Memanusiakan Riset Sosial (3)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
---------
Peraihan prestasi, kadang, di luar ekspektasi. Inilah yang dirasakan James C. Scott kala bukunya, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, meledak di pasaran. Diterbitkan oleh Yale University Press tahun 1976. Buku ini telah sekian cetak ulang sampai 25 tahun berikutnya. Bahkan, LP3ES sempat juga menterjemahkan terbitan ini ke dalam bahasa Indonesia. Tak aneh, karena besarnya apresiasi yang diterimanya. Clifford Geertz, misalnya, mengulas: “Buku ini luar biasa orisinil dan berharga, serta akan memiliki daya tarik yang sangat luas”. Penilaian ini merupakan jaminan kualitas penelitian yang telah dilaksanakan.
Ketika kuliah S1 di FISIPOL, UGM; saya sempat ikut dalam diskusi mahasiswa sosiologi membahas buku Scott yang populer tersebut. Namun, pengetahuan terhadap konteks penelitiannya, khususnya pergumulan gagasan dan perasaan pribadinya, baru saya ketahui belakangan. Bagi saya, aspek terakhir ini menarik. Argumennya, peneliti bukanlah “instrumen” mati sebuah riset, melainkan subyek yang mengalami mental processes dalam liku penelitiannya. Kisah pergumulan diri sang peneliti bisa jadi memberi inspirasi bagi peneliti muda, khususnya mahasiswa pascasarjana.
Semula, besarnya atensi terhadap karyanya di atas adalah di luar angannya. Scott sempat gundah seiring jalan penelitiannya yang berkelok. Awalnya, berkaitan dengan pilihan keahlian atau spesialisasi. Disertasinya, Political Ideology in Malaysia (1968), sebenarnya telah membuat Promotor dan Co-promotornya di Yale University terkesan. Pasalnya, selain tehnik dan metode penelitiannya yang tepat, mereka menilai Scott juga berhasil merumuskan novelty tentang “synthetic idea of ideology”. Tak ayal, disertasinya terbit menjadi buku pertamanya.
Namun, keberhasilan disertasinya justru membuatnya masygul. “I (only) have a cheap success, keluhnya. Alasannya, “buku pertama saya hanyalah menyenangkan sekelompok ilmuwan politik, namun tidak berhasil meyakinkan orang-orang yang tahu banyak tentang Malaysia”. Bahkan, kelompok yang terakhir ini menilai analisanya “pretty shallow”. Akhirnya, Scott bertekad memperdalam penelitiannya di Asia Tenggara. Tapi, tantangan menghantui. Syahdan, salah satu kolega dekat mengoloknya: ''You’re a knucklehead, Scott! Menjadi a Southeast Asianist hanya akan membuang-buang waktu saja. Pilihanmu itu bukanlah arah perkembangan ilmu politik di masa depan. Keputusanmu akan menjadi akhir dari kariermu (sebagai ilmuwan politik).
Tapi, Scott bergeming. Upayanya untuk menjadi specialist Asia Tenggara justru berjaya. Keseriusannya meneliti The Moral Economy of the Peasant membuahkan rekognisi dunia. Padahal, awalnya ia tak menduga. “Buku saya itu sebenarnya hanyalah bersifat lokal, lingkup isunya terbatas, dan tidak ditujukan untuk audience yang luas,” ungkapnya. Namun, yang tak dinyana, “buku itu telah menarik atensi yang stabil dalam kurun waktu yang lama,” lanjutnya.
Sekian faktor berada di balik rekognisi tersebut. Yang utama menyangkut substansi, khususnya kualitas isi. Penelitiannya kali ini, sekali lagi, berangkat dari ketidakpuasan Scott terhadap disertasinya, yang sempat dinilai “dangkal”.
“Saya pikir banyak orang yang memang ingin analisa yang lebih mendalam tentang bagaimana petani melakukan revolusi," akunya lugas.
Penegasannya ini menggarisbawahi realitas, bahwa kualitas menentukan publisitas.
Tapi, konteks penelitian tak bisa diabaikan. Salah satunya, zeitgeist (semangat jaman) masa itu yang gandrung akan revolusi. Scott jujur mengakui bahwa “kala itu perang Vietnam tengah berlangsung. Setiap orang berpikir tentang pembebasan nasional dan Mao (Zedong). Petani selalu ada dalam benak setiap orang”. Selain itu, kontestasi akademik juga berkontribusi memperbesar atensi. Syahdan, Samuel L. Popkin menerbitkan bukunya, “The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam” (1979). Dengan obyek studi yang sama, tak pelak, perdebatan antara keduanya menggema. Scott berkata: “Seluruh perdebatan dengan Popkin menjadi serangkaian pertukaran yang saling defensif”. Maklum, keduanya yakin akan argumennya masing-masing.
Lesson learned dari kisah Scott ini penuh inspirasi. Motif penelitian bisa muncul dari mana saja, baik bersifat akademik maupun alasan pribadi. Konteks penelitian, kadang, juga membantu memperluas atensi publik sekaligus popularitas sang peneliti.
Sebagai peneliti, Scott pantang berhenti. Ia memperdalam “resistensi sosial”, aspek yang masih terkait dengan moral ekonomi petani. Yang menarik, ia mempersempit lokasi penelitiannya. Fieldwork selama dua tahun dilakukannya di Sedaka, sebuah desa di Kedah, Malaysia. Tantangan kembali ada di hadapan. “People told me that I was wasting of time," ungkapnya. Namun, ia tak mau tersamun. Lakunya, bak sengsara membawa nikmat. Ia cerita: “Yang hebat dari fieldwork ini adalah laiknya wawancara bergulir …. (sesuatu yang) bagus untuk mendapatkan ide-ide”. Walhasil, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (1985) terbit sebagai magnum opus-nya. Pasalnya, buku ini menyodorkan analisa yang dalam dan kaya. Dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Lucian W. Pye memuji: “Berkat studi empirisnya yang detail dan solid, buku Scott ini adalah studi terbaik yang pernah dilakukan tentang kehidupan petani di Asia Tenggara!”.
Mengapa sebuah studi lokal semacam itu mampu menjelaskan fenomena regional, bahkan berhasil menggapai rekognisi global? Seyogyanya, tak perlu heran! Pasalnya, pendekatan antropologis yang digunakan punya pijakan metodologis. Clifford Geertz’s menggarisbawahi: ‘It captures the great world in the little!”. Elaborasinya, “the locus of study is not the object of study. Anthropologists don't study villages … they study in villages. …. You can best study in confined localities. But that doesn't make the place what it is you are studying”. Sebuah penegasan yang menjelaskan. Intinya, studi lokal bukanlah ‘a study *of* a village’, melainkan ‘a study *in* a village!”.
Yang perlu dicatat, studi lokal semacam itu tidak bertujuan membuat generalisasi. Tetapi, upaya menemukan pola di tingkat lokal yang mungkin ‘relevan’ dalam eksplanasi pola di tataran yang lebih luas. Metaforanya, studi lokal bak mengidentifikasi motif batik dari ‘sobekan kecil kain’, yang bisa jadi relevan untuk menjelaskan pola batik di ‘selembar kain yang lebih lebar’. Metodenya, dengan mengkaitkan temuan lokal dengan konteks yang lebih besar. Scott memberikan testimoni: “Yang saya lakukan adalah penelitian guna memperoleh temuan dalam studi di desa, kemudian menghubungkannya dengan tema besar, seperti ideologi dan hegemoni yang dipikirkan orang”.
Masalahnya, tidak sedikit studi lokal, khususnya dilakukan oleh mahasiswa doktoral; yang temuannya tetap lokal tanpa mampu mengkaitkannya dengan tema yang lebih global. Memang, laku semacam ini tidak salah. Tapi, sang peneliti telah menyia-nyiakan potensi temuan akademik yang ia hasilkan. Pasalnya, novelty yang ia rumuskan tidak tampil dalam kontestasi konsep keilmuan di ranah global. Akibatnya, penelitiannya tak mampu menyedot atensi, apalagi meraih rekognisi. Akar permasalahannya, mungkin, terletak pada terbatasnya pengetahuan metodologis, kurang terasahnya imaginative thinking, serta belum terlatih dalam mendialogkan temuan penelitian dengan konsep-konsep yang telah mapan.
Wallahu’alam....