Memanusiakan Riset Sosial (7)
Oleh Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dalam suatu sidang ujian tertutup disertasi, seorang profesor tampil kritis. Sebagai penguji luar, ia mengapresiasi mahasiswa doktoral. Pasalnya, sang mahasiswa yang diuji menyajikan referensi terkini (up-to-date). Setidaknya, sebagian sumber yang disitir merupakan terbitan sepuluh tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, sang profesor juga bertanya, sekaligus memberi saran: “Tapi, beberapa literatur masih terbitan di bawah tahun dua ribu, bahkan ada juga yang terbitan tahun 1980-an. Jika memang itu diperlukan, sebaiknya anda memberi alasan mengapa itu masih dirujuk”. Dalam kritisismenya ini, sang Profesor cukup bijak. Ia bukan hanya menuntut, tapi juga memberikan pemahaman pada promovendus untuk melengkapi argumennya.
Namun, permintaan kadang datang tanpa penjelasan. Tuntutan akan kekinian literatur muncul sekedar keharusan. Akibatnya, mahasiswa rajin merevisi, tapi tak ada ruang untuk belajar berargumentasi. Padahal, selain proporsional, meletakkan sesuatu perlu rasional. Syahdan, seorang mahasiswa doktoral sempat tanya: “Seberapa tinggi tingkat kekinian referensi?”. Saya jawab: “Itu relatif, tergantung perkembangan teori dan kajian dari isu yang anda bahas?”.
Secara akademik, referensi yang up-to-date memang bisa membantu mahasiswa menentukan posisikan akademiknya. Pasalnya, literatur semacam itu akan memudahkannya mengindentifikasi perkembangan terkini (the state of the arts), baik aspek teoritis maupun empiris, yang berkaitan dengan fokus bahasan disertasi. Tapi, jika tuntutannya tak proporsional, apalagi tidak kontekstual; justru bisa mengurangi nilai substantial-nya. Alasannya, ada literatur yang susah ditemukan dalam terbitan aktual, tapi punya nilai substansial. Referensi klasik, misalnya, biasanya jarang tersedia dalam terbitan mutakhir. Buku klasik karya Adam Smith, The Wealth of Nations (1776) merupakan salah satu contohnya. Begitupun juga karya Karl Marx, Capital: A Critique of Political Economy (1906), salah satu referensi utama kajian ekonomi-politik, edisi terbarunya muncul sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Referensi klasik, yang mana saya menjulukinya sebagai buku babon (induk atau sumber utama), punya fungsi akademik yang substantif. Tapi, secara pribadi, awalnya saya tidak langsung mengerti. Alkisah, kala menjadi asisten dosen di paruh akhir kuliah tingkat sarjana (S1) di FISIPOL, Universitas Gadjah Mada; saya sempat nyantrik membantu Profesor Jahja A. Muhaimin, PhD. (almarhum) dalam mengajar Teori Politik Luar Negeri. Suatu saat, dalam mempersiapkan kuliah; beliau menyarankan saya membaca salah satu buku babon dengan meminjamkan buku karya Richard Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin bertajuk Foreign Policy Decision Making: An Approach to the Study of International Politics. Namun, anjuran disertai dengan alasan. “Belajar dari sumber asli merupakan modal bagus dalam memahami teori”, ungkapnya.
Yang menarik, penekanan Pak Jahja tak cukup sampai di situ. Guna menggarisbawahi anjurannya di atas, beliau sempat sharing pengalamannya kala menempuh studi doktoral di Massachusetts Institute of Technology (MIT), USA. Ketika menggarap disertasinya, bertajuk Indonesian Economic Policy 1950–1980: The Politics of Client Businessmen, Profesor Lucian W. Pye sebagai supervisor-nya mewajibkan untuk membaca karya Max Weber. “Analisa saya memang berangkat dari perspektif Weberian, antara lain dengan memakai konsepnya tentang patrimonialisme. Oleh karena itu, saya harus khatam buku-buku Weber”, kenangnya. Tak pelak, sekian buku babon karya Weber, seperti Theory of Social and Exonomic Organization (1947), dilahapnya. Tapi, konyolnya, saat itu saya menduga bahwa langkah Pak Jahja ini lebih dikarenakan himbauan dari supervisor-nya.
Namun, lambat laun saya mafhum. Apalagi, setelah secara pribadi saya menjelajahi sendiri. Intinya, memahami buku babon bukanlah sekedar himbauan; melainkan, secara imperatif, justru merupakan keharusan. Memahami referensi utama, sekaligus menjadikannya sebagai sumber pertama, adalah penting dalam membuat disertasi. Terdapat beberapa argumen yang melandasi. Pertama, dengan membaca buku aslinya secara jeli, kita bisa terhindar dari pemahaman akademik yang distortif. Guillermo O’Donnell, political comparatist dari University of Notre Dame, memberikan ilustrasi: “Weber sering salah dimengerti. Misalnya, dalam bukunya 'The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism' ia telah menghabiskan banyak halaman untuk menegaskan bahwa ia tidak mengajukan penjelasan tunggal (a monocausal explanation) mengenai kapitalisme. Dalam hal ini, etika Protestan hanyalah salah satu faktor penyebab tumbuhnya kapitalisme. Tapi, beberapa orang masih saja memahaminya sebagai penjelasan tunggal, misalnya pada saat mereka menggunakannya untuk mengkritisi konsep materialisme Karl Marx. Orang yang tidak serius dan malas untuk membacanya secara teliti akan berulang kali mengulangi kebodohan ini”.
Kedua, mengenal substansi buku babon akan memperkaya pemahaman konseptual, yang akhirnya bisa berdampak positif pada riset. Sekian testimoni akademisi memperkuat argumen ini. Misal, Barrington Moore, Jr., political sociologist dari Harvard University, menegaskan pengakuannya tentang pengaruh literatur klasik pada karyanya yang fenomenal: “Jika digunakan dengan benar, teori sosial membantu kita menunjukkan bagaimana mencari hubungan antar fakta. Karya klasik [tentang teori Elit] Vilfredo Pareto (1963) dan, khususnya, Gaetano Mosca (1939) sangat mempengaruhi saya... Ada banyak inspirasi dari Mosca di dalam buku saya, Social Origin of Democracy and Dictatorship [1966]”.
Signifikasi referensi klasik dijelaskan secara lebih detail oleh Juan J. Linz. Political scientist dari Yale University ini bahkan sejak muda telah akrab dengan berbagai literatur klasik. “Sejak awal saya telah mengeksplorasi teori sosial klasik. Saya membaca semua karya klasik dari Auguste Comte, Vilfredo Pareto, Weber, dan Georg Simmel. Kebetulan, pada saat itu, buku Simmel, ‘Soziologie’ (1908), juga sudah tersedia dalam bahasa Spanyol”. Lebih lanjut, Linz juga menegaskan bagaimana teori klasik sangat mempengaruhi karya akademiknya. “Penelaahan saya terhadap teori sosial secara mendasar berdampak pada penelitian saya. Misal, referensi utama saya tentang negara (state) mencerminkan penjelajahan awal saya terhadap Weber. Saya tidak pernah harus 'bring the state back in', atau menemukan kembali konsep negara; karena sejak awal konsep itu sudah tersedia [untuk saya] berkat keakraban saya dengan karya Weber … Anda [juga] tidak akan dapat mengkaji agama dan politik tanpa merujuk konsep Weberian seperti gereja versus sekte, prognosis etis, dan prognosis yang patut dicontoh”.
Selain itu, literatur klasik juga bisa membantu proses konseptualisasi, khususnya pasca data collection dari hasil fieldwork. Dalam konteks ini, sekali lagi, Juan J. Linz berbagi pengalaman. Pada saat harus membangun konsep yang bisa menjelaskan rezim otoriter di Eropa Selatan, ia mencermati konsep-konsep yang telah terpendam dalam literatur klasik. Dalam konseptualisasi ini, Linz bercerita tentang pergulatan akademiknya: “Saya meminjam konsep rezim sultanistik dari sosiologi kekuasaan dan tipologi dominasi Max Weber. Ia membedakan bentuk patrimonialisme tradisional yang sah dari patrimonialisme yang korup dan bermutasi menjadi sultanisme. Ketika saya membaca kembali konsep Weber tentang patrimonialisme, saya berpikir, ‘konsep inilah yang persis dari apa yang saya cari!'. Kemudian, saya merumuskan kembali konsep Weber dalam cara modern dengan menentukan indikator sultanisme; seperti nepotisme, kronisme, dan perampasan kekuasaan dan kekayaan oleh swasta. Keberhasilan mengidentifikasi indikator yang spesifik akan membantu anda dalam mengidentifikasi dimensi sebuah fenomena”.
Yang tak kalah penting, referensi klasik juga bisa menghidupkan dialog akademik. Secara fungsional, dialog semacam ini sangat mungkin inspiratif bagi penemuan kebaruan (novelty) sebuah riset. Modalnya memang penguasaan dan pemahaman. Tapi, kedua aspek ini tak mustahil untuk digapai. Syaratnya, minat baca mahasiswa harus diimbangi dengan kuatnya daya baca mereka. Mau contoh? Robert A. Dahl adalah salah satu sosoknya. Syahdan, political scientist dari Yale University ini mendapatkan apresiasi dari seorang akademisi atas penguasaannya yang mumpuni terhadap berbagai referensi klasik: “Sungguh luar biasa, sebagai seorang mahasiswa pascasarjana muda, berusia dua puluhan, telah menganggap ilmuwan raksasa seperti Plato, Rousseau, dan Marx, sebagai lawan dan penentang intelektualnya”, ungkap sang akademisi. Dahl memang layak mendapatkannya, berkat ketekunan akademiknya sejak menjadi mahasiswa.
Tanggapan Robert Dahl atas apresiasi di atas sangat menarik. Ia menempatkan teori klasik bukan sekedar sebagai rujukan, tapi juga sebagai sparring partner pemikiran. Ia menegaskan: “Saya memandang membaca [literatur klasik] lebih sebagai dialog imajiner. Dialog yang paling produktif bukanlah dialog yang bersifat permusuhan dalam arti berusaha meraih poin, seperti dalam pertandingan tenis. Saya menganggapnya sebagai proses dialektis, laiknya dialog antara pengertian Platonis dan Hegelian. Saya mulai dari sini, lawan saya ada di sana. Saya pindah sedikit, lalu mereka pindah ke posisi baru, dan sebagainya. Percakapan akademik seperti itu jarang terjadi. Ketika anda memilikinya, anda akan keluar dari situ dengan perasaan luar biasa. Tentu saja, karya-karya klasik itu bersifat statis—tidak akan berubah—tetapi saya beranggapan bahwa penggunaannya bisa sebagai sesuatu yang bergerak secara dialektis”. Meski sudah membaca berbagai bukunya, saya semula tak faham bagaimana Robert Dahl mengelola kerja akademiknya. Tapi, dengan tanggapannya ini, saya akhirnya faham mengapa ia bisa begitu produktif dalam mengasilkan karya teoritik.
Apa yang dilakukan oleh para teoritisi sosial ‘raksasa’ di atas memang ideal. Tapi, bagi mahasiswa doktoral, laku akademik semacam itu bukanlah sesuatu yang utopis. Apalagi, kini, akses terhadap berbagai literatur di dunia semakin mudah. Jika, fasiltas akses ini dilengkapi dengan passion dan kultur akademik yang ‘wah’, maka ungkapan Issac Newton, bahwa pembelajaran kolektif kita seyogyanya ”by standing on the shoulders of giants”, bukan lagi sebuah impian. Wallahu’alam
*) Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Advertisement