Memanusiakan Riset Sosial (5)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Siang itu, seorang mahasiswa doktoral berkonsultasi. Sebelumnya, ia telah menyerahkan draf disertasi. Bersama co-promotor lain, hari itu saya janjian membimbingnya. Baru masuk ruangan, tatkala mau duduk, sang mahasiswa sudah menyergap dengan tanya: ”Bagaimana Pak disertasi saya? Hancur, ya?”. Meskipun tanya sambil tertawa, gesture kegamangan jelas kentara. Padahal, draf disertasinya tidaklah mengecewakan. Setidaknya, dalam theoretical review, ia relatif lebih baik dari sesamea mahasiswa doktoral seangkatannya. Memang untuk critical review masih perlu penajaman. Namun, keberhasilannya dalam mengklasifikasikan sekian teori yang relevan dengan topik disertasinya merupakan satu langkah kemajuan.
Dari kesan pribadi selama membimbing dan menguji disertasi, kegamangan hampir selalu membelit mahasiswa. Gesture ini mencerminkan rasa kurang percaya diri, khususnya pemahaman terhadap teori. Bab teori, umumnya, lebih sebagai “parade teori” dari pada sebuah “review teori”. Biasanya, uraian bab ini cukup panjang. Tapi, substansinya lebih merupakan kompilasi teori, karena minim ulasan kritis. Bahkan, penegasan relevansi teori terhadap topik bahasan disertasi-pun seringkali juga tak disajikan.
Tak jarang, kesan gamang mahasiswa juga nampak dalam tulisan. Isinya biasanya penuh dengan kutipan. Tapi, sayangnya, “menurut si fulan” (according to) menjadi diksi yang dominan. Dengan nada canda, saya sering menggoda: “Anda sering menulis ‘menurut siapa”, lantas menurut anda apa?”. Tujuannya, mengelitik mahasiswa untuk punya their own voices! Alasannya, tanpa memuat pendapat sendiri, secara akademis disertasi menjadi kurang berarti. Bahkan, untuk meyakinkan mereka, sebuah ilustrasi juga sering saya layangkan: ”Jika kalimat pertama anda dalam setiap paragrap adalah kutipan, maka sulit untuk meyakinkan publik bahwa anda punya gagasan. Sebaliknya, jika kalimat pertama memuat gagasan anda sendiri, dan sekian kutipan mengikuti sebagai pendukung argumentasi; maka sekian teori seakan takluk dalam genggaman anda”. Intinya, orisinalitas gagasan akan menjadikan seseorang eksis secara akademis.
Tapi, permasalahan yang dihadapi mahasiswa di atas bisa dimaklumi. Teori memang tak jarang membuat mereka rendah diri. Syahdan, saya pernah mendapati mahasiswa bimbingan yang enggan mengkritisi pendapat gurunya sendiri. “Pendapat beliau terlalu tinggi untuk saya kritisi”, kilahnya. Saya bilang: “Jika begitu anda akan sulit meraih doktor, sebab tanpa berani mengkritisi teori, anda akan susah untuk menemukan kebaruan (novelty). Pasalnya, novelty umumnya berbentuk theoretical findings, sesuatu yang tak dapat diraih tanpa kekritisan terhadap teori”. Dalam kaitan ini, guna mengasah critical thinking mahasiswa, perlu upaya desakralisasi teori. Maklum, salah satu hambatan utama bagi mahasiswa untuk berpikir kritis adalah belenggu budaya kita yang cenderung konformistis. Untuk membongkarnya, saya terpaksa sering melontarkan penegasan yang sugestif: “Teoritisi itu bukan ‘nabi’, teorinya juga bukan ‘ayat suci’. Jadi, anda tak perlu takut untuk mengkritisinya!”. Harapannya, penegasan ini bisa mendorong mereka berani mengkritik teori.
Namun, masih ada permasalahan yang tersisa. Kadang, pemahaman mahasiswa bahwa dalam disertasi teori punya multi-fungsi juga masih kurang. Padahal, setidaknya terdapat tiga peran teori dalam penelitian kualitatif. Pertama, perannya sebagai salah satu sumber research question. Perbedaan (gap) teori dalam eksplanasi suatu fenomena bisa menghantar mereka menemukan research question. Jika permasalahan disertasi berangkat gap teori, maka tujuan disertasi adalah testing theories. Memang, gap teori bukan satu-satunya sumber research question. Sebuah research question juga bisa dibangun dari gap empiris.
Jika harus memilih antara kedua sumber research question di atas, saya pribadi cenderung memilih sumber yang kedua. Argumennya, dengan berangkat dari gap empiris akan lebih berpeluang menangkap perkembangan mutakhir dari fenomena yang akan diinvestigasi. Dalam kaitan ini, Theda Skocpol, political sociologist dari Harvard University, pernah mengelaborasi: “Research question punya sisi akademis dan sisi empiris. Ada yang berpendapat bahwa puzzles muncul dari perdebatan teoritis. Saya melihat pendapat tersebut sangat bermasalah, karena jika anda terfokus pada teka-teki yang dihasilkan oleh perdebatan teoritis, anda mungkin melewatkan hal-hal paling menarik yang tengah terjadi. Pertanyaan baru [justru] sering muncul dari perkembangan di tataran empiris”. Skocpol ternyata tidak sendiri. Guillermo O’Donnell, political comparatist dari University of Notre Dame, juga punya pendapat senada. Saat ditanya, apakah research question dalam penelitiannya bersumber pada gap teori, ia menjawab: “Saya belum pernah melakukannya. Saya tidak pernah duduk dan berkata ‘hari ini saya ingin menulis teori tentang sesuatu’. Sebaliknya, yang sudah lakukan adalah merumuskan research question berangkat dari [gap] di tataran empiris (real-world problems) yang menggelisahkan saya”.
Kedua, teori berfungsi sebagai alat analisa (tool of analysis). Intinya, teori berguna untuk menjelaskan fenomena. Barrington Moore, Jr., political sociologist dari Harvard University, mengatakan: “Jika digunakan dengan benar, teori sosial membantu menunjukkan bagaimana menjelaskan hubungan antar fakta-fakta”. Isunya kemudian, bagaimana memilih teori yang relevan? Idealnya, teori harus bisa menjelaskan fenomena yang dikaji. Tuntutannya, peneliti perlu jeli dalam memilih teori. Guna menjelaskan pada mahasiswa, saya sering memakai metafora: “Memilih teori itu bak memilih kacamata. Yang perlu disadari dahulu adalah fenomena apa yang mau dilihat: Apakah itu ‘rabun dekat’ ataukah ‘rabun jauh’? Setelah pasti, barulah kita memilih jenis kacamatanya, apakah kacamata ‘plus’ ataukah ‘minus’”. Ketepatan memilih jenis kacamata, akan menentukan kejelasan penglihatan kita”. Begitupun juga dengan memilih teori. Keberhasilan mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti akan memudahkan memilih teori yang tepat, yakni yang punya explanatory power kuat.
Ketiga, fungsi teori dalam rangka menemukan novelty disertasi. Isu dasarnya, teori apa yang menjadi departing point untuk dikritisi berdasarkan hasil observasi dan analisis data awal. Saat saya mengambil program Master of Arts (MA) by research di Flinders University, Adelaide; Pak Pratikno (Profesor), yang kala itu sedang menempuh program PhD di Universitas yang sama, pernah berbagi pengalaman. Ketika menyelesaikan disertasi ia menggarisbawahi: “Akan lebih mudah menemukan novelty jika sejak awal kita sudah berhasil menetapkan teori apa yang akan di-challenge”. Ungkapannya ini sempat mendorong saya merenungkan argumen akademiknya.
Setelah sekian waktu, saya memandang pengalaman teman di atas masuk akal. Alasannya, dalam epistemologi Imre Lakatos; teori-teori yang relevan yang dikutip dalam disertasi, sejatinya, adalah sekumpulan “pengetahuan yang telah kita diketahui” (knowledge that what we have known) tentang fenomena tertentu. Esensinya, serangkian teori tersebut adalah academic archives hasil penelitian terdahulu. Jika mahasiswa berhasil menetapkan salah satu, atau beberapa teori, sebagai departing points sekaligus sasaran kritisisme; maka langkah itu membantunya bisa fokus sejak awal dalam upaya menemukan novelty. Metaforanya, teori yang menjadi departing points tersebut bak ‘sansak tinju’ bagi mahasiswa dalam mempercepat dan mempertajaman temuan disertasinya. Apalagi, novelty esensinya adalah theoretical findings.
Sependek pengamatan saya, dari ketiga fungsi teori di atas, mahasiswa umumnya mengenal fungsi yang kedua, yaitu sebagai tool of analysis. Tapi, mereka tidak selalu akrab dengan fungsi yang pertama, apalagi fungsi yang ketiga. Mungkin, yang terakhir inilah salah satu penyebab mengapa novelty sering mandeg pada temuan empiris, dan susah beranjak ke temuan teoritis. Memang, keakraban dengan multi-fungsi teori bukanlah kewajiban. Tapi, memahaminya akan memudahkan penelitian. Setidaknya, pemahaman ini bisa membantu menentukan arah disertasi sejak awal, khususnya dalam meniti jalan menuju novelty. Elaborasi ini, mengingatkan pada metafora Benyamin Franklin: “Investasi dalam ilmu pengetahuan selalu menghasilkan bunga terbaik!”. Wallahu’alam …