Memanusiakan Riset Sosial (4)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
=========
Pengalaman pertama, seringkali, membawa beban tak terduga. Itulah yang saya rasakan kala menempuh program Master of Arts (MA) by research di Flinders University, Adelaide, Australia. Lazim dalam British system, program semacam ini harus ditempuh fully research. Tanpa perkuliahan, pembelajaran sekaligus bimbingan dilaksanakan face-to-face dengan supervisor dan co-supervisor, bak model Sorogan di pesantren.
Awalnya, saya mengalami academic shock. Pasalnya, masuk tradisi akademik Barat yang berbeda dengan Indonesia, saya sempat merasa teralinasi. Belum lagi, bahasa Inggris yang, kadang, masih menghantui. Tak jarang, ekspresi lisan maupun tulisan yang saya anggap sudah “clear”, supervisors masih menganggapnya masih “unclear”. Adaptasi, dimanapun, selalu menuntut pengasahan diri.
Kala proposal thesis jadi, persiapan fieldwork menanti. Syahdan, supervisors masih mengarahkan saya untuk pergi ke Australian National University (ANU), Canberra. Sebulan di Canberra, tujuan utamanya ganda. Selain melakukan library research, saya juga diharuskan mendiskusikan proposal thesis dengan ahli Thailand. Salah satunya, Profesor Craig J. Reynolds dari College of Asia and the Pacific, ANU. Harapannya, sebelum fieldwork di Thailand, proposal saya bisa mendapatkan penajaman sekaligus pengkayaan.
Namun, beban mudah menyulut keluhan, meskipun sebenarnya ringan. Kala hadir dalam The Indonesia Update Annual Conference di ANU, saya jumpa kawan yang sedang menempuh program doktoral di University of New England, Armidale. Tahu bahwa saya tengah menjalani agenda pasca proposal, ia bertanya: “berapa lama kamu merumuskan research question?”.
Jawaban saya spontan: “satu bulan!”. Tapi, responnya justru di luar dugaan: “Kamu beruntung! Di tempat saya, research question ada yang baru tuntas setelah lebih dari dua bulan”. Tak pelak, informasi ini merevisi persepsi dalam benak. Pandangan saya bahwa beban akademik yang saya pikul terasa berat ternyata sesat. Proporsionalitas penilaian seringkali muncul justru setelah ada perbandingan.
Mengapa perumusan sebuah research question disertasi di atas begitu lama? Sayangnya, kawan itu enggan bercerita. Yang bisa saya lakukan hanyalah menduga. Berdasarkan pengalaman mengerjakan thesis dan disertasi, kecil kemungkinan hambatan terletak pada aspek ontologis (the nature of social reality). Pasalnya, fokus bahasan riset bisa apa saja, termasuk masalah yang akrab dengan kehidupan kita. Isu utamanya: Permasalahan apa yang bisa diteliti? Kala ditanya tentang isu mendasar ini, Profesor Juan J. Linz dari Yale University, pernah menjawab: “Problem selection dalam (penelitian) ilmu-ilmu sosial, sebagaimana kata (Max) Weber, sering didorong oleh motivasi ekstra-ilmiah. Anda tertarik terhadap pertanyaan tertentu mungkin karena anda hidup di dunia ini, atau sebagai warga negara suatu negara yang mempunyai masalah tertentu, atau mungkin juga karena tinggal di suatu negara dalam periode sejarah tertentu. Jadi, motivasi bisa bersifat personal, eksperiensial, generasional, dan konteks historis yang mempengaruhi apa yang akan dipelajari”. Walhasil, dari aspek ontologis ini, penentuan research question tidaklah berat, mengingat pilihannya sangat terbuka. Selain jelas dan spesifik, persyaratannya perlu juga logis; sebagai konsekuensi research gap yang telah diidentifikasi.
Lamanya penuntasan research question sangat mungkin justru terletak pada aspek aksiologisnya. Aspek ini, seringkali menuntut perenungan dan diskusi yang mendalam. Aksiologi mengacu pada pemahaman terhadap nilai-nilai serta perannya dalam penelitian. Fungsinya, menakar kelayakan research question, menyangkut isu-isu tentang pertanyaan benar dan salah, termasuk indentifikasi kemungkinan bias persepsi dari sang peneliti. Terbayang sebulan dengan supervisors intensif berdiskusi. Kadang, seminggu dua kali. Targetnya, terumuskannya sepotong explanatory research question. Kriteria idealnya: spesifik, jelas, logis, menarik, dan bermakna. Semula, saya hanya terkonsentrasi untuk menjawab pertanyaan ontologis dan metodologis, yaitu “what?” dan “how?”. Namun, perjalanan diskusi akhirnya menghantar saya pada kontemplasi tentang pertanyaan aksiologis, seperti: “Why is that question? Is it really worth to ask?”. Baru paham kemudian, research question sarat muatan. Selain aspek ontologis yang berkisar pada substansi pertanyaan, melekat pula aspek aksiologis yang menyinggung dimensi nilai dari penelitian.
Kisah dialogis antara Barrington Moore, Jr. dengan Richard Snyder adalah salah satu contoh percakapan tentang dimensi aksiologis dari sebuah pertanyaan. Tahun 1978, terbit buku Moore, Jr. bertajuk Injustice. Buku ini menarik perhatian luas dari komunitas akademis. “Injustice did get quite a lot of favourable reviews, but then it was dropped,” ujarnya. Richard Snyder bertanya balik: “Why was Injustice dropped?”. Barrington Moore Jr., menjawab: “Itu pertanyaan yang keliru. Coba lihat nasib buku yang terkenal lainnya, mengapa buku-buku tersebut tidak dilupakan? (Seharusnya pertanyannya) why is it NOT dropped? Padahal, buku Injustice itu seharusnya sudah dilupakan orang, dan keniscayaan ini tidak memerlukan penjelasan khusus”. Pertanyaan alternatif dari Moore, Jr. ini nampak lebih bernilai dibandingkan pertanyaan Snyder sebelumnya. Kemudian, Barrington Moore, Jr. mengelaborasi mengapa atensi terhadap Injustice tetap bertahan: “(Kemungkinan penyebabnya), ketidakadilan merupakan sumber penderitaan yang besar. Banyak orang sangat menderita karenanya. Ketidakadilan, seperti kini banyak kita saksikan, benar-benar telah menyakiti banyak orang”. Dengan telaah aksiologis, pertanyaan bukan sekedar logis, tetapi juga seakan juga punya daya ‘magis’.
Perdebatan klasik antara Herbert Feith dengan Harry J. Benda, tentang demokrasi di Indonesia, juga ilustrasi dialog aksiologis yang impresif. Tahun 1962, terbit The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Buku ini diangkat dari disertasi Feith di Cornell University, USA. Fokusnya membahas dinamika politik di Indonesia sejak penyerahan kedaulatan pada Desember 1949 sampai meredupnya sistem Demokrasi Parlementer pada Maret 1957. Research question-nya: “Mengapa demokrasi di Indonesia yang berumur pendek (akhirnya) mati?”. Pertanyaan ini menghantar investigasi ke arah pengungkapan: “What’s wrong with Indonesia?”. Asumsinya yang tersembunyi, terdapat kelainan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.
Tanggapan kritis-pun muncul. Dari Yale University, Harry J. Benda melontarkan kritik tajam. Menurutnya, Herbert Feith mengajukan research question yang secara intrinsik “salah atau (setidaknya) tidak relevan”. Kesalahan yang mendasar, research question-nya berangkat dari frame of reference Barat. Ungkapan “what wrong with Indonesia?” mencerminkan perspektif yang pejoratif. Pasalnya, ungkapan ini mengasumsikan tak ada kehidupan normal di luar peradaban Barat. Jadi, matinya demokrasi di Indonesia tahun 1950-an dianggap sebuah anomali.
Sulit dipungkiri, research question Herbert Feith di atas merupakan derivasi Western developmental model. Dalam konteks ini, Harry J. Benda menegaskan: “Research question Feith diilhami oleh paralelisme kronologis atau metodologis Europosentrisme”. Akibatnya, bias persepsi peneliti menjadi tak terhindarkan. Tak pelak, sekali lagi, Benda menilai research question Feith, “mengapa demokrasi (di Indonesia) mati?”, adalah keliru. Seharusnya, pertanyaannya adalah: “Mengapa demokrasi di Indonesia harus bertahan?”. Argumennya, pada awal 1950-an, di Indonesia banyak aspek demokrasi yang belum terpenuhi. Misal, hanya segelintir segmen sosial saja yang comply with demokrasi; sedangkan mayoritas massa belum memenuhi syarat demokrasi. Salah satu indikatornya, “there no indigenous middle class in Indonesia”, ujarnya. Harry J. Benda tidak sendiri. Argumentasi Atul Kohli juga menggarisbawahi: “Di negara-negara berkembang, demokrasi esensinya adalah ‘an imported thing!’”.
Elaborasi di atas, menunjukkan bagaimana aspek aksiologis menguak dimensi research question yang lebih luas. Selain bias, karena menggunakan frame of reference Barat; analisa Herbert Feith juga dianggap Harry J. Benda sebagai a-historis. Sebaliknya ia menawarkan analisa yang yang historis. Matinya demokrasi di Indonesia tahun 1950-an dipandangnya sebagai a revival of the past. Argumennya, kematian demokrasi di Indonesia waktu itu merupakan titik sejarah di mana Indonesia, khususnya etnis Jawa, “found a way back to its own moorings!” (menemukan jalan kembali ke tambatan kulturalnya semula). Ujungnya, Harry J. Benda secara lugas menilai pertanyaan Feith, “mengapa demokrasi gagal di Indonesia?", kurang bermakna jika dibandingkan pertanyaan sebaliknya, "mengapa demokrasi di Indonesia harus bertahan?". Apakah argumen Harry J. Benda masih relevan untuk menjelaskan fenomena masa kini? Jawabnya, perlu investigasi lanjutan. Yang jelas, diskusi tentang aspek aksiologis dari research question, kadang, menyita waktu. Alasannya, aspek ini biasanya menghantar kita pada perenungan yang lebih mendalam tentang asumsi, arah dan makna penelitian, serta implikasi investigasi yang harus dilakukan.
Wallahu’alam…