Memblokir Iklan Rokok di Internet, Apa Bisa?
Pemblokiran iklan rokok di internet sedang menjadi salah satu pemberitaan di media massa sejak Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengirimkan surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk meminta hal tersebut.
Surat tersebut diketahui wartawan pada Rabu 12 Juni lalu melalui jalur yang tidak resmi. Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi membenarkan tentang keberadaan surat tersebut.
"Surat tersebut bersifat internal karena antara dua menteri," jelas Oscar.
Oscar mengatakan surat tersebut sesuai dengan perhatian Kementerian Kesehatan terhadap peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10 hingga 18 tahun sebagai akibat paparan iklan rokok di berbagai media, termasuk internet.
Dalam surat tersebut, Menteri Kesehatan mencantumkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menunjukkan peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10 hingga 18 tahun dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Surat tersebut juga mengutip hasil penelitian London School of Public Relation (LSPR) pada 2018 yang menemukan tiga di antara empat remaja mengetahui iklan rokok di media daring. Iklan rokok banyak ditemui remaja pada media sosial, seperti Youtube, berbagai situs web, Instagram, serta permainan daring.
Menanggapi surat tersebut, dukungan pun muncul dari kelompok masyarakat yang selama ini menyuarakan pengendalian tembakau.
Ketua Umum Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau dr Prijo Sidipratomo memuji langkah Menteri Kesehatan Nila F Moeloek tersebut.
"Itu adalah hal yang benar. Komnas Pengendalian Tembakau mengapresiasi apa yang dilakukan Menteri Kesehatan tersebut," katanya.
Prijo mengatakan sudah seharusnya iklan rokok dilarang di media apapun karena terbukti berdampak terhadap peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan iklan rokok di internet memang layak diblokir untuk melindungi anak-anak dan remaja dari paparan iklan rokok.
"Keberadaan iklan rokok di internet sangat mengkhawatirkan, karena bisa dibuka oleh siapapun dan kapapun, tanpa kontrol dan batas waktu," katanya.
Karena bisa diakses kapan pun dan tanpa batas, anak-anak dan remaja pun bisa terpapar iklan rokok kapan pun. Padahal, menurut Tulus, saat ini ada lebih dari 142 juta pengguna internet di Indonesia, termasuk anak-anak.
Hal itu berbeda dengan iklan rokok di media penyiaran yang masih dibatasi antara pukul 21.30 hingga 05.00, meskipun Tulus menilai sudah seharusnya iklan rokok dilarang di seluruh media.
Apalagi, Indonesia merupakan negara yang masih menjadi surga bagi iklan dan promosi rokok. Padahal, di banyak negara, iklan dan promosi rokok sudah dilarang, misalnya di Eropa sejak 1960 dan di Amerika Serikat sejak 1973.
Surat Menteri Kesehatan tersebut ternyata ditanggapi secara cepat oleh Menteri Komunikasi dan Informatika.
Dalam siaran pers dari Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika yang diterima di Jakarta, Kamis 13 Juni, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan telah menemukenali 114 kanal yang melanggar Undang-Undang Kesehatan Pasal 46 Ayat (3) Butir c tentang "promosi rokok yang memperagakan wujud rokok".
Tanggapan cepat dari Kementerian Komunikasi dan Informatika tersebut dipuji oleh Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (SAPTA).
"Pemblokiran iklan rokok di internet harus berlandaskan Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menempatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya," kata Koordinator SAPTA Tubagus Haryo Karbyanto.
Meskipun memberikan pujian terhadap tanggapan cepat Menteri Komunikasi dan Informatika, Tubagus mengkritik siaran pers yang dikeluarkan kementerian karena salah dalam mengambil aturan sebagai landasan pemblokiran iklan rokok.
Ternyata, Pasal 46 Undang-Undang Kesehatan tidak memiliki ayat sebagaimana disebutkan dalam siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pasal tersebut hanya berbunyi, "Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan
upaya kesehatan masyarakat".
Larangan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok justru ada pada Pasal 46 Ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Kami mengapresiasi tanggapan cepat Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun, akan lebih baik bila lebih teliti dalam membuat rilis," tuturnya.
Dalam siaran pers dari Kementerian Kesehatan pada Selasa 18 Juni, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan serius untuk memblokir iklan rokok di kanal-kanal media sosial guna mencegah peningkatan jumlah perokok pemula yang menyasar anak-anak.
"Sudah ditutup, tapi harus kerja sama dengan Kemenkes, 114 yang ditutup, nanti kita akan lanjutkan," katanya.
Menurut Nila, saat ini belum ada regulasi mengenai pembatasan iklan rokok di media sosial. Oleh karena itu, tim dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah membahas terkait dengan regulasi tersebut.
Sementara itu, dalam sebuah diskusi publik yang diadakan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) di Jakarta, Kamis 20 Juni, Staf Subdirektorat Penyakit Paru Kronik dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Mauliate Gultom berharap, wacana pelarangan iklan rokok di internet paling tidak bisa membuat iklan rokok tidak bisa diakses lagi oleh anak-anak.
"Kami berharap iklan rokok tidak ada lagi di internet. Namun, paling tidak iklan rokok tidak bisa lagi diakses anak-anak," katanya.
Dalam dikusi publik yang sama, Kepala Subdirektorat Pengendalian Konten Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika Anthonius Malau mengatakan pihaknya meminta masukan dari Kementerian Kesehatan dan masyarakat tentang kriteria iklan rokok di internet yang perlu diblokir.
"Agar kementerian tidak salah memblokir, sampai sejauh mana batasannya?" katanya.
Anthon mengatakan sudah beberapa kali dilakukan pertemuan dengan Kementerian Kesehatan. Pertemuan-pertemuan tersebut perlu untuk mengerucutkan sejauh mana iklan rokok yang harus dilarang.
Dalam pertemuan tersebut, beberapa hal yang mengemuka sebagai batasan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
"Di dalam Pasal 39 peraturan tersebut, tidak hanya rokok saja yang dilarang, tetapi juga produk tembakau," tuturnya.
Untuk iklan sembul atau "pop up" yang muncul seketika, Anthon mengatakan iklan tersebut muncul ketika mesin pemasang iklan mengenali hal-hal yang sering dicari melalui perangkat gawai.
"Kalau sering mencari tentang rokok, sangat mungkin muncul iklan rokok," ujarnya.
Tubagus Haryo Karbyanto mengatakan internet termasuk dalam kategori media teknologi informasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
"Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sama sekali tidak menyinggung soal iklan. Karena itu, yang bisa menjadi acuan adalah Peraturan Pemerintah Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan," katanya.
Menurut Pasal 30 peraturan tersebut, iklan rokok masih diberikan peluang di media teknologi informasi dengan syarat memberlakukan verifikasi usia.
Menurut Tubagus, Menteri Kesehatan bisa saja meminta kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dengan keunggulan teknisnya itu bisa mengakomodasi kepentingan kesehatan tersebut.
Hal itu, pernah dilakukan oleh media daring pada 2013 dengan melakukan verifikasi usia meskipun dengan cara yang sederhana, yaitu mempertanyakan apakah pengguna berusia 18 tahun atau tidak sebelum iklan rokok muncul. (an/ar)