Membendung Arus Korupsi
Barangkali sudah lama Menkopolhukam Mahfud MD geram terhadap pemberantasan korupsi yang berjalan pelan. Sebagai pegiat gerakan antikorupsi ketika berada di luar pemerintahan, beliau merasa malu karena tidak mampu mempercepat derap langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan KPK sendiri sejak tiga tahun terakhir menghadapi persoalan internal, sehingga dukungan publik semakin melemah dan gebrakannya tidak sekuat tahun tahun sebelumnya.
Di tengah situasi suram seperti itu, Mahfud MD membuat “gebrakan dahsyat” dengan mendorong “Intelijen Keuangan” cq PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memainkan peran. Data PPATK dibuka diruang publik, sehingga menimbulkan “daya kejut hebat" bagi siapa pun yang membaca berita tentang “transaksi janggal yang meliputi Rp349 Trilyun”.
Akibatnya, kemarahan dan kekecewaan publik tidak bisa dibendung terhadap koruptor. Dampaknya luar biasa, pada satu sisi semangat ganyang korupsi muncul ke permukaan layaknya air bah. Pada sisi lain dengan digalakkannya “Intellijen Keuangan” menjadi faktor deterrent (faktor pencegah) terhadap koruptor. Langkah Mahfud MD layak dianggap sebagai langkah cerdas.
Sasaran gerakan ganyang korupsi ditujukan terhadap pusat peredaran “uang haram“, yaitu institusi perpajakan dan bea cukai. Publik berdecak kagum, sebaliknya koruptor dibikin was-was karena tipu daya mereka terbongkar. Modus korupsi dengan pola pencucian uang melalui pembelian emas batangan, perusahaan cangkang di luar negeri, money changer terungkap ke permukaan.
Dua Reaksi Berlawanan
Momentum pemberantasan korupsi bangkit kembali dan hal ini menimbulkan dua reaksi yang berlawanan. Pada satu sisi umumnya publik mendukung data PPATK dibuka. Sedang pada sisi lain sejumlah elit politik menolak PPATK membuka data keruang publik dengan alasan untuk menjaga kerahasiaan pemilik surat transaksi PPATK.
Umumnya pimpinan dan aktivis partai politik terkejut atas gebrakan Mahfud MD tersebut. Bagaimana selanjutnya mendapatkan dana untuk membeayai kegiatan politik ?. Persoalan dana parpol ini merupakan persoalan tersendiri. Dukungan APBN terhadap parpol selama ini dianggap tidak memadai mengingat luas wilayah negara dan sistem pemilu yang panjang. India dengan penduduk 3 kali lipat periode pemungutan suara jauh lebih cepat. Negara jiran Malaysia juga jauh lebih cepat menghitung hasil pemilu.
Mungkin kita perlu belajar mengelola sistem pembiayaan partai politik dari negara-negara maju, bagaimana membeayai kegiatan politik. Dalam kondisi pendapatan masyarakat yang tergolong rendah, tidaklah realistis parpol semata bersandar pada partisipasi para pendukung atau anggauta partai.
Ada negara yang memberikan “fee sekian persen” kepada aktivis dan pimpinan parpol jika mampu mendatangkan investasi. Contoh lain, di Amerika Serikat, seorang senator bisa memperoleh “dana politik” jika ia berhasil meyakinkan departemen pertahanan untuk menghibahkan persenjataan yang telah habis masa pakainya kepada negara lain.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027. Tinggal di Jakarta. Dari naskah asli "Langkah Mahfud MD Mengerem Arus Korupsi".
Advertisement