Memanusiakan Riset Sosial (6)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Baru-baru ini, saya mendapat amanah menjadi salah satu penguji proposal disertasi Administrasi Publik. Fokus risetnya, implementasi kebijakan di level bawah yang distortif. Dari tema, proposal ini tampak biasa. Pasalnya, sudah banyak karya yang membahasnya. Bahkan, promotor-nya sendiri berkata bahwa tema tersebut sudah sangat banyak yang meneliti.
Tapi, ada yang tak lazim di dalamnya. Di awal sub-bab kerangka teori, sang mahasiswa mengeksplorasi implementasi kebijakan menggunakan konsep teoritis dalam paradigma Modernisme. Namun, guna menjelaskan distorsi kebijakan ia menggunakan konsep teoritis dalam paradigma Postmodernisme dengan dilengkapi pendekatan fenomenogis.
Kontradiksi paradigmatik di atas, membuat saya tertarik untuk mengulik. Jelas, posisi saya sebatas an outsider dalam bidang Administrasi Publik. Sekian argumentasi melandasi ketertarikan ini. Pertama, menyangkut kelaziman. Jika Postmodernisme digunakan dalam penelitian Sosiologi, mungkin ketertarikan saya agak lain. Pasalnya, dalam Sosiologi analisa yang bertumpu pada Postmodernisme sudah lazim. Tapi, ini kajian terjadi pada Administrasi Publik.
Sependek pengatahuan saya, kajian Postmodernisme dalam Adminstrasi Publik relatif jarang. Bahkan, kesan Peter Bogason, Administrasi Publik enggan menerima (less receptive) berbagai kritik Postmodernisme. Padahal, Rod Rhodes menekankan bahwa kritik Postmodernisme justru tak bisa diabaikan.
Kedua, dari segi riset Administrasi Publik; penggunaan Postmodernisme juga menantang. Alasannya, paradigma riset ini menegasikan, setidaknya mempertanyakan, konsep teoritis di bawah paradigma Modernisme yang telah mapan. Salah satunya, adalah konsep pengorganisasian berbagai agensi publik, termasuk konsep Max Weber tentang birokrasi dan birokratisasi.
Secara historis, Modernisme lahir sebagai anak kandung Revolusi Industri. Sejak itu, postulatnya menjadi hegemonik. Secara sosiologis, revolusi ini telah memantik mobilisasi sosial yang memperlemah ikatan-ikatan sosial yang bersifat lokal, mandiri, dan tak terdiferensiasi. Perubahan sosial yang mengiringinya telah menaklukkan masyarakat melalui pengorganisasian kekuasaan pusat (power centre).
Kulminasinya, adalah terbentuknya negara-bangsa (nation-state). Tak pelak, konsep teoritis Modernisme mengedepankan sentralisasi, diwarnai dengan rasionalisasi, diferensiasi, dan birokratisasi. Pendekatannya teknokratis, yakni memanfaatkan pengetahuan ilmiah; sedangkan proses tahapannya dikendalikan oleh pusat-pusat pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power).
Sebaliknya, Postmodernisme lahir berkat munculnya kesadaran alternatif menentang sentralisasi. Pemicunya, penalaran kritis yang mendorong desentralisasi dan individualisasi. Kontradiksi-pun muncul. Modernisme terobsesi integrasi, sedangkan Postmodernisme justru memfasilitasi fragmentasi.
Konsep governance dan governmentability bisa menjadi ilustrasi. Governance (the act of governing) adalah konsep paradigma Modernisme. Meski mengakomodir proses bottom-up, asumsi dasarnya tetap: “power is in the centre”. Dengan birokrasi sebagai sarana, tak pelak birokratisasi-pun menjerat dunia. Akibatnya, kata Max Weber, “masyarakat terjebak dalam ‘sangkar besi’ (iron cage) birokrasi, yang lebih mengutamakan rasionalisme dan efisiensi daripada mengejar makna kehidupan tertinggi”.
Sebaliknya, governmentality (the art of government), kata Michel Foucault, asumsi dasarnya: “power is everywhere”. Asumsi ini mendekonstruksi konsep power ala Modernisme, sekaligus menggambarkan powershift dari wewenang pusat (centre) ke otoritas individu. Implikasinya, individu dianggap mampu mengatur dirinya sendiri.
Ketiga, menyangkut pendekatan fenomenologis yang digunakan. Sebagai sebuah paradigma riset, fenomenologi masuk dalam philosophical school non-Positivisme. Berbeda dengan Positivisme yang bertumpu pada objektivitas (pendekatan etic), non-Positivisme justru menekankan subjektivitas (pendekatan emic). Dalam Positivisme, realitas sosial adalah apa yang bisa dicandra oleh pancaindra (perceptible). Prinsip empiris ini bertujuan menjelaskan (explaining) “who does what to whom, and how”, sehingga posisi peneliti is outside the subject. Implikasinya, motif subyek diabaikan.
Sebaliknya, bagi aliran non-Positivisme, yang mana fenomenologi termasuk di dalamnya, inner mental processes yang dialami subjek justru bagian dari realitas sosial yang perlu diungkap. Metodenya, interpretive atau hermeneutic; sehingga mengharuskan peneliti berposisi inside the subject. Tujuannya, sekali lagi, lebih untuk memahami (understanding) daripada menjelaskan (explaining). Sequence ini logis, karena tugas fenomenologi, kata Merlau Ponty, mengungkap “the mystery of the world and mystery of the reason”. Dengan tugas mengungkap aspek terakhir ini, pantas bila pendekatan subjektif jadi prioritas.
Keberanian paradigmatik akhirnya mengundang isu yang problematik. Problem pertama: "Secara metodologis, apakah mungkin menggunakan dua aliran atau paradigma riset yang kontradiktif?". Pada hemat saya: “Ini mungkin!”. Argumennya, secara empiris, sekian penelitian semacam ini sudah pernah dilakukan. Penelitian Allen S. Lee (1991) tentang organisasi, misalnya, menggabungkan pendekatan studi empirist dan interpretive.
Selain itu, Ziqian Song (2017) juga mengidentifikasi trend kombinasi pendekatan positivistik dan fenomenologis dalam tourism studies. Yang penting untuk diingat, tegas Nicos Mouzelis, misinya adalah: “bridging rather than transcending the divide”, guna beranjak dari “theoretical compartmentalization”. Adabnya, sekedar menunjukkan hubungan logis antar keduanya, tanpa memperlemah logika otonom masing-masing paradigma.
Tapi, masih ada masalah yang mengikuti. Bagaimana cara merangkai dua paradigma riset yang kontradiktif dalam disertasi? Prinsipnya, setiap langkah akademik harus punya justifikasi. Begitu-pun dengan pemakaian paradigma ganda, penggunaannya tidak bisa didasarkan pada selera, apalagi “suka-suka saya”.
Jika konsep teoritis Modernisme memerlukan justifikasi relevansi, maka keputusan mengadopsi konsep teoritis Postmodernisme juga menuntut argumentasi. Cara elegan untuk mendamaikan, adalah dengan menunjukkan “kejenuhan teoritis” paradigma Modernisme dalam menjelaskan “the mystery of the reason”; sehingga terdapat alasan sekaligus urgensi akademik untuk mengadopsi Postmodernisme.
Kedua, berkaitan dengan pendekatan fenomenologis. Setidaknya ada dua isu yang mengemuka. Isu pertama, pendekatan fenomenologis apa yang digunakan? Secara substantif, fenomenologi memang mengeksplorasi bagaimana perwujudan pengalaman sehari-hari dalam dunia kehidupan individu. Namun, asumsi variannya berbeda.
Fenomenologi Transendental ala Edmund Husserl memandang individu “as a knower of the phenomenon” dan pengalaman hidup seseorang sebagai realitas “is internal to the knower”. Guna mendeskripsikan, peneliti perlu mencegah keterlibatan (bracketing) subyektifitasnya. Sementara itu, Fenomenologi Hermeneutik ala Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer berasumsi bahwa individu “as an actor of the phenomenon”, sedangkan pengalaman hidup sebagai realitas merupakan hasil “an interpretive process situated in an individual’s lifeworld”. Guna mengungkapnya, subyekfitas peneliti terlibat dalam interpretasinya. Tak pelak, dalam varian terakhir ini peneliti tidak bebas dari bias.
Problem ketiga, dalam studi fenomenologi bolehkah mengembangkan sebuah model? Saya berpendapat tergantung pada jenis modelnya. Jika yang dimaksud adalah model representasi skematik dari temuan penelitian tampaknya masih bisa diterima. Tapi, jika membuat theoretical model tampaknya tidak mungkin. Alkisah, seorang PhD candidate di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia; mengalami kegundahan akademik. Ia bertanya-tanya: “Apakah mungkin mengembangkan sebuah model berdasarkan data yang berasal dari fenomenologi hermeneutic?”.
Ia kemudian disarankan untuk tidak melakukannya. Argumennya, berbeda dengan Positivisme yang berupaya menjelaskan “sebab-akibat” (causal explanation); tujuan fenomenologi, sebagai interpretive research, adalah “memahami” (understanding) fenomena. Brian C. Fay, dari Wasleyan University, berpostulat: “The role of interpretive research is to understand the beliefs and actions of actors rather than to direct them”.Jay D. White, pakar Administrasi Publik dari University of Nebraska, justru punya pendapat lebih tegas: “Instead of seeking causal explanations of behaviour, interpretive research enhances our understanding of, among other things, the beliefs, meanings, feelings and attitudes of actors in social situation”.
Problema keempat, lebih menyangkut kontrol diri daripada substansi. Isunya, menyangkut potensi bias sang peneliti. Pasalnya, terkadang, penelitian adalah proyek yang slippery. Penelitian yang berangkat dari perspektif non-mainstream cenderung lebih berpotensi bias dibandingkan yang memakai teori mainstream. Misal, penelitiannya memakai perspektif Postmodernisme, tapi secara tak sadar data collection dan analisis-nya menggunakan Modernisme.
Secara imperatif research design-nya menuntut laku subyektif, tapi peneliti terjerembap pada langkah objektif. Maklum, hampir dua abad pikiran kita telah terhegemoni berat oleh Positivisme, termasuk Modernisme. Tak ayal, asumsinya secara tak sadar kadang masih tetap bercokol dalam pikiran kita, meski kita punya niat akademik yang berbeda.
Terakhir, ada dua catatan yang dipikirkan. Perbincangan teori dan metodologi, hampir selalu rumit dan merepotkan. Tapi, semua ini merupakan harga yang harus dibayar demi konsisten pada prinsip ilmu pengetahuan yang esensinya, meminjam istilah Juan J. Linz, merupakan “penolakan untuk sekedar percaya pada harapan”.
Selain itu, perbincangan ini menunjukkan bagaimana Administrasi Publik tidak bisa dipisahkan dari teori-teori sosial yang melingkupinya. Pasalnya, semua teori sosial tersebut, langsung maupun tidak langsung, justru memperkaya perspektifnya. Kata-kata Jay D. White cukup bermakna: “[Kita] perlu menjaga dialog tetap berjalan [baik] di dalam dan di seluruh narasi [teoritis] yang selama ini telah ada dan yang baru saja muncul, kita [perlu] menjalinnya guna memahami Administrasi Publik … Ini adalah satu-satunya cara agar penelitian dalam bidang Administrasi Publik dapat tetap relevan, baik bagi para sarjana, administrator profesional, dan masyarakat yang kita layani”. Wallahu’alam …
*Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Advertisement