Memanusiakan Riset Sosial (9)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Sedikit lewat pagi, saya terjadwal sebagai salah satu penguji proposal disertasi. Sebelumnya, saya menyempatkan menuntaskan baca. Sebagai langkah awal penelitian tugas akhir doktoral, adalah biasa bila isinya dihadapkan sekian soal. Apalagi, disertasi ini menggunakan perspektif Postmodernisme, yang populer dengan singkatan Posmo, salah satu aliran teoritis non-mainstream. Selain tak lazim, pemakaian perspektif ini juga relatif ‘asing’, bahkan cenderung dihindari. Alasannya, paradigma teoritisnya berbeda dengan perspektif mainstream, seperti Positivisme. Tak pelak, sebagian orang menganggapnya sedikit rumit.
Tapi, saya berpandangan positif. Salah satu alasannya, mahasiswa telah menunjukkan keberanian akademis. Setidaknya, ia berani keluar dari comfort zone akademis. Kala saya tanya: “Apakah anda benar-benar ingin memakai perspektif Postmodernisme?”. Dengan ia tegas menjawab: “benar!”. Anggukan kepalanya memperkuat jawabannya. Namun, menginjak pertanyaan berikutnya, tergurat kegamangan dalam responsinya. Apalagi, ketika saya tanya:
“Mengapa memakai kerangka teori?”. Pasalnya, proposalnya banyak mengutip konsep dan teori tanpa menukik pada relevasinya. Problem akhirnya teridentifikasi, yakni kurangnya pemahaman terhadap Postmodernisme. Ketika menjelaskan esensi Postmodernisme, jawabannya lebih berupa definisi daripada substansi yang bisa mengarahkan pada langkah dan proses risetnya.
Cerita di atas bukanlah balada nasib sial mahasiswa doktoral. Tapi, sepenggal kisah manusiawi seorang peneliti. Laiknya sosok manusia, ia punya kejelian sekaligus kealpaan. Apalagi, penelitian adalah seutas jalan yang slippery. Bahkan, kadang, terdapat Cul de Sac, sehingga peneliti perlu berjalan zig zag. Alkisah ini sekedar ilustrasi tentang aspek slippery. Di satu sisi, peneliti bersemangat menggunakan Postmodernisme. Tapi, pada sisi lain, mindanya terbelenggu perspektif Modernisme. Padahal, asumsi dasar keduanya bukan hanya berbeda, tapi berlawanan. Tak pelak, terjadi inkonsistensi dalam laku paradigmatis.
Modernisme adalah produk pencerahan (enlightenment). Ide dasarnya, pembangunan lembaga-lembaga rasional dan intervensi kebijakan yang berbasis pengetahuan obyektif akan membebaskan manusia dari prasangka dan takhayul yang merupakan produk tradisi sebelumnya. Rasionalisasi kehidupan sosial diyakini bisa mendorong kemajuan (progress). Optimisme ini pada gilirannya merambah filsafat ilmu, maujud dalam paradigma Positivisme (the scientific school of thought). Berbagai elemennya, seperti kepastian, kendali, pengukuran, analisis kausalitas, logika, ketertiban, otoritas dan kemajuan, melandasi modernisasi kehidupan masyarakat. Dalam ilmu Sosial, berbagai elemen ini menjadi pilar teori Sosial beserta metodologinya. Dalam kebijakan publik, mereka tercermin dalam tehnokrasi, yaitu aplikasi metode saintifik dalam pemecahan problem-problem sosial. Ringkasnya, keywords Modernisme mencakup kesatuan (unity), rasionalitas (rationality), tertib (order), dan kepastian (certainty).
Postmodernisme lahir sebagai kritik terhadap Modernisme. Perspektifnya bersandar setidaknya pada konsep 4 (empat) filsuf Perancis: Michael Foucault tentang kaitan knowledge and power, Jacques Derrida tentang deconstruction, Jean Baudrillard berkaitan dengan hyperreality, dan Jean-François Lyotard menyangkut the death of meta-narratives. Sebagai antitesa, Postmodernisme mempertanyakan asumsi Modernisme. Argumennya, dengan kepentingan, budaya, gagasan, dan nilai subyektif yang selalu membelit manusia; sulit bagi ilmu Sosial untuk bertumpu pada pure fact/activity, bersikap netral, dan obyektif. Tak aneh, jika mayoritas teoritisi Postmodernisme memandang ilmu Sosial sebagai upaya subyektif yang sederhana, bersifat sementara (tentative), ter-fragmentasi (fragmented), dan tidak pasti (indeterminate).
Kritik Postmodernisme bersifat radikal sekaligus eternal. Pasalnya, aliran ini bukan hanya mempertanyakan, tapi membongkar tertib keilmuan positivistik. James Rosenau menggambarkan: “Tentangan Postmodernisme sepertinya tak ada habisnya. Perspektif teoritis ini mempertanyakan asumsi epistemologis, menyangkal konvensi metodologis, menolak klaim pengetahuan, mengaburkan semua versi kebenaran, dan menolak rekomendasi kebijakan”. Implikasinya, keyakinan pada data dan investigasi empiris sebagai pijakan pengembangan ilmu Scientific perlu dibongkar. Dekonstruksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap cara berpikir dan praktek ilmu Sosial ala Modernisme yang hegemonik selama ini.
Sebaliknya, Postmodernisme bersikap radikal terhadap teori sosial. Teori-teori besar (big theories) dengan jangkauan luas, yang disebutnya sebagai grand-narratives atau master-narratives, dianggap problematik. L. Richardson, dari Ohio State University, menegaskan: “Inti dari Postmodernisme adalah keraguan bahwa metode atau teori apa pun, wacana atau genre, tradisi atau kebaruan, punya klaim universal sebagai wujud hak istimewanya dari pengetahuan yang otoritatif”. Tak pelak, big theories dianggap sebagai bentuk kolonialisme Modernisme. Penggunaannya justru mereproduksi Western ethnocentric view yang timpang dalam melihat subjek manusia. Hujahnya, generalisasi proposisi teoritis, dengan klaim ‘kebenaran universal’ (universal truth), harus dihindari. Alternatifnya, teorisasi fenomena sosial harus bersifat lokal, berwawasan luas, serta mempertimbangkan kompleksitas dan fragmentasi fenomena sosial.
Di samping anti-grand narratives, Postmodernisme juga memegang prinsip-prinsip keilmuan yang praktikal. Aliran ini menekankan signifikansi dari wacana (discourse). Bahasa bukanlah sarana deskripsi realitas dan penyampai makna. Secara diskursif, bahasa justru pembentuk makna. Ragam bahasa menunjukkan banyaknya suara (multiple voices), dengan makna yang variatif (varieties of unstable meanings). Selain itu, identitas diasumsikan terfragmentasi (fragmented) dan bersifat subjektif. Singkatnya, Postmodernisme merupakan sebuah corpus yang menggabungkan sejumlah elemen temporal, spasial, dan teoretis yang kontekstual; berkaitan dengan pemahaman terhadap realitas subjektif.
Di sisi lain, Postmodernisme juga menggeser agenda penelitian sosial. Semula, tujuan riset sosial, laiknya Modernisme yang positivist, adalah menjelaskan (explanatory) dan verifikasi (verification). Kemudian, tegas Richard H. Brown dari University of Maryland, Postmodernisme mengubahnya dengan “mengarahkan dan mempersuasi diri peneliti sendiri dan orang lain” (to guide and persuade themselves and each other). Obsesinya, adalah kebebasan intelektual. Batasannya, imajinasi peneliti itu sendiri. Dalam konteks ini, ilmu (science) dipandang sebagai hasil konstruksi retoris. Postmodernisme megemban tugas eksplorasinya.
Postmodernisme memang rumit. Jika mahasiswa bingung bukanlah kesalahan mereka. Pasalnya, ilmuwan juga gamang. Bahkan mereka masih berdebat, tentang penerapan filosofi, metodologi, dan sikap kritisnya dalam kehidupan empiris. Salah satu isunya, “a social researcher adapting to postmodern theory”, ataukah “a postmodern theorist adopting social research practices”. Apalagi, terdapat dua posisi yang tak mudah dijembatani. Di satu sisi, Postmodernisme menolak penjelasan yang berangkat dari grand-narratives. Tapi, di sisi lain, perspektif ini justru memperluas pengetahuan, dengan menawarkan wawasan tentang dunia sosial yang belum tereksplorasi. Dalam Administrasi Publik, salah ilustrasinya adalah ketegangan antara prinsip ‘efisiensi’ dan ‘keadilan’. Bagi Postmodernisme, atensi berlebihan pada efisiensi dalam institusi sosial dapat memicu, istilah Guy B. Adams dan Denny L. Balfour, ‘kejahatan administratif’ (administrative evil). Argumennya, dari sisi humanistik, tujuan dianggap lebih bernilai dibandingkan sarana untuk mencapainya.
Tak heran, jika reaksi akademis terhadap kritik Postmodernisme berspektrum. Secara umum, reaksi terpilah antara yang strong dan soft. Mats Alvesson memberikan elaborasi: “Menanggapi serius kritik Postmodernisme berarti akhir dari semua yang selama ini dianggap ‘positif’, seperti menawarkan hasil penelitian, interpretasi dan teori yang memahami (understanding) dan menjelaskan (explaining) fenomena dengan intensi memproduksi generalisasi. Jika menanggapinya kurang serius, [peneliti] akan menghindari produksi proposisi dengan klaim universal, dan, sebaliknya, ia akan mendukung teori Lokal”. Di antara keduanya, Alvesson pilih versi yang soft. Ia menjinakkan deconstruction, yang anti-interpretivism, dengan menawarkan interpretive unpacking approach. Elaborasinya, “Saya memaknai ‘dekonstruksi’ secara sempit dan menyarankan interpretive unpacking approach sebagai representasi Postmodernisme yang lebih lunak, berbatasan dengan interpretivisme yang ‘lemah’ (weak), [tapi] berlawanan dengan deconstructionist versi keras”. Tak pelak, dalam eksplorasinya, Postmodernisme versi lunak ini memakai constructivist- interpretivism.
Pandangan Postmodernisme menuai beberapa isu pertanyaan. Isu pertama, bagaimana format research design penelitian kualitatif, khususnya disertasi? Dengan prinsip anti-grand narratives, pada hemat saya, proposal disertasi tak perlu berangkat dari teori. Bila ada ekplorasi konsep teoritis, bukanlah bertujuan untuk membangun kerangka analisa, melainkan sekedar bentuk pertanggungjawaban akademis bahwa peneliti paham konsep-konsep yang terkait Postmodernisme. Imre Lakatos bisa membantu merefleksikannya. Menurutnya, epistemologi terdiri dari tiga komponen: (1) What we know (teori), (2) How to know it (metodologi), (3) By what means we know it (metode and tehnik). Jika direfleksikan pada epistemologi ini, maka eksplorasi Postmodernisme hanya mengandalkan komponen kedua dan ketiga, tapi menegasikan komponen yang pertama.
Jika komponen teori harus dinegasikan dalam pembuatan proposal, maka isu yang kedua: bagaimana dengan stock of theoretical concepts di kepala peneliti? Adalah naif untuk menghapusnya dari memori peneliti. Pasalnya, berkat pengalaman dan pendidikan sekian konsep telah menghunjam dalam benaknya. Yang perlu dan bisa dilakukan adalah mengendalikannya. Caranya, dengan mengisolasi (bracketing) berbagai konsep teoritis tersebut; sehingga tidak mengarahkan, apalagi mendikte, potensi temuan penelitian.
Isu yang ketiga, bagaimana metodologinya? Telah disinggung bahwa Postmodernisme menekankankan signifikansi kekuatan bahasa (power of language). Asumsinya, realita dibentuk secara diskursif (constructivism). Tak pelak, wacana (discourse) punya posisi penting. Untuk menguaknya, tersedia ragam analisa; mulai dari content analysis, ethno-methodologies, narrative analyses, historical narratives, life histories, sampai ethnographic case studies. Pilihan metodologi tergantung peneliti. Apapun bentuk penelitian kualitatif yang berupaya melakukan, pinjam konsep Clifford Geertz, “thick description” diterima. Alasannya, kebebasan intelektual peneliti adalah hakiki. Batasannya, imaginasi peneliti tak melewati demarkasi larangan produksi generalisasi. Metode dan tehnik penelitian bisa apa saja, sejauh mampu menyediakan data yang berdimensi bahasa alias wacana.
Isu terakhir, jika penelitian disertasi bagaimana menemukan kebaruan (novelty)-nya? Postmodernisme menuntut penelitian tanpa referensi teori. Peneliti diasumsikan berangkat dengan kepala ‘kosong’. Jadi, novelty merupakan muara proses eksplorasi konstruksi diskursif yang digunakan. Wujudnya, sebuah insightful analyses tentang fenomena sosial yang spesifik, dengan mempertimbangkan kompleksitas, fragmentasi, dan konteks lokalnya. Pasalnya, orientasi penelitian Postmodernisme adalah pengembangan pemahaman yang lebih lengkap (developing a more complete understanding) tentang aspek dunia sosial yang semakin beragam, kompleks, dan mungkin juga membingungkan. Tersedianya insightful analyses tentang fenomena sosial bisa memfasilitasi pembongkaran (unpacking) konsep teoritis yang telah mapan, hasil generalisasi ala teori Modernisme; atau membawa implikasi pada kebijakan publik. Wallahu’alam.
*) Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.