Membuang Aroma Ulat Menyulap Murbei Jadi Sirup Berkhasiat
Murbei. Menyebut murbei berarti mau tak mau juga harus menyebut ulat sutera. Harus? Setidaknya begitu! Sebab, yang kita tahu, daun murbei memang dikenal sebagai pakan ulat sutera.
Di Watuadem, Prigen, Pasuruan, sepertinya tak harus membawa-bawa ulat sutera. Murbei bukan lagi identik dengan pakan ulat itu melainkan bisa diproses jadi minuman sirup. Murbei dipanen buahnya lalu diproses jadi sirup berkhasiat. Sudah tahu akibatnya kalau sirupnya ketahuan membawa khasiat? Ya sudah jelas diburu para pelancong di Prigen.
Sirup buah murbei ini tak lepas dari nama Slamet Supriyadi . Hanya pria gunung sederhana di Watuadem, Kelurahan Pecalukan, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan. Kepala empat usianya dan dia adalah penduduk asli Watuadem. Bukan warga pendatang seperti kebanyakan orang Prigen sekarang, yang kemudian berbondong-bondong memborong tanah di dataran tinggi nan sejuk itu.
Dataran tinggi yang kini tumbuh pesat menjadi kawasan wisata yang mampu menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) lumayan besar bagi Kabupaten Pasuruan. Menjadi tempat peristirahatan orang-orang kota yang jenuh oleh bergunung aktivitas agar bisa refresh sejenak untuk sekadar menghirup segarnya udara pegunungan.
Slamet, sehari-hari, menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai penjaga Wisma Angkasa. Wisma peristirahatan milik PTPN X yang berada di Jalan Welirang No 4, Prigen. Tak kurang dari 18 tahun ia berkeja di sana. Menurut Slamet, ia betah bekerja di wisma milik perusahaan plat merah itu. Pekerjaannya tidak berat, hanya merawat wisma dan menyiapkan segala sesuatu jika wisma hendak dipergunakan untuk diklat, atau rapat-rapat sambil liburan oleh para karyawan PTPN X.
Tak terlalu besar pendapatannya, tapi relatif cukup untuk menghidupi istri dan tiga orang anaknya. Apalagi mereka hanya hidup di gunung. Namun Slamet rupanya bukan tipe lelaki gunung yang senang berleha-leha usai bekerja. Toh, meski di gunung, pendapatan yang tak terlalu besar rasanya juga menyulitkan. Ada saja yang dikerjakan setelah tugasnya di wisma PTPN X selesai, termasuk menambah penghasilan untuk keluarganya.
Di Wisma PTPN X yang asri dan berhalaman luas, tumbuh empat pohon murbei yang selalu berbuah lebat jika sedang musimnya. Selalu jadi rebutan anak-anak karyawan PTPN X jika pas datang berlibur mengikuti kegiatan orang tuanya. Termasuk juga para orang tua itu sendiri. Atau, jadi buah gratis anak-anak kampung Watuadem yang bisa nyelonong masuk dan memanjat pohonnya. Kalau tidak ada keduanya, buah murbei yang berwarna merah dan kadang sampai kehitaman kalau sudah benar-benar matang akan bejatuhan begitu saja di tanah. Membusuk dan hanya membuat kotor halaman wisma.
Awalnya, buah-buah murbei yang matang berjatuhan dan membusuk di tanah itu tak berarti apa-apa buat Slamet. Seperti biasa, hanya disapu, dibersihkan kemudian dibuang ke tempat sampah. Hingga suatu ketika, sembari membersihkan halaman Slamet memetik sebiji yang kebetulan dahannya rendah dan gampang diraih. Lalu mengunyahnya sambil meneruskan kerjanya. Entah seperti mendapatkan ilham atau bagaimana, tiba-tiba muncul ide untuk membuat murbei ini menjadi saribuah.
“Sejak kecil saya tahu, buah murbei ini enak dimakan. Rasanya asam dan manis. Kadang baru bisa ketemu manisnya jika sudah benar-benar matang, yang buahnya berwarna kehitaman nyaris seperti buah anggur. Namun baru kali ini saya menemukan ide untuk membuatnya menjadi saribuah atau menjadi sirup, atau menjadi apa saja yang bisa membuat buah murbei menjadi berharga. Tidak sekadar jatuh berserakan dan hanya membuat kotor halaman,” terang Slamet disela aktivitasnya di Wisma Angkasa.
Menurut Slamet, jika musim murbei berbuah, satu pohon murbei dewasa yang sudah mampu berbuah, dalam sekali panen bisa menghasilkan lebih dari 3 kg. Berturut-turut kemudian dapat dipanen lagi 5-7 hari kemudian. Panenan berikutnya tidak sebanyak panenan yang pertama, sebab buah yang masak adalah sisa dari panen yang pertama. Begitu seterusnya hingga buah habis dan menungu sampai berbuah lagi saat musimnya tiba. Namun, meski tidak pada musim, murbei bisa saja berbuah walau sangat sedikit jika dipanen.
Ide untuk membuat saribuah murbei itu rupanya membuat Slamet tak bisa tidur. Berikutnya bersama sang istri, Yulis Khaflika, Slamet memutuskan untuk memanen murbei yang sedang berbuah masak. Cukup banyak saat itu, hingga ia bersama istrinya memutuskan untuk membuat saribuah dalam jumlah banyak kemudian menjualnya di sekolah-sekolah di sekitar Prigen. Caranya, saribuah ia kemas dalam kantong plastik lalu dititipkan di kantin-kantin milik sekolah.
“Alhamdulilah, pertama kali mencoba berjualan saribuah tidak ada yang laku. Titipan ke kantin-kantin sekolah itu kembali dengan utuh. Kaget juga saya. Soalnya kami berpikir biasanya anak sekolah itu jajan apa saja mau. Wong makanan yang tidak sehat saja mereka beli, apalagi murbei yang warnanya merah hingga kehitaman itu. pasti bisa mencuri perhatian mereka. Tapi rupanya tidak, malah tak dilirik sama sekali,” terang Slamet sembari tersenyum kecut mengingat pengalaman pertama itu.
Jualan itu kemudian ia ulangi lagi di hari berikutnya. Hasilnya sama, tetap tak ada yang laku. Di hari yang lain, jualan saribuahnya mulai laku, tapi hanya beberapa kantong. Akhirnya Slamet berkesimpulan, saribuah bikinannya bukannya tidak enak tapi produk ini tidak ada daya tariknya buat anak-anak sekolah. Murbei bagi anak-anak di Prigen bukanlah buah yang istimewa. Gampang didapatkan di halaman siapa saja dan bisa dipetik dengan grastis.
Simpulan sederhana tanpa survei ala Slamet ini tak membuat dirinya patah semangat. Justru Slamet makin tertantang untuk membuat percobaan lain yang memungkinkan murbei menjadi produk yang mampu mencuri perhatin khalayak. Malah kalau memungkinkan, olahan buah murbei bisa menjadi sesuatu yang khas dari Prigen yang layak diperhitungkan oleh para pelancong yang selalu datang bejibun.
Sembari terus membuat saribuah yang pada pekan kedua penjualannya sudah merangkak naik mencapai 125 bungkus plastik, ide Slamet mengembangkan olahan buah murbei makin menggebu. Ia ingin buah murbei tak hanya sebatas menjadi saribuah, tetapi bisa juga menjadi produk sirup.
Serangkaian resep membuat sirup kemudian dijajal. Slamet hanya menganti bahan dasarnya saja yaitu dengan buah murbei. Menurut Slamet, ternyata resep-resep itu tak ada yang cocok. Tak hilang sabar, ia pun lantas bereksperimen dengan resepnya sendiri. Rupanya, kali ini ia berhasil. Sebuah resep membuat sirup berikut prosesnya mampu ia temukan sendiri.
Pasturisasi
Slamet mengaku, percobaannya memuat sirup tak semulus seperti yang dibayangkan. Kendala yang pertama karena keterbatasan pengetahuan, dan yang kedua adalah keterbatasan alat saat memproses murbei menjadi sirup. Namun kendala ini lagi-lagi bisa dipatahkan Slamet. Belakangan. ia malah berhasil menemukan cara mengubah murbei menjadi sirup yang lezat dan tahan lama tanpa secuil pun bahan pengawet.
Teknik yang diterapkan Slamet untuk sirup buah murbei ini adalah pasturisasi. Yaitu merebus murbei berikut botol kemasannya yang sudah disegel. Botol harus terbuat dari kaca, sebab kalau dari plastik akan menggelembung setelah terkena panas. Jika perebusan sudah mencapai 90 derajat, murbei akan melumer lalu memuai dengan sendirinya. Berikutnya, setelah didinginkan, murbei dalam kemasan botol kaca itu sudah berubah menjadi sirup yang siap dikonsumsi.
Menurut Slamet takaran untuk satu kilogram buah murbei, air yang diperlukan adalah satu setengah liter. Sedang campuran gula pasirnya cukup 4 ons saja. Satu resep ini bisa menjadi 23 botol kemasan ukuran 600cc seperti produk vitamin C UC1000 yang banyak ditemui di toko-toko. Sebelum tahapan ini dilakukan, murbei yang baru dipetik dari pohon terlebih dahulu harus direndam dengan air garam lebih kurang 2 jam lamanya. Satu kilogram murbei diberi 2 sendok makan garam. Tujuannya adalah untuk menghilangkan hama cabuk atau penyakit tanaman lainnya yang menempel pada buah murbei.
Diluar dugaan, sirup eksperimen ini mendapat tanggapan sangat positif dari masyarakat Prigen. Siaran gethok tular-nya terdengar hingga kemana-mana. Seperti laiknya hukum ekonomi, begitu dikenal masyarakat, sirup murbei pun lantas dicari orang. Untuk produksi pertamanya, Slamet bisa menjual 500 kemasan dalam tempo relatif singkat. Sangat berbading terbalik dengan saribuah yang lebih dahulu dipasarkannya. Padahal harganya pun dipatok cukup mahal, yaitu 15 ribu rupiah.
Melihat respon yang cukup luar biasa itu semangat Slamet kian menyala. Empat pohon di wisma PTPN X itu jelas tak bisa diandalkan. Ia pun lantas berburu bibit pohon murbei. Ternyata tak gampang mendapatkannya, lagipula memakan waktu sangat lama jika menunggu pohon anakan mampu berbuah. Pilihannya adalah mencangkok pohon yang sudah berbuah atau mendongklak (baca: mencabut) pohonnya kemudian dipindahtanamkan.
Slamet memilih dua-duanya. Ya mencangkok ya mendongklak. Mencangkok relatif lebih mudah dilakukan, hanya kendalanya induk yang bisa dicangkok jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan mendongklak jauh lebih mudah, namun berbiaya mahal. Sebab ia harus membeli pohon-pohon yang sudah jadi itu di rumah-rumah warga Prigen. Lantaran sudah mengetahui buah murbei bisa diberdayakan, warga pun menjadi jual mahal. Slamet harus merogoh koceknya 250 ribu rupiah untuk satu dongklak pohon murbei.
Kini, Slamet sedikitnya memiliki 500 batang pohon murbei. Sebagian ia tanam dilahan yang tak terpakai di wisma PTPN X, sebagiannya lagi ia tanam di kebon miliknya. Ada juga yang masih dititipkan ke kebon-kebon milik warga yang lain. Hingga sejauh ini, kata Slamet, pihak PTPN X tak keberatan lahannya ada yang ditanami pohon murbei. Malahan produk sirupnya yang berasa khas itu – asem dan manis sekaligus – ikut dibantu pemasarannya lewat PTPN. Misalnya, setiap ada tamu di PTPN X, si tamu akan diberi buah tangan sirup ini untuk dibawa pulang.
Meski banyak pihak kini siap sedia membantu, toh Slamet masih terbentur banyak kendala untuk mewujudkan sirup murbei ini menjadi produk massal. Salah satunya adalah kendala musim. Jika tidak sedang musim, murbei juga tidak akan berbuah. Kalau pun berbuah jumlahnya juga sangat sedikit. Jika dipaksakan menjadi produk sirup, biaya produksinya kelewat tinggi sehingga sulit untuk menentukan harga ke konsumen. Sebagai akibatnya, produk sirup tak selalu ada di pasaran.
Untuk memanfaatkan buah murbei yang matang tidak pada musimnya, Slamet kembali menjadikan murbei itu saribuah atau es lilin yang ke sekolah-sekolah. Sementara untuk daunnya – karena tak membudidayakan ulat sutera – ia memetiknya kemudian dibuat menjadi teh daun murbei. “Untuk teh daun murbei ini ada juga yang memesan, karena ternyata bagus juga untuk memelihara kesehatan mata,” terang Slamet.
Dibalik eksperimen sirup murbei yang dilakukan Slamet, ternyata buah murbei ini memiliki multi khasiat yang sangat hebat. Murbei ternyata mengandung segudang senyawa aktif yang berkhasiat untuk obat kesembuhan berbagai penyakit.
Senyawa-senyawa aktif yang utama yang terkandung di dalam buah murbei adalah Vitamin A (Betakarotin), vitamin B1, B2 dan C serta asam-asam organik yang di antaranya adalah klorogent, asam fumarat, asam folat, asam formyltetrahydrofolat dan asam amino. Masih dilengkapi pula dengan unsur-unsur mikro seperti Zinc dan Copper yang berfungsi sebagai katalisator di dalam tubuh.
Sedikitnya terdapat 12 macam daftar khasiat buah murbei dalam penyembuhan penyakit. Yaitu sakit otot dan persendiaan (asam urat), tekanan darah tinggi (hipertensi), jantung berdebar (palpitasi), sukar tidur (insomnia), batuk berdahak, pendengaran berkurang dan penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), tuli, tujuh keliling (vertigo), hepatitis kronis, sembelit pada orang tua, kurang darah (anemia), neurasthenia, sakit tenggorokan, rambut beruban sebelum waktunya. (widikamidi)
Keistimewaan Sirup Murbei:
Mudah dan cepat dalam penyajian, karena tidak harus diseduh dengan air panas.
Menikmati rasa segarnya dan dapat mendapatkan sehat dengan cara mudah sekali.
Harganya terjangkau untuk segala lapisan masyarakat.