Membaca Maju Mundur Politik Soekarwo
Kemana arah angin politik Soekarwo menjelang lengser dari Gubernur Jawa Timur dua periode? Bisa saja tetap berkutat di Jatim dengan jabatan politiknya di Partai Demokrat. Bisa juga menemukan jalan baru di luar partai yang selama ini mengusungnya.
Salah satu cara melihat arah angin itu dari berubah-ubahnya ketua DPD Demokrat ini dalam menempatkan diri di peta koalisi. Bermula dari gerakkan voting mendukung Jokowi dan berakhir dengan pernyataan setia pada partai dengan mendukung Prabowo-Sandi.
Ketidak konsistenan Soekarwo sebenarnya bisa ditebak karena posisinya sebagai Gubernur tinggal menyisakan beberapa bulan. Beberapa skenario untuk membawanya ke Jakarta sangat mudah dibaca.
Target tertinggi adalah menjadi cawapres, atau minimal adalah menteri. Target ini bisa terbaca ketika tiba-tiba muncul tagar #TerimakasihPakdeKarwo pada 1 Agustus 2018 yang lantas disusul pada tagar #JokowiKarwo sehari sesudahnya.
Tagar ini serasa digerakkan oleh mesin karena tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba bisa muncul tagar yang menduduki peringat 10 besar di user twitter.
Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) DPD Demokrat Jawa Timur, pada Sabtu 21 Juli 2018 juga bisa dibaca sebagai bagian dari desain awal. Saat itu, mayoritas DPD Kabupaten/Kota menginginkan Demokrat memajukan Jokowi sebagai capres.
Dalam rekomendasi ini ternyata malah sama sekali tidak menyebut nama Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Demokrat Jawa Timur hanya menyebut menyebut dua nama yakni Jokowi dan Prabowo.
Ketika Partai Amanat Nasional (PAN) resmi bergabung ke koalisi Prabowo, Soekarwo tiba-tiba juga menemui Ketum Nasdem Surya Paloh. Saat itu, satu-satunya menteri dari PAN di kabinet Jokowi hampir pasti akan segera dicopot. Soekarwo disebut-sebut menjadi salah satu kandidat pengganti.
Sayangnya, Jokowi bukannya memilih Soekarwo namun malah mengganti menteri dari PAN dengan mengangkat Wakapolri Komjen Syafruddin. Satu pintu masuk Soekarwo untuk masuk dalam gerbong Jokowi telah tertutup.
Sehari setelah Reshuffle, Soekarwo bersuara bahwa dirinya tetap akan setia pada Demokrat dan mendukung Prabowo-Sandi. "Tidak mudah untuk ke luar dari partai (Demokrat), apalagi sudah hampir 10 tahun saya kelola," kata Soekarwo Rabu 15 Agustus 2018.
Tak hanya gagal masuk ke gerbong Jokowi. Soekarwo ternyata juga tak kunjung bisa menempatkan orangnya menjadi sekretaris daerah (Sekda). Dari tiga nama yang disodorkan tim pansel yakni Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim Heru Tjahjono, Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jatim Bobby Soemiarsono dan Kepala Dinas Perhubungan Jatim Wahid Wahyudi semuanya masih ngambang. Kementerian Dalam Negeri belum menyetujui satupun dari tiga nama ini untuk menjadi Sekda.
Paska Pilgub Jawa Timur yang dimenangkan Khofifah Indarparawansa-Emil Dardak, jalan politik Soekarwo tampak makin sempit. Basis politiknya tinggal Partai Demokrat karena dia menjabat sebagai Ketua DPD PD Jatim.
Dengan sikap politiknya yang mengusung Khofifah, ia sudah dianggap "tidak ada" oleh para kiai mainstream NU yang dalam Pilgub Jatim mendukung Saifullah Yusuf. Padahal, saat maju untuk periode kedua di Pilgub Jatim, ia sudah menandatangani kontrak politik untuk menjadikan Gus Ipul sebagai gubernur selanjutnya.
Tapi apa yang terjadi? Ia mengingkari kontrak politik dengan para kiai NU dan pimpinan pondok pesantren tersebut serta lebih setia kepada partainya untuk mengusung calon lain. Karena sikapnya itulah, ia kehilangan basis politik yang besar sebagai bahan tawar menawar politik untuk karir selanjutnya.
Harapannya sekarang tinggal kepada Jokowi. Apakah Presiden yang kader PDIP tersebut masih menghitungnya untuk menambah kekuatan dalam Pilpres mendatang? Padahal, saat pilpres berlangsung, ia sudah tidak lagi menjabat sebagai gubernur Jatim sehingga kendali atas birokrasi juga sudah hilang.
Ia sebetulnya masih punya irisan modal sebagai kader marhaen yang pernah menjabat sebagai Ketua PA GMNI. Namun irisan itu juga menjadi sempit untuk dimanfaatkan karena sebagian kaum marhaenis-Soekarnois masih belum move on dengan kegagalan cucu Bung Karno, Puti Guntur Sukarno, menjadi wagub Jatim. Soekarwo dianggap ikut andil atas kegagalan tersebut.
Sebetulnya, jalan karir politik Soekarwo melalui gerbong Jokowi dulu sudah terbuka lebar. Yaitu saat ia ditawari Jokowi menjadi menteri di Kabinet Kerja. Cuma saratnya ia harus meninggalkan Partai Demokrat. Tawaran itu terjadi di awal pemerintahan Jokowi.
Namun, saat itu, ia masih enggan meninggalkan SBY. Apalagi, fenomena AHY yang menjadi putra mahkota SBY di partai berlambang bintang Mercy itu belum muncul. Soekarwo masih menjadi kader potensial yang mungkin bisa diusung menjadi bintang baru Partai Demokrat.
Lantas bagaimana politik Soekarwo selanjutnya? Di atas kertas, peluang dia masuk gerbong Jokowi memang makin sempit. Toh demikian, bukan berarti peluangnya tidak ada. Apalagi, Soekarwo dikenal sebagai birokrat dengan keahlian politik yang tinggi.
Itu terbukti sampai kini. Sebagai seorang birokrat ia bisa mencapai puncak dengan zigzag politiknya yang ciamik. Mulai dari sebagai kader Golkar di zaman Orde Baru, kader PDI Perjuangan di awal reformasi, menggapai jabatan politik lewat Partai Demokrat, dan kelak entah apa lagi. (Tim ngopibareng)