Membedah Pendidikan Inklusi, UNUSA Ajak Bunda PAUD Mengenali Potensi Anak Kebutuhan Khusus
Anak–anak dengan kebutuhan khusus (ABK) itu berbeda dengan anak–anak normal. Jika anak normal bisa dengan mudah memahami maksud orang lain, anak berkebutuhan khusus tidak. Jika anak berkebutuhan khusus memiliki hati yang tulus, anak normal juga punya namun tidak setulus mereka. Meskipun beberapa kondisi ini tidak mutlak dimiliki oleh semua orang.
Itulah mengapa, anak kebutuhan khusus tidak bisa disetarakan dengan anak normal. Mereka membutuhkan beberapa hal yang menopang kebutuhannya. Misal anak yang tuna rungu, membutuhkan pendengaran agar bisa normal seperti anak lain. Sehingga butuh alat khusus. Anak tuna wicara membutuhkan pembelajaran bahasa isyarat untuk mengungkapkan kehendaknya.
Sekolah inklusi adalah jawaban sistem pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Di sana, anak berkebutuhan khusus (ABK) diberikan pelayanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Karena itu dalam upaya membangun dan memberdayakan Anak Berkebutuhan Khusus Program Studi S1 Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) membedah sistem pendidikan untuk mengenali potensi Anak Inklusi yang masih dalam usia Anak Usia Dini (AUD).
Kegiatan yang mengambil tema "Pemberdayaan Anak Berkebutuhan Khusus dalam menyongsong generasi emas tahun 2045 melalui pendidikan Indklusi ini dihadiri ratusan Bunda Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang tergabung dalam Asosiasi AUD, Maarif Kota Surabaya, Himpunan Guru PAUD (HIMPAUDI) Kota Surabaya, Muslimat Kota Surabaya, IGTKI/FKG PAI Kota Surabaya, IGRA Kota Surabaya.
Rektor UNUSA, Prof. Dr. Achmad Jazidie, M.Eng dalam sambutannya mengungkapkan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan sosok pribadi yang spesial. Dibalik kelemahan secara fisik namun mereka memiliki kelebihan yang luar biasa. ABK juga harus diberdayakan sebagai bagian dari lahirnya generasi penerus bangsa.
"Anak-anak difable juga memiliki kesetaraan dan hak yang sama. Hal ini penting agar mereka bisa mengembangkan kemampuan dan minatnya. Perlu adanya penggalian ide dan kreativitas untuk meningkatkan peran mereka di masa depan," ujarnya usai membuka seminar yang diselenggarakan di Kafe Fastron Lantai 3 Tower UNUSA Kampus Jemursari Surabaya.
Seminar ini menghadirkan Pakar Pendidikan Anak Usia Dini, Munif Chatib yang juga dosen FKIP UNUSA. Munif Chatif adalah sosok figur yang sangat memahami pendidikan di Indonesia. Tak heran kini ia juga ditunjuk sebagai konsultan Kota Surabaya. Selain itu Munif Chatif juga trainer dari Gerakan Indonesia Mengajar yang sekaligus direktur model school of human di Cibubur.
"Difable mainstreaming belum menjadi arus utama yang patut diperhatikan. Sampai saat ini Indonesia masih tertinggal dengan negara lain terutama dalam hal pemenuhan fasilitas. Padahal ABK adalah anak-anak yang spesial. Mereka memiliki keistimewaan sehingga harus diberi apresiasi khusus." kata Munif.
Kepada peserta seminar, Munif Chatif mengungkapkan semestinya tidak ada perbedaan antara sekolah anak reguler dengan sekolah anak berkebutuhan khusus. "Sekolah yang memiliki maqom tertinggi adalah sekolah yang menerima semua siswa tanpa seleksi masuk. Karena makna sekolah yang sebenarnya adalah wadah pembelajaran yang menjadikan setiap manusia mempunyai arti, minimal untuk dirinya sendiri, untuk apa dia ada," ujarnya.
Ditambahkan Munif, para guru PAUD sekarang ini memang harus sedikit bekerja keras untuk mengajarkan anak-anak didiknya yang baru masuk agar bisa memahami rahasia belajar anak usia dini. Sedikitnya ada 4 Dimensi Anak Usia Dini, Aspek Perkembangan Kognitif, Aspek Perkembangan Fisik, Aspek Perkembangan Bahasa, Aspek Perkembangan Sosio-Emosional.
"Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden years) yang merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual," katanya.
Pria yang juga counterpart Nagoya University dan Finland University ini menambahkan, Masa peka merupakan masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, agama dan moral.
"Difable mainstreaming belum menjadi arus utama yang patut diperhatikan. Sampai saat ini Indonesia masih tertinggal dengan negara lain terutama dalam hal pemenuhan fasilitas. Padahal ABK adalah anak-anak yang spesial. Mereka memiliki keistimewaan sehingga harus diberi apresiasi khusus." kata Munif.
Munif juga menekankan pentingnya peran guru dalam setiap proses pembelajaran ABK. Guru sangat menentukan apakah anak-anak difable bisa mengembangkan potensi dan keistimewaan itu. "Ada tiga hal yang akan membuat seseorang jadi pemenang yaitu memiliki physical happiness intelectual happines dan spiritual happiness," ujarnya.
Advertisement