Memastikan Hak Pilih Rakyat: Dinamika Pemutakhiran Data Pemilih Menuju Pemilu 2024 yang Demokratis
Oleh: Ahmad Najib
Dalam perhelatan elektoral, posisi pemilih menjadi semacam “syarat syar’i”. Keberadaannya setara dengan Peserta Pemilu/Pemilihan dan Penyelenggara Pemilu/Pemilihan, apabila salah satu dari ketiga elemen ini absen, maka Pemilu/Pemilihan apapun tidak mungkin dapat dilangsungkan.
Sehingga urusan “Pemilih” menjadi sangat penting. Hak pilih merupakan hak yang melekat pada setiap warga negara. Ini tidak boleh dinegasikan dengan argumentasi apapun. Hak pilih merupakan hak asasi yang juga dijamin oleh konstitusi.
Dari sisi penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan, Hak Pilih dapat diargumentasikan melalui kegiatan Pemutakhiran data pemilih dan kegiatan tersebut selalu menjadi salah satu tahapan yang banyak diperbincangkan. Adalah wajar mengingat data pemilih erat kaitannya dengan tahapan lain di Pemilu/Pemilihan seperti pengadaan sampai dengan pendistribusian logistik di TPS.
Namun mengelola Daftar Pemilih bukanlah perkara mudah meskipun datanya sendiri sudah tersedia melalui DPT Pemilu/Pemilihan terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang diserahkan pemerintah untuk disinkronisasi oleh KPU sehingga menjadi Daftar Pemilih yang dimutakhirkan melalui kegiatan Pemutakhiran Data Pemilih.
Proses pemutakhiran data pemilih akan melewati berbagai macam dinamika di tengah realitas masyarakat yang dinamis. Mulai dari permasalahan domisili yang tidak sesuai dengan administrasi kependudukan, masyarakat yang belum merekam KTP elektronik, masyarakat yang sudah tercatat melakukan perekaman tapi belum memegang KTP elektronik secara fisik, hingga permasalahan warga meninggal namun tidak memiliki Surat Keterangan/Akta Kematian, “ada” Data kependudukannya di Daftar Pemilih namun masyarakat setempat tidak mengetahui keberadaannya, serta urusan “rumah tangga” seperti suami istri yang sudah pisah namun belum bercerai secara resmi dan tidak mau di Coklit sebagaimana dokumen kependudukannya.
Deskripsi singkat Alur Pemutakhiran Data Pemilih
Tanggal 24 Juni 2024 penanda dimulainya masa pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilihan 2024 yang kemudian berakhir pada 24 Juli 2024. Seperti yang telah disampaikan pada paragraf di atas, menyusun data pemilih pemilihan bukanlah sesuatu hal yang sederhana. Data pemilih dihasilkan melalui alur proses olah data yang panjang, melelahkan dengan melibatkan multi aktor dan institusi serta regulasinya masing-masing.
Pada sisi administrasi kependudukan, ada Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri yang memiliki otoritas menghasilkan data kependudukan, yang kemudian diolah menjadi DP4 untuk selanjutnya diserahkan ke KPU Republik Indonesia.
Setelah KPU RI menerima DP4 dan di sinkronisasi, lalu data DP4 hasil sinkronisasi itu disandingkan dengan data DPT Pemilu terakhir. Data hasil sandingan itulah yang kemudian diserahkan oleh KPU RI ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota untuk dimutakhirkan dan di Coklit.
KPU kabupaten/kota kemudian membentuk petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) yang bertugas melakukan pendataan pemilih dari rumah ke rumah. Coklit dilakukan petugas Pantarlih dengan mencocokkan data pemilih yang ada di DP4 hasil sinkronisasi dengan DPT Pemilu terakhir yang selanjutnya disebut Daftar Pemilih dengan dokumen kependudukan yang dimiliki penduduk berupa KTP elektronik, Kartu Keluarga (KK), Biodata Penduduk, dan/atau IKD yang memenuhi syarat untuk memilih.
Setelah Pantarlih melakukan pendataan pemilih dari rumah ke rumah, data ini dicatat, diteliti dan dilaporkan secara berjenjang dari Pantarlih ke PPS, PPS ke PPK dan PPK diteruskan ke KPU kabupaten/kota untuk kemudian daftar pemilih hasil pemuktahiran itu direkapitulasi dan ditetapkan menjadi daftar pemilih sementara (DPS) oleh KPU kabupaten/kota.
DPS itu kemudian dilaporkan ke KPU provinsi untuk dilakukan rekapitulasi tingkat KPU provinsi. Kemudian KPU provinsi melaporkan DPS hasil rekapitulasi ke KPU RI untuk direkapitulasi, dan bersamaan dengan itu kemudian DPS diumumkan secara luas.
Pengumuman DPS biasanya dilakukan secara luas melalui papan pengumuman di kantor desa/kelurahan, atau di RT/RW, di seluruh Indonesia. KPU kabupaten/kota juga membuka kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat pemilih mengecek namanya di DPS, kemudian menyampaikan masukan dan tanggapan kepada PPS dan secara berjenjang sampai dengan KPU Kabupaten/Kota untuk perbaikan DPS.
Salinan DPS ini juga diserahkan ke tim pasangan calon di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Setelah memperoleh masukan dan tanggapan masyarakat, kemudian mengolah data DPS itu menjadi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP). Siklus yang sama kemudian dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota kembali mengolah DPSHP menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Mengulas De Jure VS De Facto
Tapi sesungguhnya proses pemutakhiran data pemilih mulai dari Coklit hingga menjadi DPT tidaklah semudah seperti alur cerita di atas. Banyak dinamika yang harus dihadapi Pantarlih dalam pelaksanaan coklit di lapangan. Mulai dari kondisi geografis khususnya di wilayah-wilayah sulit dan terpencil sampai masalah administrasi kependudukan dan kondisi masyarakat yang dinamis.
Acapkali permasalahan yang terjadi adalah data penduduk yang disediakan dalam DP4 tidak dinamis seiring dengan dinamika penduduk. Kesadaran masyarakat untuk pengurusan dokumen kependudukan terkait pindah domisili, perubahan status dan meninggal dunia terbentur dengan alasan prosedur yang panjang, atau mungkin kemudahan pelayanan dari Dispendukcapil belum sepenuhnya tersampaikan dan dipahami masyarakat, dan bahkan warga yang sudah meninggal kadang masih menjadi alasan “bantuan sosial”. Sedikit gambaran kondisi inilah yang selalu ditemukan Pantarih di lapangan.
Kondisi riil yang ditemukan Pantarlih terhadap penduduk yang pindah domisili tanpa disertai dokumen kependudukan masih banyak ditemui saat Coklit Pemilihan 2024 ini. Jika menganut asas de facto, keadaan ini sangat memungkinkan munculnya pemilih ganda. Namun KPU telah mengantisipasi dengan menerapkan asas de jure dalam pelaksanaan coklit.
Pemutakhiran data pemilih Pemilihan 2024 dilakukan berdasarkan asas de jure (sesuai hukum), artinya pemilih yang di data sesuai dengan kepemilikan alamat yang tertuang di KTP elektronik, KK, Biodata, dan/atau IKD dan bukan berdasarkan di mana dia tinggal (de facto) saja.
Pantarlih tidak boleh menghapus nama pemilih yang tertuang dalam Daftar Pemilih meskipun ada informasi pemilih tersebut sudah pindah domisili namun tidak diikuti dengan pengurusan dokumen pindah domisilinya termasuk Pemilih yang secara de facto masyarakat setempat tidak mengetahui “keberadaannya” atau siapa Pemilih tersebut (Pemilih tidak dikenali). Begitu pula Pantarlih tidak boleh memasukkan pemilih yang tidak sesuai alamat KTP di wilayah kerjanya.
Oleh karenanya jika menemukan rumah warga yang belum tertempel stiker coklit, bisa jadi karena mereka adalah warga baru namun masih memiliki dokumen kependudukan di wilayah asalnya. Pertanyaan kemudian yang muncul, bagaimana mereka memilih saat pemilihan nanti? Untuk kasus seperti ini mereka harus memiliki surat pindah memilih. Informasi ini menjadi tugas KPU beserta jajarannya untuk memberikan pemahaman kepada pemilih, selanjutnya terkait dengan Pemilih yang tidak dikenali, bagaimana memperlakukan Pemilih tersebut ? Apakah cukup dengan menganggapnya “sesuai” pada Daftar Pemilih ?
Problem berikutnya yang tidak kalah peliknya adalah pemilih meninggal dunia. Tidak sedikit Pantarlih yang menemukan nama yang terdaftar di Daftar Pemilih ternyata sudah meninggal dunia dan tanpa memiliki dokumen akta kematian. Data kependudukan yang bersumber dari DP4 tetap mencantumkan nama-nama orang yang sudah meninggal selama ahli warisnya belum mengurus akta kematian. Sedangkan dalam banyak kesempatan akta kematian menjadi dokumen yang jarang diurus oleh pihak keluarga.
Sementara pihak Dispendudukcapil sendiri lebih banyak menunggu permintaan dari masyarakat dalam menerbitkan suatu akta kematian. Akibatnya ketika keluarga tidak mengajukan permintaan akta kematian (maka banyak kematian tidak memiliki akta kematian) sehingga orang mati tetap saja bercokol dalam Daftar Pemilih. Ini tentu menjadi persoalan ketika Pantarlih melakukan coklit berdasarkan asas de jure.
Pemerintah dalam hal ini Dispendukcapil harus segera mengambil langkah terhadap data riil pemilih meninggal yang ditemukan Pantarlih dengan menerbitkan akta kematian. Selain bertujuan untuk menciptakan kepercayaan publik terhadap akurasi data pemilih juga bertujuan agar data pemilih meninggal tidak muncul kembali pada Pemilu atau Pemilihan selanjutnya.
Dari sisi Pengawasan, terdapat perbedaan mencolok pada proses pemutakhiran data pemilih Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024 dibandingkan dengan Pemilu Tahun 2019. Pertama, proses pemutakhiran data pemilih secara de jure. Kedua, pada sisi akses data pemilih, saat ini Bawaslu tidak diberikan akses data Pemilih.
Karena itu, penting mengangkat dan mengingatkan kembali sistem pengawasan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih pemilihan Tahun 2024 di tengah keterbatasan akses data. Perubahan konstruksi hukum di tengah banyaknya kerawanan seperti di atas berdampak pada metode pengawasan dan hasil pengawasan yang dilakukan Bawaslu.
Hasilnya, pertama, berdasarkan perkembangan politik hukum kepemiluan di Indonesia, pengawas pemilu tidak diberikan akses data pemilih dalam melakukan pengawasan Pemutakhiran Data Pemilih karena ada undang Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Kedua, metode pengawasan Mutarlih dilakukan dengan cara pengawasan melekat, uji petik, dan patroli pengawasan kawal hak pilih (saja).
Sehingga harapannya Perlu ada pembenahan kesadaran dari KPU, Dispendukcapil, serta Bawaslu dalam bentuk ikhtiar maksimal untuk mewujudkan Pemilu/Pemilihan yang demokratis dengan mengambil beberapa langkah pembenahan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki daftar pemilih.
Menyikapi kondisi ini, KPU, Dispendukcapil, Bawaslu, dan peserta Pemilu/Pemilihan harus selalu bersinergi untuk bersama-sama melakukan pencermatan data pemilih guna menghasilkan data pemilih yang benar-benar akurat, komperhensif, dan mutakhir. Perlu dingat bahwa ketidaktercatatan kependudukan secara administratif dapat menghilangkan kesempatan atau hak pilih untuk Pemilu/Pemilihan.
Dengan kata lain, problem administratif akan dapat menghilangkan hak politik warga negara. Problematika yang prinsipil ini harus dituntaskan oleh pemangku tanggung jawab untuk menghindari kerugian konstitusional dalam pelaksanaan Pemilu/Pemilihan dan demi menjaga kedaulatan suara rakyat.
*) Penulis adalah penyelenggara pemilu atau pemilihan di Kabupaten Kediri
Advertisement