SEJUMLAH sahabat netizen membagi foto dan video yang mempertontonkan Menko Polkam Wiranto sedang mengajak Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Kapolri Tito Karnavian untuk melakukan “Salam Komando”. Lantas di bawah gambar tersebut ada catatan singkat yang menyebutkan, Jenderal Gatot Nurmantyo ‘ogah’ menuruti ajakan Jenderal Wiranto untuk bersalaman dengan Jenderal Tito Karnavian. Peristiwa itu katanya terjadi di sela-sela atau seusai acara peringatan Hari Kesaktian Panca Sila, 1 Oktober 2017, di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Gambar pertemuan tiga jenderal ini, tentu saja cukup berbicara dan menarik untuk disoroti. Khususnya dari sudut pandang politik. Bahwa antara Panglima TNI dan Kapolri, secara diam-diam, sedang bermasalah. Dan itulah saya kira salah satu alasan mengapa gambar tersebut disebar luaskan oleh netizen ke berbagai akun media sosial. Tujuan penyebaran, bisa bermacam-macam. Ada yang mungkin sekedar menebak-nebak tentang benar tidaknya ada permasalahan antara TNI dan Polri. Misalnya, benarkah Panglima TNI merasa ‘dilangkahi’ dan ‘terancam’ oleh supremasi Polri ?. Pasalnya ada kabar yang menyebutkan – Brigade Mobil Polri mengimpor 5.000 pucuk senjata dari Bulgaria. Salah satu negara di Eropa Timur yang pernah menjadi “satelit”-nya Uni Sovyet di masa Perang Dingin. Di negara ini Indonesia menempatkan Duta Besarnya – Astari Rasyid, seorang bekas peragawati dan janda mendiang eks Dirut PT Caltex, Harun Al-Rasyid. Bisa saja ada alasan dan tujuan lain. Namun saya lebih tertarik melihat dari sudut pandang sejarah reformasi. Jika saja tidak terjadi reformasi di tahun 1998, kemungkinan besar masyarakat Indonesia, khususnya netizen, tidak akan bisa melihat postingan seperti itu. Hari itu postingan tersebut muncul, dalam hitungan kurang dari 24 jam, saya perkirakan pihak yang memposting gambar itu sudah diciduk oleh aparat yang ciri-cirinya berpotongan badan tegap dan rambut cepak. Jika saja tidak ada reformasi, status TNI dan Polri, tidak akan seperti saat ini. Polri tidak terpisah dari TNI atau ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Namun berkat reformasi, segala-galanya berubah. Masyarakat tidak lagi melihat Panglima TNI atau siapapun yang berpangkat jenderal sekaliber Wiranto, sebagai sosok yang harus ditakuti. TNI dan para prajuritnya bener-benar menjadi garda bangsa. Demikian pula dominasi TNI Angkatan Darat atas semua matra di semua angkatan, dihapus oleh reformasi. Yang berkesempatan menjadi Panglima TNI tidak hanya Jenderal Angkatan Darat. Sementara jenderal dari matra Udara dan Laut, hanya berharap pada nasib baik saja. Jadi sebetulnya reformasi yang paling mendasar dan yang paling terasa magnitude-nya adalah berakhirnya peranan TNI Angkatan Darat sebagai kekuatan politik. Peranan militer dalam dunia politik melalui apa yang dikenal dengan sebutan dwi-fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), sudah tutup buku, berkat reformasi. Reformasi telah mengakhiri tradisi politik, dimana ABRI khususnya TNI Angkatan Darat, tidak lagi bisa menduduki semua posisi yang dianggap penting dalam semua strata kepemimpinan di Indonesia. Impor senjata pun (mungkin) demikian. Hak monopoli, kalau istilah bisnis ini boleh digunakan untuk memperjelas persoalan, sudah digantikan oleh persaingan bebas dan profesional. Hanya memang, karena budaya kita dikenal sangat suka berbicara atas dasar ‘rasa pirasa’ dan “tepo seliro”, maka persoalan yang diakibatkan oleh reformasi ini, tidak pernah kita singgung. Bahkan kita cenderung berusaha menutupi atau mengabaikannya. Seolah-olah persoalan ketersingkiran ABRI, khususnya TNI Angkatan Darat dari posisi kekuatan politik, tidak punya dampak sama sekali. TNI AD dikesankan begitu legowo menerima perubahan tersebut. Militer atau TNI menjadi pahlawan demokrasi. Demokratisasi akibat peran kuat pihak militer, semakin terasa, ketika Indonesia dipimpin oleh Jenderal SBY. Selama 10 tahun (2004 – 2014) menjadi Presiden RI, Jenderal SBY lebih mengesankan sebagai seorang sipil. Setidaknya, seorang militer profesional yang tidak mengadopsi sistem pemerintahan otoriter. Sebaliknya Polri yang selama rezim Orde Baru diposisikan seperti kekuatan yang ‘tak punya senjata’, pasca reformasi, berubah secara fundamental. Mulai dari penampilan sampai dengan memanfaatkan kedekatannya sdengan Presiden. Perubahan-perubahan akibat reformasi ini, diparodikan dalam sejumlah ungkapan. Misalnya soal sepatu lars dan TNI. Ketika dwi-fungsi ABRI sedang kencang-kencang dipraktekkan, siapa saja yang mengenakan sepatu lars, sepatu tentara, bisa menginjak kaki orang yang tanpa sepatu sekeras-kerasnya. Begitu juga dengan Polri yang memperoleh kekuasaan baru , plus porsi anggaran yang cukup besar di APBN. Ditambah lagi Kapolri-nya bisa duduk sejajar dengan Menteri atau bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Muncul parodi yang mengingatkan apa yang dilakukan oleh ABRI di zaman pra reformasi. “Kalau anda kehilangan kambing, sebaiknya tidak usah melapor ke siapa-siapa. Sebab kalau anda melapor kehilangan kambing, lembuh piaran anda yang justru akan ikut hilang…”, demikian kurang lebih parodi tersebut. Saya masih ingat tahu lalu, Panglima TNI menyuarakan kerisauannya. Dimana menurut Gatot Nurmantyo, sudah semenjak dia masih berpangkat Kolonel, institusi penjaga keamanan, tidak lagi mendapat suplai informasi dari aparat intelejen. Kedengarannya janggal dan menimbulkan tanda tanya besar. Atau apa maksudnya., mengingat lembaga intelejen selama puluhan tahun selalu dipimpin yang namanya baju ijo. Sebaliknya ketika di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pihak Polri mengeluh. Karena yang ditugaskan memberantas GAM (Gerakan Aceh Merdeka) seperatis di Aceh adalah Biegade Mobil (Brimob) dari kesatuan Polri. Padahal Brimob tidak punya pengalaman menghadapi kekuatan bersenjata separatis. Dengan melihat latar belakang ini, sudah seharusnya Gatot Nurmantyo dan Tito Karnavian yang masing-masing pimpinan tertinggi di kesatuan masing-masing, berpikir secara reformatif. Sebagai masukan dari orang yang hanya mengenal jabatan Panglima TN dan Kapolri dari kejauhan, saya tertarik memberi catatan bagi jenderal Gatot Nurmantyo dan jenderal polisi Tito Karnavian. Mas dan Bro Jenderal…….semestinya kalian bersyukur, karena reformasilah, maka kalian berdua bisa mencapai posisi tertinggi di angkatan kalian. Andaikata tidak ada reformasi dan kalian tidak melakukan KKN, mungkin sampai saat ini kalian masih berpangkat kolonel. Tanpa reformasi, posisi pimpinan yang kalian rengkuh, mungkin tak akan bisa kalian raih. Sebab tidak ada uji kelayakan dan kepatutan di parlemen (fit and proper test). Yang ada hanya lah prosedur KKN. Kalian berdua menempati posisi sekarang melalui sebuah prosedur yang bermartabat. Jadi jagalah martabat sekaligus kepercayaan itu. Sebaliknya akuilah bahwa buah reformasi 1998, sekalipun positif tetapi juga ada virus-virus negatif yang menempel di dalamnya. Dan kalau cara berpikir reformatif itu dilakukan, Jenderal Gatot Nurmantyo perlu melihat persoalan besar yang pernah dihadapi ABRI atau TNI AD di era Orde Baru. TNI pernah dipecah bela oleh issue TNI “Ijo” dan TNI “Merah Putih”. Terbelahnya TNI AD saat itu, lebih banyak disebabkan oleh tergiurnya sejumlah jenderal untuk berkecimpung dalam dunia politik. Semoga terbelahnya TNI akibat politik apalagi yang bermuatan SARA, tidak berulang. Sebab jika hal ini terulang atau berulang, konsekwensinya sangat destruktif. Atau terpecahnya TNI maupun terjadinya konflik antara TNI dan Polri, berpotensi untuk ditunggangi oleh kekuatan yang tidak menginginkan NKRI tetap utuh. Perpecahan dan konflik ini bisa saja ditumpangi oleh agen rahasia asing apakah ittu CIA, KGB, Mossad san M16 untuk menghancurkan Indonesia. Negara-negara yang diwakili para agen rahasia itu, pasti melihat perpecahan dan konflik di Indonesia, merupakan peluang bagi negara yang mereka wakili untuk menyuplai persenjataan atau alat perang. I am so sorry bro Jenderal, saya hanya berandai-andai. ** *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta Gatot Nurmantyo