Membaca Praktik Politik Mutakhir
Majalah Tempo edisi edisi 12 November 2023 memuat secara eksklusif pendapat ahli ilmu politik asal Amerika Serikat, William Liddle. Sang Ahli pada mulanya memperkirakan Indonesia akan menjadi adil makmur di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Namun setelah periode ke-2, pendapatnya berubah drastis terutama setelah Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) ditempatkan kedudukannya di bawah Presiden dan lahirnya UU Omnibus Law yang merugikan buruh serta Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi ipar Presiden. Sehingga memungkinkan upaya meloloskan sang putera, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Cawapres.
Dilihat dari sudut pandang Demokrasi Liberal yang memosisikan MK pada posisi yang tinggi sebagai pengawal konstitusi, maka campur tangan eksekutif terhadap lembaga negara yang independen merupakan pelecehan dan membahayakan konstitusi. Apalagi kasus tersebut terkait dengan pencalonan sang putera sebagai Cawapres yang dalam hal ini bertentangan dengan prinsip Demokrasi Liberal bahwa kekuasaan politik bukan jabatan yang bisa “diwariskan".
Salah pandang terhadap prinsip Demokrasi Liberal (Neo-Lib) yang diadopsi dalam UUD Amandemen 2002 mungkin bisa terjadi pada siapa pun, karena nilai-nilai bangsa Indonesia c/q kekeluargaan atau gotong royong tidak seluruhnya paralel dengan nilai Peradaban Barat yang individualistis. Oleh karena itu banyak pihak yang mulai menyadari perlunya perubahan UUD Amandemen 2002 yang dinilai sudah melenceng dari cita-cita para Pendiri Bangsa (Founding Father).
Dalam sistem Demokrasi Liberal (Neo-Lib) yang diadopsi oleh negara negara Anglo Saxon antara lain AS, Inggris, Kanada, Australia, selain nilai individualisme, juga sangat sensitif terhadap nilai feodalisme seperti pencalonan anggota keluarga pejabat politik menjadi eksekutif diluar proses politik yang konstitusional. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah munculnya liberalisme dalam Revolusi Perancis, ketika mereka menuntut hilangnya kekuasaan politik kaum bangsawan atas dasar turun-temurun dan digantikan dengan kekuasaan yang dipilih oleh rakyat.
Memahami Nafas Demokrasi Liberal
Tidak semua warga bangsa dan bahkan para politisi yang paham benar nafas dari Demokrasi Liberal yang dalam hal tertentu tidak selaras dengan jiwa kebersamaan atau komunalitas. Contoh yang mudah adalah ribuan hektare tanah hak ulayat yang berpindah ke pengusaha besar. Kita meniru Demokrasi Liberal apa adanya tanpa menyaring nilai atau konsep politik, sosial-ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa.
Dalam Demokrasi Liberal, equality atau prinsip kesetaraan ekonomi diabaikan. Kesetaraan hanya berlaku di bidang politik. Persaingan bebas atau free fight competition berlaku maksimal. Seseorang tidak dibatasi kekayaannya sejauh mampu membayar pajak.
Sebaliknya di negara negara yang menganut sistem Sosial Demokrat di Eropa Daratan, berlaku pembatasan relatif terhadap penguasaan ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejarah penguasaan atau monopoli ekonomi kaum bangsawan yang bisa membahayakan kehidupan politik dan demokrasi untuk mencapai keadilan sosial melalui kolusinya dengan penguasa.
Demikianlah usaha gerakan politik Eropa itu untuk mencegah pemerintahan yang oligarkhis.
Apa yang kita lihat dalam episode praktik politik akhir-akhir ini memberikan kesadaran kepada kita tentang pentingnya menjaga perkembangan politik dan demokrasi agar tidak terjerumus ke dalam jurang dimana elemen-elemen monarkhi membentuk perjalanan sejarah politik dan demokrasi kita ke depan yang bertentangan dengan ruh Pancasila.
Respon Warganet
Menarik untuk disampaikan di sini. Seorang warganet, Rinie Daracora memberi komentar: "Ulasan yang sangat informatif dan luar biasa Pak Kiai. Menambah asupan ilmu pengetahuan bagi saya lagi. Melihat situasi yang terjadi menjelang akhir masa jabatan seharusnya mengantarkan dengan baik.
"Ibarat seorang pilot bagaimana memastikan peralatan ketika take-off meningkatkan kecepatan untuk lepas landas dan memberikan kenyamanan dalam penerbangan. Bagaimana mengatasi ganguan turbulensi bila ada terjadi dan mampu menghantarkan para penumpangnya dengan menurunkan kecepatan hingga landing dengan selamat.
"Namun, tidak demikian yang terjadi pada periode kedua ini. Segala sesuatu melampaui batas kewenangan. Apakah Trias Politica penerapannya berjalan di Indonesia? Sepertinya belum maksimal dan cendrung tidak, bahkan pragmatis dijalankan oleh sebagian mereka yang dipecayakan dengan kewenangan untuk melaksanakan sesuai aturan ternyata banyak melencengnya. Karena penguasanya berani menabrak-nabrak aturan sesukanya tanpa ada beban dan dampak yang pahit dialami oleh rakyat.
"Bukan tidak mungkin perlahan kesadaran akan muncul secara massif dalam bentuk perlawanan untuk melawan arah kepolitik monarkhi."
Itulah komentar Rinie Daracora, seorang warganet, pendapatnya otentik, cadas dan cakep.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement