Membimbing Mr Yamin Menyambut Ajal
Masih ada lagi bukti-bukti bagaimana kebesaran jiwa dan pemaaf Buya Hamka. Susah kita mengukur pribadi orang yang memiliki jiwa sebesar Hamka.
Irfan Hamka, putranya, menuturkan kisah-kisah elok soal Hamka. Pada 1955 hingga 1957, sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi, Hamka cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara Rl. Ada 2 pilihan untuk dasar negara kita; pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD 1945/ dengan dasar negara Pancasila.
Untuk kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua front yang sama kuat. Front pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar Negara. Berdasarkan Islam. Front kedua, dipimpin PNI, Partai Nasional Indonesia ingin negara berdasarkan Pancasila.
Dalam suatu acara persidangan Hamka menyampaikan pidato politiknya, dengan beraninya. "Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka … " demikian tutur Hamka.
Tentu saja para hadirin dalam sidang paripurna Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan Hsmks. Tidak saja pihak pendukung Pancasila, pun para pendukung negara Islam sama-sama terkejut.
Mr. Moh. Yamin sebagai seorang anggota Konstituante dari Fraksi PNI turut terkejut atas pernyataan Hamka itu. Tokoh PNI itu tidak saja marah, berlanjut menjadi benci. Walaupun kedua tokoh yang berseberangan sama-sama dari Sumatera Barat. Moh Yamin tidak dapat menahan kebenciannya kepada Hamka. Baik bertemu dalam acara resmi, seminar kebudayaan dan sama-sama menghadiri sidang Konstituante, kebencian itu tetap tak dapat dihilangkannya. Akibat dari pidato Hamka, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sama saja merintis jalan ke neraka, sedangkan Mr. Moh. Yamin sangat percaya pada mitos bahwa penggali Pancasila itu Sukarno.
Dalam bukunya, Irfan mengaku ingat ketika rumah Hamka kedatangan tamu, H Isa Ansyari. Ulama sekampung dengan kampung Hamka, Maninjau. Isa sudah lama bermukim di Kota Bandung. Dalam acara makan siang, Buya Isa Ansyari bertanya kepada Hamka, "Apa masih tetap Yamin bersitegang dengan Hamka ?"
Hamka menjawab, "Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya."
Bertahun-tahun setelah dekrit di mana Sukarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen dan menetapkan UUD '45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang luar biasa. Pada 1962; Mr. Moh. Yamin jatuh sakit parah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Hamka mengetahuinya dari berita koran dan radio. Hamka menerima telepon dari Chairul Saleh, salah seorang menteri pada waktu itu. Menteri ini ingin datang bersilaturahim kepada ayah dan menyampaikan perihal sakit Mr. Moh. Yamin.
Chaerul Saleh datang menemui Hamka di rumah. Kepada Hamka, menteri di era Sukarno ini menceritakan perihal sakitnya Mr. Moh. Yamin. "Buya, saya membawa pesan dari Bapak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja datang menemui Buya. Ada pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir. “
"Apa pesannya?" tanya Hamka.
"Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya, sekarang Pak Yamin dalam sekarat."
Hamka agak tercengang mendengar pesan Pak Yamin itu. Teringat kembali sikap bermusuhan dan membencinya.
"Apalagi pesan Pak Yamin?” Kembali Hamka bertanya kepada menteri yang ditugaskan Moh Yamin itu.
"Begini Buya, yang sangat merisaukan pak Yamin, beliau ingin bila wafat dapat dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi. Beliau sangat khawatir masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Pak Yamin turut mengutuk aksi pemisahan wilayah dari NKRI. Beliau mengharapkan sekali Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. "
Hanya sebentar Hamka termenung. Banyak pengalaman pahit yang dirasa Hamka selama beberapa tahun ini dengan tokoh yang mengaku wajahnya mirip dengan Patih Majapahit Gajah Mada itu. "Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau."
Sore itu juga Hamka dan Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Dalam ruangan VIP, banyak pengunjung. Ada Pendeta, Biksu Budha dan pengunjung yang lain. Moh Yamin terbaring di tempat tidur dengan slang infus dan oksigen tampak terpasang. Melihat kedatangan Hamka tampak wajahnya agak berseri. Dengan lemah Yamin menggapai Hamka untuk mendekat. Salah seorang pengunjung meletakkan sebuah kursi untuk Hamka duduk di dekat tempat tidur. Hamka menjabat tangan Yamin dan mencium kening tokoh yang bertahun-tahun membenci Hamka.
Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia berkata: " Terima kasih Buya sudi datang." Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.
"Dampingi saya," bisiknya lagi. Tangan Hamka masih terus digenggamnya.
Mula-mula Hamka membisikkan surat Al-Fatihah. Kemudian kalimat La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah. Dengan lemah Moh Yamin mengikuti bacaan Hamka. Kemudian Hamka mengulang kembali membaca dua kali. Pada bacaan kedua ini tidak terdengar Yamin mengikuti, hanya dia memberi isyarat dengan mengencangkan genggaman tangannya ke tangan Hamka. Kembali Hamka membisikkan kalimat "Tiada Tuhan selain Allah" ke telinga Moh Yamin. Tidak ada respon. Hamka merasa genggaman Moh Yamin mengendur dan terasa dingin dan terlepas dari genggaman Hamka.
Seorang dokter datang memeriksa. Dokter itu memberitahu Mr Mohammad Yamin sudah tidak ada lagi.
"Innalillahi wa inna lillaihi rajiun." (bersambung)