Membaca Perspektif Hary Tanoe & Surya Paloh Tentang Wartawan & Bisnis Media
Membaca Perspektif Hary Tanoe & Surya Paloh Tentang Wartawan & Bisnis Media
Oleh: Derek Manangka
Kabar yang menyebutkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan protes keras atas pemutusan hubungan kerja secara massal di suratkabar Sindo, cukup menarik perhatian saya. Karena diakui atau tidak cikal bakal berdirinya koran Sindo pada tahun 2005, berawal dari tantangan Hary Tanoe kepada saya.
Saat itu saya menduduki posisi Pemimpin Redaksi “RCTI”, sedangkan Hary Tanoe Dirut sekaligus pemilik mayoritas saham tv swasta pertama di Indonesia itu.
Bahwa pada akhirnya saya bersama Jongkie Sugiarto, Dirut badan hukum yang menerbitkan Sindo, disingkirkan - menjelang terbitnya suratkabar yang tadinya diberi nama awal “Seputar Indonesia” tersebut, hal itu merupakan cerita tersendiri.
Menarik perhatian, sebab sekitar dua bulan lalu, Jongkie Sugiarto yang kini menduduki posisi Direktur Utama PT Hyundai Indonesia, sudah mencium bau tidak sedap dari penampilan dan pengelolaan harian Sindo.
“Saya berlangganan, tapi saya tidak mau baca Sindo lagi. Setiap hari di Sindo pasti ada foto Hary dan isterinya. Bingung saya. Saya yakin gak lama lagi koran ini akan ditinggalkan pembaca”, kata Jongkie serius.
Namun yang ingin saya sampaikan, pemutusan hubungan kerja secara massal di koran Sindo tersebut bukan hanya oleh sebab foto dan berita pemilik koran tersebut. Melainkan terjadi karena banyak sebab. Satu di antaranya, kebijakan Hary Tanoe sebagai pemodal.
Hary tidak seperti orang sukses di media, yang kesuksesannya melalui sebuah proses panjang. Hary Tanoe bukanlah orang yang lahir dari dunia pers, sehingga secara dialektika dia sebetulnya kurang paham tentang dialog-dialog yang harus dilakukannya di bisnis media.
Sayangnya Hary Tanoe merasa sebagai pemilik modal yang sangat paham tentang bagaimana mengelolah pers. Dia terlalu percaya diri sehingga melihat orang lain dengan sebelah mata. Akibat lainnya dia tidak melihat SDM wartawan sebagai asset penting.
Hary Tanoe sebagai pendatang baru di industri media, memiliki pemahaman bahwa mencetak wartawan merupakan pekerjaan yang gampang. Dan wartawan itu bisa diatur-diatur oleh pemilik modal untuk melakukan apa yang sesuai dengan kepentingan pribadinya.
Saya berani mengatakan demikian, karena walaupun saya hanya bekerja tidak sampai tiga tahun di RCTI, tetapi waktu yang singkat itu memberikan banyak pembelajaran.
Di antaranya bagaimana Hary Tanoe melihat sebuah peristiwa sebagai berita atau penting diberitakan.
Pengalaman singkat itu membuat saya bisa memahami bagaimana karakternya sebagai pemilik media yang baru seumur jagung berkecimpung di dunia media yang persaingannya demikian ketat.
Dari kasus PHK Sindo ini, saya ingin membuat perbandingan sikap antara Hary Tanoe dengan Surya Paloh yang nota bene dua-duanya juga bekas boss saya.
Saya suka membandingkan mereka berdua juga antara lain karena penampilan mereka yang kontroversil.
Mereka pernah bersama-sama di Partai Nasdem, tapi tanpa ba bi bu, tiba-tiba sudah bubaran. Bahkan ada yang cerita, bubaran mereka diwarnai oleh dialog yang tidak bersahabat. Surya Paloh dikabarkan mengusir Hary Tanoe secara kasar dari ruang kerjanya di Gedung Prioritas, sebelum suasana menjadi lebih panas.
Pengusiran itu terjadi di tahun 2013, menjelang penyusunan personalia DPP Nasdem. Pengusiran membuat Hary Tanoe terpaksa mencari perlindungan ke Wiranto di Partai Hanura.
Terusir dari Partai Nasdem, kemudian Hanura, Hary Tanoe akhirnya mendirikan Partai Perindo.
Keduanya juga senang tampil di tv milik mereka masing-masing untuk menyapa pemirsa apakah dalam rangka Hari Raya Idul Fitri atau hari istimewa lainnya. Hary Tanoe di RCTI dan MNC grup, Surya Paloh di Metro TV. Hingga di sini antara Hary Tanoe dan Surya Paloh ada kesamaan.
Yang membedakan mereka, berada pada kebijakan soal PHK.
Saya berani membedakan dengan sebuah kesimpulan subyektif, karena selama 13 tahun saya menjadi karyawan atau wartawan di lingkungan bisnis media-nya Surya Paloh. Jangka waktu itu cukup membuat saya bisa dengan mudah membedah perbedaan mereka.
Kalau bicara soal kesulitan sehingga alasan itu mendorong terjadinya PHK secara massal, dalam penilaian sepintas, apa yang dialami oleh Hary Tanoe, di mata saya, tidak ada apa-apanya dibandingkan kesulitan yang pernah dialami oleh Surya Paloh.
Tahun 1987 ketika harian “Prioritas” milik Surya Paloh dibreidel penguasa, di atas kertas, karirnya sebagai investor media, sebetulnya sudah tamat. Peluang Surya Paloh untuk bangkit sudah sangat tipis. Karena yang dihadapinya bukan hanya para pemilik media yang tidak menghendakinya menjadi besar. Melainkan keberpihakan pemerintah terhadap bisnis ataupun industri pers, sangat minim.
Secara resmi, setelah penutupan harian “Prioritas” tersebut, perusahaan tidak punya pemasukan sama sekali. Sehingga Surya Paloh merogoh kantong dari perusahaan lainnya seperti PT Indocater. Jadi Surya Paloh tidak mendorong karyawan terutama wartawannya keluar atau mengundurkan diri.
“Saya sebagai kapten kapal berharap kita semua yang menjadi awak kapal. Semua awak baru akan meninggalkan kapal ini, kalau semua penumpang sudah berhasil kita selamatkan”, ujar Surya Paloh seperti berpuisi.
Ini yang saya tidak dengar dari Hary Tanoe, padahal selain Sindo, dia juga masih punya beberapa media yang memberi penghasilan.
Di tahun 1997 atau sepuluh tahun setelah malapetaka “Prioritas”, krisis keuangan dialami oleh harian “Media Indonesia”. Goncangan bisnis media Surya Paloh kembali terjadi. Pada saat itu, “Media Indonesia” baru membeli mesin cetak. Sehingga uang tunai banyak tersedot ke pengadaan mesin cetak.
Solusi yang ditempuh Surya Paloh adalah dengan memberi pemahaman kepada seluruh karyawan tentang situasi genting yang dialami perusahaan. Surya ingin berbagi beban sembari meminta pengertian agar karyawan bersedia menerima gaji sementara - hanya separuh dari jumlah yang seharusnya. Tapi dia berjanji gaji yang belum diterima, kelak direimburs setelah situasi keuangan membaik.
Dengan janji begitu beban perusahana dalam keuangan menjadi ringan. Pada saat yang sama, Surya Paloh minta dilakukan evaluasi atas jumlah tiras yang harus dicetak.
Kesimpulannya jumlah koran yang dicetak dibatasi hanya sebanyak jumlah pelanggan. Dan tidak ada sama sekali promosi koran gratis. Hasilnya jumlah tiras yang dicetak merosot tajam.
Namun akibat positifnya terjadi penghematan yang luar biasa. Karena penurunan jumlah tiras yang dicetak, berakibat biaya pembelian kertas koran dalalam mata uang dolar, turun jauh. Maklum kertas koran yang digunakan Media Indonesia, semua diimpor.
Moral dari kebijakan Surya Paloh, dia libatkan seluruh komponen perusahaan untuk memahami kondisi kritis yang mengancam kematian bisnis media. Pada saat yang sama dia ajak seluruh karyawan untuk bekerja secara efisien dan efektif dan tentu saja produktif.
Tujuannya hanya satu : harus selamat semuanya. Ini pula yang saya tidak dengar dari Hary Tanoe
Di situlah sekaligus keunggulan Surya Paloh atas Hary Tanoe sebagai investor dalam industri media.
Bagi Surya, SDM, apakah itu wartawan atau non wartawan, semuanya memiliki peranan yang penting. Sehingga tidak pernah terbersit dalam ucapannya bahwa ketika bisnis medianya mengalami kesulitan, maka yang harus menjadi korban adalah karyawan. Atau dilakukan pemecatan secara massal.
Bagi perusahaan memecat itu mudah tapi bagi karyawan, trauma pemecatan itu akan menjadi bayang hidup selama masih hidup.
Ada hal kecil yang harus dicermati dalam PHK massal di tubuh harian Sindo ini.
Jika Sindo merupakan bagian dari MNC Grup dan MNC merupakan perusahaan yang sahamnya milik publik, Otoritas Jasa Keuangan perlu memeriksa perusahaan ini atau para Direksinya.
Arinya harus ada pertanggungan jawaban secara hukum dari perusahaan atas hak-hak publik yang diabaikan. Sebagai perusahaan publik, Sindo seharusnya ditegur, diperiksa atau diawasi. Bila perlu pemiliknya diberi sanksi. ***
· * Derek Manangka, wartawan senior tinggal di Jakarta