Memanusiakan Riset Sosial (8)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember.
Universitas di Amerika Serikat (AS) kembali bergolak. Pasalnya, polisi telah menyerbu dan membubarkan gerakan Gaza solidarity di berbagai kampus tersebut. Bahkan, tak sedikit mahasiswa yang ditangkap. Gerakan moral kalangan kampus AS bukanlah sesuatu yang baru. Di Columbia University, misalnya, April mob of protesters seakan berulang. April 1968 lahir protes anti-perang Vietnam, sedangkan April 1985 muncul gerakan boikot terhadap Afrika Selatan atas politik apartheid-nya. Sejak bulan lalu, April 2024, kritisisme moral bangkit lagi dengan Gaza solidarity encampments. Isu utamanya, “Palestine is the centre, liberation is the centre of this conversation”, tegas Etta, mahasiswi dari University of New York.
Memang, ada kemiripan dengan gerakan protes sebelumnya. Tapi, empati kemanusiaan Gaza Solidarity lebih kentara. Pemicunya, genocide Israel terhadap warga Palestina. Korbannya, telah mencapai 35 ribu jiwa. Katalisnya, scholasticide; yaitu penghancuran sistem pendidikan Palestina. Pakar PBB mengkalkulasi 80 persen sekolah hancur, hampir 5500 siswa beserta 261 guru, dan 95 Profesor tewas. Hamas mengkonfirmasi bahwa invasi bahwa Israel telah menewaskan lebih dari 100 akademisi dan peneliti. Tapi, mahasiswa AS justru prihatin atas kebungkaman kampus mereka. Etta, sekali lagi, menegaskan: “Sebagai institusi yang seharusnya mempunyai fungsi pendidikan, pembentuk minda, kebebasan akademis, bahkan tak bisa meluangkan sedikit waktunya untuk mengakui, berduka, dan membahas kehancuran institusi pendidikan di Palestina tersebut”. Bukanlah satu kebetulan bila poster mahasiswa University of Michigan menampilkan sajak penyair Gaza, Refaat Alareer, yang tewas akibat bombardemen Israel. Sepenggal baitnya telah menggugah sejarah: “If I die, you must live, to tell my story, …”.
Tragisnya, politik kekuasaan berupaya memadamkan lentera kemanusiaan Gaza Solidarity. Stigmasisasi-pun menyamun. Bahkan, tak kurang dari Presiden Joe Biden sendiri melakukannya. “Gelombang anti-Semit yang mengkhawatirkan, baik di sekolah, komunitas, dan dunia maya”, tukasnya. Biden nampaknya telah lupa akan makna dan esensi kemanusiaan. Atau, ia mungkin sudah tak peduli lagi atas dua fakta yang saling mengonfirmasi. Pertama, kesaksian dokter Perancis, Dr. Zouhair Lahna, yang telah mendedikasikan diri untuk pelayanan kesehatan di berbagai daerah konflik. Setelah terjun di Rafah pasca invasi Israel, Lahna bersaksi: “This is another injustice. … It’s not human!”.
Kedua, fakta bahwa Gaza Solidarity diikuti mahasiswa dengan variasi belakang etnis dan agama, termasuk Palestina dan Yahudi. Mahasiswa University of Michigan, Ahmad Ibsais, bersaksi: “Tuduhan anti-Semit telah disematkan pada kami. Tapi, stigmasisasi protes anti-genosida [di Gaza] sebagai gerakan anti-Semit bukan hanya tak masuk akal, tapi juga berbahaya. [Faktanya] di banyak kampus, mahasiswa Yahudi justru berada di tengah para mobilisator gerakan Pro-Palestina ini”. Meski stigmatisasi ini dimaksudkan untuk meredam gerakan, tapi dikawatirkan justru akan bisa memicu konflik horizontal.
Namun, Gaza solidarity tak lekang oleh stigmatisasi. Para mahasiswa tetap fokus pada isu Palestina. Bahkan, gerakan ini telah meluas ke seantero dunia, mencakup kampus-kampus di Eropa dan Australia. Nilai kemanusiaan melandasi ketegaran mereka. Seorang PhD student dari New York University, menjelaskan pada Al-Jazeera: “Mahasiswa bertindak atas dasar idealisme dan sejarah yang diajarkan di kampus. Sebagai mahasiswa yang belajar tentang kolonialisme, tentang hak-hak masyarakat adat, tentang dampak protes tanpa kekerasan sepanjang sejarah, maka akan sangat munafik, atau setidaknya akan melemahkan tujuan pendidikan kita, jika kita tidak bertindak. Horor di Gaza sungguh di luar imajinasi kami. Tindakan perlawanan kami ini hanyalah pengorbanan kecil, [yang] sama sekali tak sebanding dengan apa yang terjadi di tanah Palestina”. Keikutsertaan mahasiswa dalam gerakan Gaza solidarity ini memenuhi panggilan moralitas. Rue, mahasiswa The New School, New York; menegaskan: “Saya merasa ada keharusan moral bagi setiap orang untuk melakukan segala upaya yang mereka bisa, dengan kemampuan terbaiknya, guna memprotes dan melawan serta mengakhiri genosida ini”.
Testimoni dua mahasiswa yang terjun dalam Gaza Solidarity di atas mencerminkan moral concerns (keprihatinan moral) mereka. Secara substantif, moral concerns sering dianggap ekspresi nilai-nilai personal (personal values), karena berkaitan dengan pilihan subyektif. Pada saat yang sama, moral concerns juga bersifat normatif, karena menyangkut penilaian (judgement) ‘baik’ dan ‘buruk’ terhadap sesuatu. Misalnya, penilaian buruk terhadap ketidakadilan (injustice).
Dalam penelitian kualitatif, moral concerns adalah salah satu isu penting. Pertanyaannya: “Bisakah moral concerns, yang menghasilkan a normative question, dijadikan permasalahan penelitian?”. Pada hemat saya, jawabannya: “Bisa!”. Argumennya, isu yang berkaitan dengan nilai kemanusiaan justru mempermudah peneliti dalam merumuskan research question. Bahkan, isu tersebut menjadikan penelitian secara sosial relevan sekaligus penting untuk dilakukan. Robert A. Dahl, ilmuwan politik Yale University, menyatakan: “Sangat sulit merumuskan research question yang penting kecuali jika anda mampu mendefinisikannya dari segi nilai kemanusiaan (human values). Teori politik normatif, seperti sejarah pemikiran politik, sangat berguna untuk mengidentifikasi research question yang relevan dan penting, serta layak untuk ditanyakan”.
Tapi, pernyataan Dahl di atas membuat rasa penasaran menanti. Mengapa human values merupakan titik tolak yang penting dalam penelitian? Argumennya, nilai kemanusiaan selalu menyentuh hasrat dan hajat hidup orang banyak. Ketidakadilan, misalnya, secara empiris hampir selalu menjadi isu publik karena mendera rasa kemanusiaan. Ilustrasi Barrington Moore, Jr., political comparatist dari Harvard University, dapat membantu untuk memahaminya: “Ketidakadilan bisa menjadi sumber penderitaan besar bagi manusia. Sekian orang sangat menderita karena ketidak-adilan … Sebuah masyarakat yang tidak adil, seperti yang banyak kita temukan saat ini, dapat benar-benar sangat menyakitkan”. Tak pelak, ketidakadilan senantiasa mengundang atensi dan keprihatinan. Tragedi Gaza adalah salah satu contoh vulgar ketidakadilan. Israel dan AS selalu mendendangkan kidung sendu Holocaust kepada dunia. Namun, ironisnya, kedua negara ini justru senantiasa menegasikan derita Palestina di bawah 70 tahun pendudukan Israel. Tak heran, jika genosida di Gaza memicu moral concerns dunia. Dalam konteks penelitian, kita-pun jadi mafhum kala Robert Dahl menegaskan bahwa “identifying a [research] question that is important is a moral and normative issue, not a scientific issue!”.
Dalam proses penelitian, identifikasi research question merupakan langkah awal yang menentukan. Pasalnya, karakter research question mengarahkan peneliti untuk menentukan jenis risetnya. Isu ini mencakup dua dimensi: ontologis dan epistemologis. Ontologi mendiskusikan “bentuk dan sifat realitas, serta apa yang kita ketahui tentang realitas tersebut”. Epistimologi membincangkan isu-isu “apa itu pengetahuan, bagaimana menggapainya, dan hubungan antara ‘yang mengetahui’ (the knower) dengan ‘apa yang bisa diketahui’ (what can be known)”.
Yang perlu dicatat, ontologi dan epistemologi berjalin erat. Persilangan antar keduanya menyediakan basis bagi klasifikasi paradigma teoritis. Dalam ilmu Sosial, terdapat 4 paradigma: Positivisme, Realisme, teori Kritis, dan Konstruktivisme (Guba dan Lincoln, 1994). Secara ontologis, Positivisme dan Realisme bersandar pada asumsi bahwa realitas adalah ‘objektif’. Implikasi epistemologisnya, guna meraih pengetahuan tentang realitas ini peneliti perlu mengambil jarak terhadap obyek yang diteliti, sembari menghindari potensi bias yang mempengaruhi peraihan pengetahuan tersebut. Asumsi kedua paradigma ini mengarahkan pemakaian pendekatan empirisisme. Tujuan risetnya, penjelasan (explanatory) atas realitas ‘obyektif’.
Sementara itu, secara ontologis, paradigma teori Kritis dan Konstruktivisme punya asumsi yang sama. Keduanya menganggap tak ada realitas yang ‘obyektif’ (pure fact). Tapi, dalam epistemologi keduanya berbeda. Teori Kritis berargumen bahwa ketiadaan pure fact karena realitas (dan pengetahuan atas realitas ini) esensinya merupakan hasil filterisasi oleh ‘lensa’ interpretasi peneliti, yang berjaring nilai subyektifnya. Dengan pendekatan interpretivism ini, tujuan risetnya adalah ‘memahami’ (understanding) bagaimana nilai-nilai peneliti (the knower) dan partisipan (obyek penelitian) telah membentuk pandangan terhadap realitas sosial (social world). Tak pelak, identitas sosial peneliti menjadi penting untuk dideklarasikan sejak awal. Tujuannya, nilai subyektif peneliti yang terlibat dalam penelitian dapat dikenali.
Argumen Konstruktivisme agak beda. Secara ontologis, tiadanya pure fact bukanlah hasil interpretasi peneliti laiknya asumsi teori Kritis. Pasalnya, Konstruktivisme memandang realitas (dan pengetahuan atas realitas) sebagai hasil konstruksi sosial (socially constructed). Intinya, tak ada realitas “nyata”, tiada pula kebenaran tunggal (single truth). Yang ada adalah multiple truths, sebagai hasil berbagai konstruksi sosial. Faktor sosial, seperti gender, suku, dan kelas ekonomi, bukanlah filter interpretasi peneliti; melainkan justru bagian dari pelaku konstruksi sosial (social constructing agents) itu sendiri. Tujuan risetnya, menakar pemahaman (understanding) tentang social world. Epistemologi-nya, peneliti secara interaktif harus melibatkan partisipan guna mengurai realitas konstruksi sosial yang bersifat subyektif tersebut.
Jika normative issues bisa dijadikan problem penelitian, maka salah satu pertanyaannya: “Bagaimana memulai research design-nya?”. Pada titik ini, peneliti perlu jeli tentang obyek yang akan diinvestigasi. Fokusnya, mengidentifikasi karakter research question. Akurasi dalam mengidentifikasi research question ini, sekali lagi, menentukan jenis dan proses riset selanjutnya. Pasalnya, normative question tidak dapat dijawab dengan penelitian empiris dengan bersandarkan asumsi Positivisme yang bertumpu pada obyektifitas. Sebaliknya, normative question secara imperatif harus dijawab dengan preferensi nilai-nilai subyektif. Dalam kasus Gaza, misalnya, bisa dirumuskan sebuah pertanyaan normatif: ”Haruskah para mahasiswa di AS memihak Palestina?”. Dalam kaitan ini, konsistensi, baik dalam ontologi maupun epistemologi, merupakan tuntutan hakiki.
Namun, penelitian empiris bisa membantu memperluas investigasi aspek-aspek penting lainya dari pertanyaan normatif. Barrington Moore, Jr. menguak persoalan ini. “Anda dapat membahas isu moral tanpa harus mengambil sikap terhadap moralitas tersebut”, tegasnya. Dalam kaitan ini, salah satu kemungkinan rumusan pertanyaan empiris menyangkut masalah Gaza adalah: “Bagaimana gerakan Gaza solidarity bisa meluas ke seluruh dunia?”. Dengan argumen ini, peneliti tidak perlu alergi terhadap pertanyaan-pertanyaan normatif. Seperti penegasan Robert Dahl di atas, research question yang menarik justru sering lahir dari pertanyaan normatif. Selain itu, sekali lagi, tak jarang juga pertanyaan normatif telah menjadikan riset secara sosial relevan dan penting untuk dilakukan, karena mengkaji problem kemanusiaan dan berkontribusi untuk pemecahannya.
Secara akademis, elaborasi research question penelitian kualitatif dengan ilustrasi tragedi Gaza membuahkan hikmah. Sependek pengalaman pribadi dalam membimbing dan menguji disertasi; mahasiswa doktoral umumnya cenderung tergesa-gesa untuk segera memikirkan teori guna membangun kerangka analisa. Padahal, secara sequential, merumuskan research question adalah langkah awal yang krusial. Pasalnya, kejelian dalam identifikasi research question akan mengawal mereka untuk selalu teliti dan konsisten dalam proses penelitiannya. Wallahu’alam …
Advertisement