Membaca Pasuruan dalam Gandheng Renteng #11
Pencapaian yang tak mudah dilakukan secara istiqomah, bagi organisasi yang dihuni lintas generasi, yang sebagian besar adalah para guru seni dan seniman. Organisasi itu bernama KGSP (Komunitas Guru Seni dan Seniman Pasuruan). Di tengah pandemi covid pun, KGSP tetap berproses kretif. Menyiapkan diri untuk menjaga agar tradisi dan eksistensinya tetap hadir dengan berkesenian, walau dengan segala keterbatasan dan persoalan. Hingga kini telah hadir kembali dalam perhelatan GANDHENG RENTENG ke 11 dengan mengambil tema “Pecut diseblakno”.
GANDHENG RENTENG, yang merupakan nama kegiatan tahunan KGSP yang sudah berjalan lebih dari satu dekade. hingga saat ini. Kegiatan ini diikuti oleh 40 perupa anggota KGSP dan 9 perupa FDI (Forum Drawing Indonesia) pada perhelatan GR#11 kali ini, yang menjadi menu awal bagi masyarakat di Pasuruan setelah pandemi yang menimpa. Mereka, masing-masing adalah;
1. Afreshawenny, 42 tahun, yang sangat ikonik dengan topeng-topeng dalam perwujudan diberbagai karyanya. Masih mengkomposisikan topeng-topeng dengan mengeksplorasi media dalam pembacaannya atas gejala lingkungan yang terjadi. Repetisi dinamis membuat berlama-lama dalam mengamati setiap detail ekspresi yang dibuat. Sebagai representasi atas keaadan semesta; pesta lara luka raya.
2. Aldy, 15, menggunakan pensil diatas kertas dan gypsum dengan menghadirkan ekspresi tiga sosok yang berbeda. Gelisah, bungkam dan menantang disajikan dalam bentuk mistis, dramatis dalam kepekatan suasana yang digarap secara halus. Tiga ekspresi tersebut sebagai simbol adanya penyalahgunaan atas keadaan pandemic yang melanda.
3. Berbeda bagai Anang, 33, menjadikan bambu sebagai identitas eksistensinya. Melalui ketrampilannya ia selalu menghadirkan karya yang sangat ikonik; media alam; bambu. Kejutannya dengan menghadirkan bambu beralih fungsi lain yang tidak lazim, jauh di luar dugaan. Bambu tersebut menjadi alat musik yang dapat mengeluarkan bunyi dengan karakteristik khas. Melalui bambu, Anang menjadikan nada-nada yang dihasilkan sebagai pengantar untuk merenungkan kembali ribuan ingatan yang terputus ketika dihadapkan pada kompleksitas norma yang palsu.
4. Asnawi, 56, seorang guru seni di SMPN 7, di tengah kesibukannya, merefleksikan keadaan melalui ketrampilannya di atas papan triplek dengan menggunakan alat soder. Visual bayi dalam guratan spiral sebagai point of view memegang harapan penting. Menjadi petanda gelombang kehidupan manusia.
5. Pun Bambang, 58, perupa sekaligus seorang guru, yang dalam karyanya tak jauh dengan aspek lingkungan. Dalam membaca Pasuruan, Bambang menelaah masyarakat dari beragam latar belakang dan strata sosial yang berbeda, juga kekayaan alam yang melimpah. Bentangan sosial masyarakat tersebut terfokus pada masyarakat pesisir yang tergambar di atas media berukuran 90 X 110.Semangat dan kekuatan gotong royong sebagai tatanan pola hidup bagi masyarakat pinggiran masih terjalin di tengah kemajuan masyarakat.
6. Figur manusia kerap menjadi model dalam memvisualisasi ide gagasan. Selain ojek yang mudah didapat bagi seorang seperti Brian, 15, manusia dengan segala estetika dari sudut pandangnya mampu disajikan dengan gaya drawing di atas kertas dengan menambahkan kesan draperi menjadi kekuatan karya. Dua figur manusia dengan perspektif normal yang saling tidak normal sedang mencari wajahnya sendiri ditempat ia lahir.
7. Berbeda dengan seorang fotografer seperti Tory, 44, pembacaan pasuruan melalui tangkapan lensa kamera. Dieksplorasi dalam media; menjadi kontruksi, dekonstruksi.Ikonik Pasuruan sebagai tanda dan petanda visual penting untuk membuka pengandaian, dalam premis kontradiksi.
8. Firdaus, 41, juga seorang guru seni di SMPN 8 menampilkan gejolak pandemi yang selama ini melanda semesta. Mendistorsi ikon wabah corona diatas kanvas dengan menggunakan cat minyak menjadi figur manusia, dimana ikon corona tidak lagi menakutkan dan membosankan. Kali ini tampil dengan versi menawan. Sebagai ungkapan duka terhadap korban penyintas covid-19.
9. Wak Asin-wak asin-wak asin. Kata yang tak asing bagi judul karya milik Garis, 37. Untuk kesekian kalinya putra daerah ini mengeksplorasikan kata iwak asin (ikan asin) atau wak asin sebutan akrab bagi warga pesisir Pasuruan dengan visual dan media yang berbeda dari karya sebelumnya. Kali ini, seniman muda asal kota Pasuruan yang telah berpameran di Australia dan California ini menjadikan ikan asin sebagai mascot yang dihadirkan secara beragam, bersamaan dengan coretan bolpoint di atas kepingan-kepingan triplek. Sangat kusam tapi detail.
10. Gatot Japet, 60, seniman nyentrik berjiwa muda, kali ini tidak menghadirkan karya instalasi. Tapi melalui pencil dan cat akrilik pada media kanvas 160cm X 120cm, Ia mengolah figur andalannya yaitu bayi. Terbalut kain dengan taburan kupu-kupu imutnan cantik. Berlatar belakang warna putih merah yang memudar dengan judul ‘Bukan Salah Dia’.
11. Hafizh Ardiansyah, 19, perupa penyandang tunarungu dan tunawicara.Ia mengekspresikan kondisi yang dialaminya pada media kertas panel berukuran 150cm X 40cm dan 100cm X 80cm. Bergaya doodle yang rumit, detail, terstruktur, ekspresif menjadi kekuatan pesona visualnya. Seakan seperti refleksi atas jiwanya.
12. Bagi Iron Supaley, 29, pemilik sanggar petelot konte yang diperuntukkan untuk anak-anak ini membaca Pasuruan melalui tehnik drawing dengan menggunakan pensil di atas permukaan kayu. Melalui pengerjaan yang rumit, objek pensil menjulang ke atas, diraih dua tangan yang dikelilingi ornament bunga dan burung merak merupakan kontradiksi bagi generasi millennial yang serba instan.
13. Kevin, 18, dan Tobibi, 18, berkolaborasi dengan tehnik photography yang menggunakan media konvensional. Melalui objek masjid jami’ kota Pasuruan sebagai ikon untuk menyampaikan persoalan tentang sindrom dalam bersosmed pada umumnya yakni sebagai konten tanpa menyesuaikan, mengenali, memahami terlebih dahulu.
14. Febian, 19, membaca Kota Pasuruan dari adanya kirap pataka. Karya ini menggambarkan sosok seorang prajurit wanita yang bisa disebut dengan Wironini yaitu prajurit perempuan yang sedang membawa pataka (surat perintah). Menggunakan cat air pada kertas yang dikerjakan dengan berhati-hati, epic, pewarnaan yang selaras dengan konsep cerita yang ingin disampaikan.
15. Mauludi Achmad, 28, menggurat di atas papan Mdf berukuran 80cm X 80cm. Ia mencukilkan refleksi manusia bagai seorang bayi yang menunjuk pada lingkaran tangan mengepal. Keluar dari tong yang di atasnya terdapati seekor burung. Di tengah guratan padang lapang. Rumput yang tak seberapa. Tampak tengkorak kepala manusia.Ikon corona selalu tampak lagi. Bagai jargon atas keadaan yang menimpa semua elemen kehidupan.
16. Bagi Felix, 25, membaca Pasuruan dengan segala aspeknya; menuju industrialisasi, melalui sudut pandang cinematografi. Menghadirkan media baru yang tergolong dalam ‘video art’ berupa ‘expanded cinema’ atau film eksperimental. Mengambil topik yang remeh namun disajikan dengan spektakuler dan terstruktur. Melalui riset dalam perjalanan kreatifnya di 24 kecamatan selalu menjumpai sak karung berwarna putih di sejauh mata memandang. Ekspresi, bunyi-bunyian dihadirkan secara detail, penghancuran abstraksi, impresionistik, sinematik, dinamis dalam bentangan semiotik visual yang nyata melalui teknik intermedia. Memacu imajinasi untuk menghadirkan proyeksi baru tentang isi dalam sak karung.
17. Mochammad Mischat, 63 th, seorang pendidik masih tekun berkarya dengan media alumunium. Dalam membaca Pasuruan kali ini mengangkat topik ‘terbang ishari’ di atas media alumunium dengan goresan cat akrilik. Corak visual dengan nuansa religiusitas mengajak untuk merefleksikan kembali terbang ishari yang semakin punah sebagai produk kesenian dan kebudayaan.
18. Mohammad Suyuti, 28, merepresentasikan objek “sumber tetek” sebagai artefak peninggalan sejarah dengan tehnik hardboard di atas kanvas berukuran 100cm X 67cm. Warna monokrom menjadi korelasi kedalaman makna misteri yang terkandung. Dua objek yang ditampilkan berfokus pada bagian dada yang mengeluarkan air sebagai tanda dan petanda hermeneutika estetika alam.
19. Kemal Amiqul Fikri, 21, mengeksplorasikan visual menggunakan cat minyak pada media jendela yang terdapat 6 panel kaca. Kekuatan teks dan ilustrasi figurative yang kocak menjadikan seperti komik bergenre komedi tersebut asik dipandang.
20. Muhammad Fikri Haikal, 20, pemuda dari Sanggar Seni Cuciotak Rahmat Alam (coral) defisi seni rupa yang mengatas namakan ‘paru rupa’ ini menghadirkan instalasi karya sebagai representasi dari pendidikan yang diberi judul ‘Dari Sabak Sampai Millenial’. Kenakalan ide dan keliaran hadir secara nyata melalui kreativitasnya dalam mengkomposisikan matrial.
21. Muhammad Maksum, 25, menggarap drawing pensil pada kertas 90cm X 80cm secara hyperrealism. Menghadirkan model gadis yang tampak seperti berdarah asing sedang meminum air dari pompa air tradisional khas Indonesia. Fokus yang sangat detail membuat penglihat terkesima dengan suasana yang dibangun melalui warna monokrom hitam putih.
22. Wildan Naufal, 21, menyuguhkan karya berbasis tehnologi digital. Photography dengan sentuhan editing bergaya pop art dengan perpaduan suasana retro dari ke tiga objek panel dalam visualisasinya membuat karya berjudul ‘Kontemplasi’ tersebut bersahabat bagi genarasinya.
23. Yusuf Rizaldy, 21, merangkup Pasuruan dalam visual phography secara panel. Tempat tempat penting menjadi fokus sasaran dalam tiap frame dari delapan frame sebagai representasi Pasuruan secara umum. Mulai dari pemandangan sunrise bromo, alun-alun dan masjid Jami'.
24. Murdiono, 20, menggarap dengan charcoal pada kertas 80cm X 110cm. Baginya Pasuruan tak lepas dari figure yaitu Kh. Abdul Hamid. Tokoh ulama yang dihadirkan tersebut membuat siapapun yang melihat tanpa berfikir akan secara pasti mengenalnya sebagai figure panutan bagi masyarakat Pasuruan.
25. Secara kolektif, kelompok dengan label ‘paru rupa’ ini membaca Pasuruan secara rinci. Mulai dari ikon bangunan yang terkelupas dari kulitnya pisang, tangan dan kaki, tugu diatas punggung kura-kura, ekspresi generasi tersebut merupakan ketrampilan yang tidak mudah bagi generasinya, yang dihadirkan sebagai eksistensi dalam melangsungkan kesenian.
26. Reza Ahmad Fauzi, 24, merepresentasikan gejolak monotonitas yang di divisualkan dengan sangat ekspresif. Menggunakan repetisi symbol ikan koki dan kura-kura.Warna-warna primer semakin membuat kesan kuatnya gejolak, semangat untuk selalu berinovasi.
27. Rizki Arief Wahyudi, 36, membaca Pasuruan terinspirasi lewat lagu ‘November Rain-nya Guns N Roses. Tentang keprihatinan terhadap limbah sampah yang masih melimpah. Merespon bahan bekas kardus TV dan sampah plastik diolah menjadi karya yang luar biasa.
28. Bagi seorang guru dan aktivis seni seperti Saiful Ulum, 34, membaca kedalaman Pasuruan dengan memvisualisasikan bentuk kepala ikan memakan kepala manusia, melalui coretan pensil warna secara ekspresif di atas kanvas sebagai penanda, dan petanda bahwa realitas masyarakat nelayan Pasuruan yang hanya mengandalkan tangkapan ikan menggunakan perahu kecil. Mengarungi luasnya laut untuk kelangsungan hidupnya. Kondisi yang memprihatinkan tersebut sebagai kritik sosial kurangnya perhatian pemerintah terhadap pelestarian laut.
29. Namun bagi sesama guru seperti Sapta Rizky Artdiansya, 35, membaca Pasuruan dengan memadukan olahan tradisional dan digital sebagai tanda perkembangan zaman. Menghadirkan objek Hanoman sebagai ikon kuat dan perkasa yang digandrungi berbabagai illustrator. Karakteristik, atribut, makin melekat dan keren dengan sentuhan desain grafis yang disajikan dengan warna classic.
30. Sholihan, 61, mengekspresikan keceriaan bagi manusia bahwa wabah corona yang kini sedikit demi sedikit mulai lenyap. Melalui ekspresi goresan pencil diatas kertas berukuran 110cm X 80cm. Figure manusia yang dipadukan dengan garis-garis spontan membentuk komposisi yang harmonis.
31. Sihabudin, 20, memvisualisasikan dramatic figurative bergaya realis dengan media pensil diatas kanvas berukuran 149cm X 100cm. Tiga pose berbeda dalam satu orang yang sama disajikan secara bersamaan secara artistic. Sebagai representasi atas kata ‘Jadab’ sebuah istilah dalam religiusitas tentang perilaku yang tidak lazim. Memiliki kedalaman makna, kontradiksi, kontroversi, multitafsir, hermeneutika, post-spiritualitas.
32. Sjafril, 26, penggarapan drawing dengan grafit diatas kertas ukuran 120cm X 120cm. Dengan menampilkan potret enam tokoh dunia dari latar belakang yang berbeda. Media yang kusam dapat disajikan karya secara jelas.
33. Soeryadi, 64, sebagai perupa senior di kota Pasuruan, Ia masih aktif berkarya dengan menggunakan cat minyak dan sapuan pisau pallete pada kanvas. Human Interestselalu jadi dambaan dalam pemilihan objek visual.Ekpressionis, ekspresif, menjadikan lukisan orang-orang pasar yang bermasker sedap dipandang, dan mendapat kesan setelah melihatnya.
34. Bagi Sri Farimah, 54, perupa sekaligus guru seni ini, merajut mimpi melalui benang pada ruang holahop dengan teknik makrame merupakan harapan besar. Menggantungkan keinginan banyak hal dalam bentuk dream capture, diantaranya untuk dapat memiliki Gedung kesenian sebagai tempat bersama.
35. Tenry Latanre, 20, seniman muda ini pun menghadirkan dramatic figurative dengan tehnik drawing pada media kanvas berukuran 115cm X 90cm. Pangilon dalam Bahasa Jawa merupakan diksi persamaan dari kata instropeksi. Lima figur dirinya sendiri dihadirkan secara bersamaan dengan pose yang berbeda. Adalah refleksi diri untuk tetap terjaga dalam segala hal. Tiap detail dan pengolahan dari perspektif ruang digarap dengan penuh pertimbangan. Menjadikan yang memandang ikut larut dalam pembangunan suasana pada karya tersebut.
36. Triano Nanda, 34, seorang pengajar yang dalam pembacaannya terhadap kehidupan diekspresikan melalui cipratan dan sapuan spontan cat akrilik diatas kanvas. Dinamika, lika-liku, jatuh-bangun, maju-mundur dan segala aspek kehidupan tersirat dalam percikan warna-warna kontas.Symbol-simbol perjalanan manusia memasuki tiap sudut ruang.
37. Wahyu Nugroho, tak asing dengan karya-karyanya yang ikonik tentang teknik drawingnya yang khas. Mengedepankan intuisi dalam ide penciptaan karya. Pada pembacaan Pasuruan kali ini, ia memvisualisasikan intuisinya dengan menggarap empat panel (70 X 60cm) menggunakan media cat akrilik pada kanvas berukuran 120 X 140cm. Merepresentasikan ‘imajinya’ melalui komposisi garis-garis, warna, menjadi bentuk-bentuk tak beraturan, berulang, tumpang tindih. Terdapat bentuk ‘mata’ sebagai poin of viewpada tiap bentuk-bentuk yang dihadirkan. Merupakan interpretasi dari pengalaman; pengetahuan, kepribadian, renungan, suasana batin, spiritualitas atas perjalanan hidupnya di segala aspek. Bergaya abstrak–ekspresionis menjadikan estetika karya tersebut semakin menawan.
38. Wans, 34, mengeksplorasi garis-garis dengan media campuran di atas kanvas berukuran 100 X 100cm dalam pembacaannya tentang keadaan yang terjadi di Pasuruan. Ia memvisualkan garis-garis lurus bergelombang tanpa putus, berulang, menjadi penanda gejolak batin yang ditemuinya di berbagai tempat dari berbagai khalayak.
39. Yoes Wibowo, 47, dalam karyanya merepresentasikan tentang kekayaan Pasuruan dari segi peninggalan sejarahnya sebagai kota ‘pusaka’. Kinara-kinari merupakan visualisasi bentuk kepala manusia berbadan dan berkaki burung. Penggabungan lukisan dan kolase ukir dengan sebagian tehnik glazing dengan cat akrilik pada media berukuran 100 X 120cm. Menjadikan karya tersebut sebagai gambaran kisah Nyi Sri Gati yang mengenalkan padi dan pembawa kemakmuran di wilayah gunung gangsir.
40. Edy Santoso, 59, seorang guru, musisi sekaligus perupa menginterpretasikan atas pembacaannya terhadap Pasuruan melalui pensil warna di atas kertas berukuran 100x100. Objek visual tiga mata yang masing-masing dalam ruang lingkaran dan segitiga, serta fokus pada sosok anak kecil yang memandang pada objek bangunan, menyiratkan tentang polemic Gedung Kesenian di Kota Pasuruan. Di mana keberadaan Gedung tersebut merupakan harapan besar masyarakat, terutama para seniman untuk menjadi ruang ekspresi. Namun kenyataan sampai sekarang tak lebih hanya artefak sebagai mimpi belaka.
Dengan demikian perayaan visual dalam bentangan makna sebagai penanda tentang Pasuruan telah disajikan pada perhelatan Gandheng Renteng #11 oleh Komunitas Guru Seni dan Seniman Pasuruan (KGSP). Pengaruh kesenian yang digarap KGSP telah berhasil memberi pengaruh positif merambah ke segala aspek kehidupan: agama, sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan, sebagai sumber kekayaan untuk lebih berkembang, dewasa, waspada bagi kelangsungan ekosistem kehidupan dalam era post-realitas seperti saat ini. (Yudha Prihantanto, penulis dan penggiat teater)