensi logis dari sistem pemilu yang demokratis, dimana voters menjadi raja.
Namun seiring perkembangan dunia yang berubah cepat ditengah kemiskinan yang mendera bangsa Indonesia, semua nilai-nilai ideal yang diusung oleh para profesor itu pun membusuk menggerogoti partai politik mereka.
Dan, partai politik pun diisi oleh para petualang pencari rente yang minus nilai-nilai luhur dan keadaban publik. Padahal keadaban publik itu yang justru sedang dibutuhkan bangsa dengan 275 juta jiwa ini.
Para pencari rente itu berkolaborasi dengan para cukong yang tak punya hati. Walhasil, sempurnalah sudah kebusukan itu menjadi bahan konsumsi hari-hari para kadernya. Sebagian mereka memilih Pondok Suka Miskin. Karena mereka memang miskin dari cita-cita Proklamasi bangsanya. Bagaimana dengan Anda, tertarik masuk Suka Miskin?
*)Fathorrahman Fadli, Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)
Advertisement