Membaca Soe Hok Gie, Lagi...
TERLAMBAT, memang, menemuimu, dalam buku rancak ini. Semula, aku hendak menghadiri peluncuran buku berjudul apik ini: “Soe Hok-gie..... Sekali Lagi” di kampus UI Depok. Tapi hari itu aku sedang tidak hendak kemana-mana. Aku hanya di kantor tempatku menumpang, The Indonesian Institute. Dalam beberapa tahun ini, para pendiri dan penasehat kantor ini bertebaran di mana-mana. Sebagian besar menjadi narasumber pemberitaan media, hampir setiap hari. Ada juga yang sudah menjadi menteri. Karena sejak keluar dari CSIS tanggal 1 Januari 2009 aku tidak lagi punya kantor, maka kuminta ijin kepada Jeffrie Geovanie dan Anies Baswedan untuk mengisi salah satu ruangannya.
Aku sempat menitipkan membeli buku ini kepada seorang teman. Rupanya dia kuliah sampai sore, terutama mengerjakan makalah-makalah akhir tahun bersama teman-temannya. Beruntung, satu buku masih tersisa di rak buku baru toko buku Gramedia, di Jalan Hayam Wuruk. Toko buku yang berada beberapa meter dari kediamanmu, gie, di Jalan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Usai menghadiri pemakaman ayah seorang temanku di Karet Bivak, istriku minta diantar ke Gramedia membeli buku-buku masak. Jalanan lancar, mengingat 3 in 1 masih berlaku. Gerimis turun. 30 Desember 2009. Usai membeli buku itu, aku langsung antar istri ke rumah yang tidak jauh dari toko buku itu, lalu meluncur ke Fadli Zon Library, bertemu Fadli dan Subuh Prabowo.
Gus Dur meninggal malam itu. Teman-teman di Kabinet Indonesia Muda melayat. Aku telanjur janji jumpa Fadli sambil makan soto Padang. Selain itu, badanku masih lemah setelah beberapa hari sakit. Sakit kepala tidak hilang sampai di rumah malam harinya, lewat pukul 23.00. Sebutir Altalgin menghilangkan sakit kepala, sambil membaca berita Gus Dur di layar internet dan televisi. Kuraih Soe Hok-gie, Sekali Lagi, lalu terus membacanya.
Bagaimana membacamu, gie, kini? Dulu, Catatan Harian Seorang Demonstran (CHSD) ludes kubaca dalam beberapa hari. Beberapa kali kubaca, kutulisi, sampai kuberikan kepada siapapun yang meminjam, lalu kubeli lagi dan lagi. Entah berapa kali aku membeli CHSD dan entah berapa kali juga kupinjamkan kepada orang lain lagi untuk selamanya.
Ketika film berjudul “Gie..” dibuat, terus terang aku tidak menontonnya. Bahkan sampai hari ini. Aku khawatir kecewa. Tapi aku tidak berhenti mencari tahu kisah-kisahmu, termasuk bertanya kepada teman-teman dekatmu. Aku masih ingat menanyakanmu kepada Aristides Katoppo, ketika suatu hari kami bertiga – bersama istriku – mengadakan perjalanan di pulau Bali. Aku juga bertanya kepada sejumlah lawan-lawan politikmu yang mengatakan kamu ekstrim dan “bukan siapa-siapa”.
Bagaimana, gie, membacamu kini? Aku sungguh tidak tahu. Kamu adalah senior di jurusan yang kumasuki pada tahun 1991. Jurusan yang kupilih dengan sadar, pilihan kedua setelah Jurusan Meteorologi dan Geofisika ITB. Ya, hanya karena aku suka dengan gaya bercerita guru-guru sejarahku, terutama ibu Lenggogeni di SMPN Kampung Dalam. Jurusan yang menyebabkan orang-orang berpikir bahwa aku akan bekerja di museum.
Aku tidak mungkin menceritakan tentang kamu. Yang bisa kuceritakan, pengaruhmu terhadapku, juga terhadap ribuan mahasiswa lain di segala zaman, selama 40 tahun lebih ini. Bagaimana tidak, CHSD menjadi buku wajib siapapun yang bergerak dan melakukan pergerakan. Dua buku wajib lain adalah “Dari Penjara ke Penjara” Tan Malaka dan “Pergolakan Pemikiran Islam” Ahmad Wahid. Aku sudah membaca buku Tan sejak semester satu, dipinjamkan oleh Arfandi Lubis almarhum yang meninggal dunia terkena kanker usus. Buku Wahid kukenal ketika masuk Himpunan Mahasiswa Islam.
Sungguh, gie, aku merasa malu bahkan hanya dengan mengingatmu. Kamu bisa menjadi sosok yang dibenci dan dipuja, tanpa harus merasakan apa-apa. Kamu mati di usia muda, 27 tahun. Kematian yang baik dan indah di puncak Gunung Semeru. Sekalipun tinggal di kaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang di masa kecil, aku bukanlah pendaki gunung. Hanya sempat mencapai pinggangnya. Di pulau Jawa ini, aku hanya sempat sampai di puncak Gunung Gede, bersama teman-teman Teater Sastra UI. Istrikupun ketika mahasiswi sampai di puncak Gunung Gede itu, ketika masuk Mapala UI. Sayang, aku tidak ijinkan ketika dia ingin mengikuti prosesi “Perjalanan Jauh” ala Mapala UI. Ibunya keberatan dan aku mendukung ibunya yang khawatir atas putri satu-satunya.
Kamu dulu tidak suka politik, sekalipun setiap hari berisik tentang politik. Tapi apa mau dinyana, teman dekatmu Syahrir alias Ciil justru masuk politik. Sunarti yang sering kau sebut dalam CHSD malah kini jadi ketua umum partai politik. Nurmala Kartini Panjaitan Syahrir, nama asli Sunarti, seorang mahasiswi yang suka pakai rok mini dan teman dekatmu. Aku cukup kenal dengan Bang Ciil. Terakhir bertemu dengannya ketika aku dengan Saldi Isra dan Irman Putra Siddin makan di Vietopia, Cikini. Tertawanya renyah sekali kala itu, justru ketika begitu banyak kritik kami sampaikan kepada anggota Wantimpres itu.
Kalau kamu masih ada, gie, aku juga tidak akan bertanya tentang sah-tidaknya juniormu ini masuk partai politik. Itu bukan diskusi yang baik. Tapi setidaknya aku yakin bahwa pilihan berpartai hari ini adalah bagian dari semangat kolega-kolegamu. Coba tanya kepada Thamrin Amal Tomagola, Rizal Ramli atau Mochtar Pabottingi, tiga manusia flamboyan yang tidak henti-hentinya nyinyir pada politik. Ketiganya aku yakini akan tertawa renyah, serenyah Bang Ciil, kalau kutanya apakah keputusan masuk partai tepat atau tidak.
Juga soal kesukaanmu menulis artikel, puisi, nonton film, musik atau mencintai alam raya dan sekaligus manusianya. Dalam usia 10 tahun lebih tua darimu, aku sudah menulis lebih dari 400 artikel, sepuluh kali lipat dari artikel-artikelmu. Aku belajar terus, gie. Juga puisi-puisi, tentu, termasuk yang bersifat pribadi sekali. Kamu telah mengajarkanku dengan sangat baik arti sebuah tulisan, juga makna perasaan. Herannya, sampai kini aku tidak bisa naik sepeda, padahal kamu bisa. Di usia 27 tahun itu kamu tidak bisa naik sepeda motor dan mengendarai mobil, penyakit yang juga hinggap di kaki dan tanganku.
Aku tidak ingin menceritakan apapun lagi tentangmu, dalam buku ini. Yang bisa kukatakan adalah terima kasih kepada Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R yang menjadi editor buku ini. Mereka telah membacamu dengan baik dengan cara menulisnya dan mengantarkan bacaan itu kepada pembacanya seperti aku. Aku yakin, gie, buku ini akan hadir di perpustakaan anak-anak muda negeri ini, sekalipun ditulis oleh kakek-nenek tua berusia menjelang 70 tahun. Gayanya itu, lho, gie, muda banget dalam menulismu. Selamat ulang tahun ke-67 tahun, gie. Terlambat memang.
Kepada Idhan Lubis yang juga kaku bersamamu di Gunung Semeru sana, kusampaikan salam terbaik. Nanti, tanggal 19 April 2010, Idan Lubis akan berusia 61 tahun. Dan tepat pada hari itu, aku menginjak usia 38 tahun. Dalam setiap ulang tahunku nanti, mudah-mudahan aku ingat ulang tahun teman seperjalananmu itu, di puncak Mahameru...
*) Indra Piliang, Alumnus Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI (1991-1997)