Memborong Kesejahteraan Rakyat
Bila petani menderita, ah memang sudah kodratnya. Bila kaum gelandangan harus berpayah-payah cari makan itu hal biasa. Bila kaum pinggiran harus tertatih-tatih jalan kehidupannya, tak usah dirisaukan. Sebab kesejahteraan, bahkan kebahagiaan mereka sudah diwakilkan.
Karena mereka yang duduk di gedung parlemen adalah para wakil rakyat, maka merekalah berhak bahagia. Merekalah yang mewakili kesejahteraan rakyat. Merekalah yang memborong kebahagiaan itu.
Jangan lagi tanya soal keadilan, mereka sudah memenuhi tugas-tugas sebagai wakil rakyat. Adakah soal aspirasi rakyat? "Lho, bukankah kami telah membayar suara mereka saat sebelum atau sesudah ke bilik suara saat pemungutan suara," gumam para wakil rakyat di Senayan.
Kita pun maklum, sejak mereka dilantik menjadi wakil rakyat yang terpikir di batok kepala mereka tak lagi soal keadilan soal tapi pembagian "komisi" yang adil dalam sidang anggota wakil rakyat. Juga dalam aktivitas rapat-rapat anggaran, pembahasan undang-undang, kunjungan kerja ke luar negeri atau pun studi banding.
Kita tak perlu kaget bila wakil rakyat memborong kesejahteraan dengan seluruh aktivitasnya. Penuh. Untuk mengisi pundi-pundi dari modal kampanye saat merebut suara rakyat yang kemudian diwakilinya itu.
Di luar tugas resmi di lembaga wakil rakyat, toh banyak tugas lain menunggu. Jadi juru tagih anggaran atau makelar kasus. "Kami membantu menyelesaikan masalah rakyat, alokasi dana proyek harus diselamatkan, " seorang politikus bergumam.
Azis Syamsuddin, si Wakil Rakyat
Maka kita pun tak perlu kaget bila seorang di antara wakil rakyat tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- sebagaimana ketika Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK pada Sabtu 25 September 2021 dini hari. Kita pun maklum nama Azis Syamsuddin disebut dalam dakwaan mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
Mari kita catat saja: Dalam dakwaan disebutkan jika Azis Syamsuddin bersama Aliza Gunado menyuap Robin sebesar Rp 3 miliar dan 36.000 dolar AS (sekitar Rp 513 juta) sehingga totalnya sekitar Rp 3,5 miliar. Suap diberikan Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado untuk mengurus kasus dugaan suap pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah Tahun Anggaran 2017. Saat itu, dia menjabat Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
Tapi herankah kira karena selain kasus tersebut, KPK juga tengah menyelidiki keterlibatan Azis Syamsuddin dalam dugaan dua kasus korupsi lainnya? Ah, kita tak perlu heran. Mari kita catat saja: Kasus tersebut menyangkut jual beli jabatan di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Pemkot Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Usai ditetapkan tersangka, Azis Syamsuddin menjadi perwakilan para wakil yang memborong kesejahyeraan rakyat. Dia menjadi wakil wajah orang-orang yang telah mewakili kita: pemborong kesejahteraan nasib rakyat yang merajalela.
Rasuah tak Surut dengan KPK
Kasus korupsi di Indonesia tak makin surut meski ada lembaga superbodi, KPK. Praktik rasuah, para pejabat dan politisi yang menggarong uang rakyat, semakin menjadi-jadi.
Dalam kasus penanganan korupsi, dikenal dengan 2 istilah: Penindakan dan Penyidikan. Penindakan ada yang dilakukan secara tertutup (disebut OTT=operasi tangkap tangan) dan ada yang dilakukan secara terbuka, dengan melakukan wawancara, investasi, dan permintaan data-data.
Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi momok paling ditakuti para pejabat publik bukan rasa takut terhadap pengawasan Allah Ta'ala yang seharusnya ada dalam dirinya. Apalagi, moralitas penegak hukum mengalami kemerosotan.
Kita pun tak lupa beberapa tahun lalu. Tepatnya pada 2011. Ketika seorang Gayus Tambunan menyita perhatian kita. Dalam sidang pengadilan, Ketua Majelis Hakim Albertine Ho, memvonis Gayus hanya 7 tahun. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa 20 tahun. Gayus pun didenda Rp 300 juta. Vonis yang jauh lebih ringan diputuskan majelis hakim dengan pempertimbangkan antara lain, perbuatan Gayus merugikan negara dinilai tak bisa dilakukan sendiri karena ada peluang terjadinya koreksi oleh para atasannya secara berjenjang.
Ya, moralitas penegak hukum mengalami kemerosotan dan korupsi pun semakin menjadi-jadi.
Banyak jalan mengamankan harta colongan. Sebuah resep untuk Gayusian. Seperti dilakukan Leila Trabelsi, istri Presiden Tunisia, yang kabur meningalkan negaranya dengan membawa 1,5 ton emas batangan senilai US$ 60 juta atau sekitar Rp543 Miliar. Dia datang ke Bank Sentral Tunisia (Bank of Tunisia) lalu membawa emas beberapa jam sebelum meninggalkan Tunisia.
Jiwa-jiwa yang Korup
Korupsi berasal dari jiwa yang korup, kendati seseorang sudah kaya raya namun jika jiwa tak dibiasakan bersifat zuhud, maka akan tetap bisa melakukan praktik rasuah. Terkadang banyak orang teriak anti-korupsi karena tak ada lahan untuk korupsi.
Kita pun paham, sesungguhnya, pemberantasan korupsi bergantung pada sejauh mana peranserta masyarakat. Negeri ini dengan kekayaan alam yang berlimpah-meruah memberi peluang besar bagi kesejahteraan rakyat dan para penghuninya; tapi kekayaan berlimpah itu takkan mencukupi bagi orang-orang serakah.
Para pejabat publik, juga politikus, memang suka bikin kejutan. Bila tak soal rasuah, bisa ihwal penghasilannya. Kita pun dikejutkan dengan Krisdayanti. Penyanyi yang jadi wakil rakyat dari PDIP mengaku, gaji anggota DPR hampur menyentuh angka Rp1 miliar per tahun. Setiap tanggal 1, ia menerima Rp16 Juta. Tanggal 5 menambah pemasukan Rp59 Juta, setelah gaji pokok.
Krisdayanti pun membuka rahasia penghasilannya. Menjadi bintang tamu di channel YouTube Akbar Faizal Uncensored pada 14 September 2021, KD menyebut dana aspirasi Rp450 Juta, diterima lima kali dalam setahun. Itu pun belum lagi yang lain: rapat-rapat di luar gedung dewan, kunjungan kerja -- yang biasa digunakan pelesir ke luar negeri. Bila saja tidak masa pandemi Covid-19.
Para pejabat publik dan para politikus itulah yang kini tengah memborong kesejahteraan rakyat. Mereka tak lagi perlu memperjuangkan agar rakyat sejahtera. Toh, kehadiran mereka adalah mewakili rakyat. Kesejahteraan rakyat pun akhirnya diborong habis. Tandas! Karena, memang, merekalah mewakili kesejahteraan itu. (Riadi Ngasiran)
Advertisement