Memberi Selamat Lawan, Belajar Dari Venus Williams
Begitu pengembalian bola forehand Venus Williams tidak sanggup melampaui net, sontak gemuruh penonton meledak menggetarkan arena Wimbeldon. Seluruh yang hadir di stadion berdiri memberi tepukan tangan panjang kepada Cori Gauf, remaja 15 tahun, yang mengalahkan salah satu ratu tenis dunia. Coco, begitu dia biasa dipanggil kawan-kawannya, terpaku di tempatnya berdiri. Dia tidak melompat-lompat kegirangan di tengah riuh tepukan ribuan penonton. Dengan tangan yang disedekapkan di atas kepalanya, mulutnya ternganga seakan tak percaya bahwa dia baru saja mengalahkan petenis pujaannya.
Venus Williams, pemegang 12 kali titel Grand Slam tunggal wanita, memenangi empat medali emas Olimpiade, berlari kecil dengan senyum yang mengembang di bibir mendatangi net untuk memberi ucapan selamat kepada Coco. Saat mereka berjabat tangan, sama sekali tak ada kepongahan tergurat di wajah si bocah pemenang itu. Gesturnya tidak bisa menyembunyikan kesantunan dan kekaguman pada seniornya yang telah dipujanya sejak usia bocah. Pun bagi Venus, tak ada kemarahan dan rasa direndahkan. Dia memberi ucapan selamat dan motivasi dengan wajag riang kepada gadis bau kencur yang barusan mengalahkannya.
Kita tahu bahwa kedua petenis tersebut berasal dari Amerika Serikat, negara yang selama ini dikenal sebagai kiblat dari apa yang disebut dengan Western culture (budaya Barat). Sebutan budaya Barat tentu saja tidak semata-mata mengacu pada budaya sekelompok manusia yang menempati posisi geografis tertentu. Istilah ‘budaya Barat’ berkonotasi pada nilai-nilai tertentu yang diyakini terbedakan dari nilai-nilai budaya non-Barat.
Misalnya, jamak di masyarakat kita untuk membuat pembedaan antara budaya Barat dengan budaya Timur, di mana yang terakhir dianggap sebagai sebagai representasi nilai-nilai adi luhung. Sedang budaya Barat dipersepsi sebagai budaya dengan nilai rendah. Jika kita dikatakan sebagai “berbudaya barat”, jelas perkataan itu bermaksud untuk merendahkan kita.
Jika menghormati dan memberi ucapan selamat kepada lawan, sebagaimana yang diperagakan oleh Venus Williams, adalah budaya Barat, apakah sikap itu menunjukkan sebuah kerendahan moral? Ini adalah pertanyaan penting bagi kita di tengah situasi politik kekanak-kanakan pasca-Pilpres, di mana mengucapkan “selamat” kepada lawan politik saja terasa begitu berat. Apalagi keengganan mengucapkan selamat itu dibungkus dengan retorika budaya, bahwa ucapan selamat adalah budaya Barat. Seakan, budaya Timur tidak cukup memiliki kemuliaan yang mampu menggerakkan seseorang untuk menghormati lawan yang telah mengalahkannya dan berucap “Selamat, Anda menang!”.
Tak mudah memang menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada lawan yang mengalahkan kita. Setiap orang yang masuk dalam arena perlombaan selalu menginginkan dirinyalah yang akhirnya mendapatkan tepukan tangan dari penonton sebagai sang juara. Tapi justru di sinilah keadaban sebuah perlombaan. Perlombaan menjadi beradab karena semua orang mengerahkan kemampuannya untuk menang, dan pada saat yang sama memiliki kerendahan hati untuk menerima kekalahan. Sebuah perlombaan akan jatuh menjadi arena kebiadaban jika kemenangan ditempatkan di puncak struktur nilai hingga mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Salah seorang Jenderal Muslim yang namanya sangat melegenda, bahkan di hati lawan-lawannya, adalah Salahuddin al-Ayyubi. Dia menggemparkan Dunia Barat ketika mengalahkan tentara salib para Perang Hattin dan merebut Jerusalim pada 1187 M. Salahuddin al-Ayyubi memang memiliki karir militer yang sangat cemerlang, namun jelas dia bukan jenderal terbesar dalam sejarah Islam. Kemuliannya tidak terletak pada kesanggupannya mengalahkan musuh-musuhnya, tapi lebih pada kualitas pribadinya yang sanggup menghormati lawannya bahkan di tengah sebuah pertempuran yang penuh darah. Karena inilah, musuh-musuhnya menyebutnya dengan “nobel enemy” (lawan yang terhormat).
Melihat sepenggal adegan salaman Venus dengan Coco, menyadarkan kita bahwa mengucapkan selamat kepada lawan bukan tentang dari budaya mana praktik itu berasal. Ini tentang kualitas moral dan rasa hormat. Jika Venus dan Coco jelas-jelas orang Barat, Salahuddin al-Ayyubi sama sekali tidak merepresentasikan ke-Barat-an. Dia lahir di Irak dan wafat di Siria. Adalah mustahil bagi kita untuk menuduhnya ke-Barat-Barat-an hanya karena dia tahu makna respect terhadap lawan dan mewujudkannya dalam tindakan.
(*Ahmad Zainul Hamdi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya