Membaca Pilpres 2019 Lewat Pilgub Jatim
Ketika Jokowi memberi lampu hijau kepada Khofifah untuk maju sebagai Cagub pada Pilgub Jawa Timur, spekulasi hitungan politik terhadap manuver Presiden ini marak bertebaran di dunia maya. Mulai yang berasal dari kalangan pemain, pengamat, peneliti-akademisi, hingga pemerhati politik amatir dari kalangan netizen. Semua menyodorkan analisa yang cukup menarik.
Bagi para pemain yang gemar membenturkan Jokowi dengan Megawati, kompor pemanas suasana pun mulai dihidupkan. Pemberian restu kepada khofifah dibaca sebagai sinyal bahwa Jokowi mengirim pesan kepada Megawati, bahwa bila harus berhadapan di lapangan Pemilu 2019, Jokowi pun siap. Atau bisa juga mengirim pesan bahwa pada Pilpres 2019, Jokowi tidak sepenuhnya bergantung pada belas kasihan PDIP, karena ia mampu menggalang kekuatan untuk merebut tiket pencalonan dirinya lewat partai-partai di luar PDIP.
Pada sisi lain ada yang justru menilai pemberian restu kepada Khofifah sebagai langkah yang cerdas dan capaian politik dengan cost murah. Perhitungannya, Khofifah pasti kalah! Ini adalah upaya memperbanyak jatah kursi kabinet yang bakal diberikan oleh Jokowi kepada partai-partai yang komit setia pada pencalonan dirinya di 2019. Pergantian posisi menteri di Kementerian Sosial membuka jalan yang elegan untuk melakukan reshuffle.
Setidaknya, pergantian beberapa pembantu Presiden yang dianggap kurang mampu, maupun menggeser menteri yang berasal dari partai yang selalu melakukan pembangkangan pada setiap kebijakan Presiden, bisa dilakukan dengan lebih dapat diterima oleh publik sebagai kewajaran. Publik selain menerima sebagai kewajaran, menganggap langkah reshuffle efisien dan bukan tindakan yang terkesan memaksakan; karena sekali dayung sekian pulau terlewatkan!
Amatan lain menyodorkan kemungkinan Jawa Timur digunakan sebagai uji coba politik 2019 (testing the water); sejauh mana Nahdatul Ulama dan PKB mampu mengarahkan massa ke satu titik dukungan. Bila Syaiful-Anang yang menang, soliditas itu masih ada. Tapi kalau Khofifah-Dardak yang menang, maka daya jual PKB dan Nahdhatul Ulama sebagai sebuah organisasi politik dan organisasi sosial-keagamaan, akan menurun di mata Jokowi.
Dari sisi PDIP, menyeberangnya Emil Dardak yang rela meninggalkan kursi jabatan Bupatinya untuk kursi Cawagub mendampingi Khofifah, merupakan PR politik yang cukup menimbulkan suasana kurang nyaman. Upaya Khofifah untuk membelah suara massa PDIP telah membangkitkan amarah sejumlah kader yang dengan geram mempertanyakan; apa yang sebenarnya dikehendaki Jokowi? Terlepas dari kenyataan Jokowi sendiri telah berulang kali mengatakan tidak ikut campurtangan pada setiap Pilkada yang digelar!
Suasana tak nyama ini lebih terasa menajam ketika secara terbuka dan cukup demonstratif Demokrat memberi dukungannya kepada Khofifah. Foto SBY dan Pakde Karwo yang ekstra pamer dukungan terhadap Khofifah, telah mengundang tanggapan yang variatif. Mereka yang paham bahwa hubungan antara SBY dan Mega tak berjalan baik, langsung saling berceloteh...hmmm, nantang iki, rek! Sementara bagi pengamat yang melepaskan masalah hubungan SBY-Mega, malah menilai bahwa foto mejeng ala SBY ini tak akan berpengaruh secara signifikan. Bahkan ada yang malah menganggap foto mejeng ala SBY justru merugikan Khofifah, karena SBY adalah bintang yang tengah meredup.
Membaca peta Pilpres 2019 lewat Pilgub Jatim akan lebih mudah dibaca ketika partai lain telah menjatuhkan pilihannya. Walaupun pada dasarnya manuver Gerindra-PKS-PAN-PPP yang akan mencoba membangun poros baru dengan menampilkan calon sendiri, tak akan berdampak signifikan pada konstelasi kekuatan dua kubu favorit yang tengah berhadapan: Gus Ipul vs Khofifah! Kecuali pada tikungan akhir Poros Prabowo cs ini memutuskan memberi dukungan pada salah satu calon yang tengah berhadapan. Karena bila poros ini memunculkan cagub baru, hitungan di atas kertas Gus Ipul akan mengungguli Khofifah secara pasti!
Karenanya keputusan politik poros Prabowo cs ini menjadi langkah yang mempermudah kita membaca Pilpres 2019 lewat Pilgub Jatim 2018!
Kita tunggu saja!
*Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com
Advertisement