Memanusiakan Riset Sosial (17)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dosen Hubungan Internasional,
Universitas Jember.
Syahdan, dalam WhatsApp Group (WAG) dosen Program Studi Doktor Ilmu Administrasi (PSDIA), FISIP, Universitas Jember; muncul postingan dari seorang kolega pengajar program Doktoral. Isinya, mengungkapkan permasalahan, sekaligus melontarkan pertanyaan akademik.
Kala memberi matrikulasi Metodologi Penelitian Lanjutan bagi mahasiswa baru program Doktoral, sang kolega membahas dua isu penting yaitu ‘the state of the art’ ilmu Administrasi dan ‘novelty’ dalam disertasi seorang Doktor.
Dalam ungkapan di WAG tersebut, ia menandaskan bahwa: ‘Ternyata, [kedua isu tersebut] menjadi momok para mahasiswa S3’. Selain itu, yang menarik, ia juga mendapati permasalahan yang serius. Ia mengungkap keluhan mahasiswa, bahwa “betapa luas dan [begitu] dalam perbedaan pemahaman mengenai dua isu itu. Tanpa menyebut nama, para mahasiswa juga menceritakan bahwa perbedaan [pemahaman terhadap kedua isu juga] terdeteksi di antara para dosen”.
Tapi, suasana kelas matrikulasi tersebut nampaknya tak selalu terkungkung oleh keseriusan, dan tidak pula diselimuti ketegangan. Pasalnya, mahasiswa masih sempat berkelakar; dengan mengungkapkan pemahamannya sebelum mengikuti matrikulasi, bahwa the state of the art diartikan sebagai “negara seni”. Keawaman tentang suatu substansi adalah manusiawi. Apalagi, itu adalah istilah dalam bahasa asing. Variasi pemahaman terhadap suatu definisi-pun juga bisa dimaklumi. Pasalnya, terdapat kecenderungan masyarakat kita untuk taken for granted.
Di tengah cairnya suasana, sang kolega melontarkan pertanyaan yang menggoda: “Apa yang dimaksud dengan the state of the art?”. Bahkan, pertanyaan tajam juga disodorkannya: “[Apa itu] novelty? Apa batas teritorialnya? Jangan-jangan [yang] termasuk [dalam] kategori baru di sini hanya karena kita belum membaca artikel tentang isu yang sama di, katakanlah, Afrika. Jangan-jangan yang kita klaim [temuan] baru di sini sebenarnya sudah dibahas orang dengan kosakata berbeda berpuluh tahun sebelumnya”. Sekian pertanyaan ini menarik untuk ditelisik.
Pandangan pribadi
Melalui esai ini saya mencoba meresponnya, dengan memuat pandangan pribadi saya tentang kedua isu krusial tersebut. Sependek pengetahuan saya, the state of the art dalam konteks di atas adalah sebuah frase kata benda (noun phrase). Makna kata ‘state’ dalam frase ini bukanlah ‘negara’, melainkan lebih merujuk kepada ‘keadaan’, ‘kondisi’, ataupun ‘versi’. Menurut definisi dalam kamus Merriam-Webster, the state of the art adalah ‘the level of development reached at any particular time usually as a result of modern methods (tingkat perkembangan sesuatu yang telah dicapai pada kurun waktu tertentu [dan] biasanya merupakan hasil dari penggunaan cara atau metode-metode baru). Berangkat dari definisi ini, secara sederhana saya sering menginterpretasikan the state of the art sebagai ‘versi mutakhir dari suatu obyek’ (the updated or latest version of something).
Yang perlu dicatat, frase the state of the art bisa digunakan untuk menjelaskan obyek apapun, baik non-keilmuan maupun keilmuan. Contoh untuk obyek non-keilmuan, the state of the art dari jam tangan, misalnya, adalah bukan lagi sekedar sebagai penanda waktu, tetapi juga berfungsi ganda, yakni juga bisa sekaligus berfungsi sebagai ponsel. Sementara itu, jika menyangkut suatu bidang ilmu, frase itu akan mengacu pada perkembangan mutakhirnya, mencakup substansi, fokus kajian, paradigma, teori, dan pendekatan terbaru. Mengingat bahwa frase the state of the art bisa dipakai untuk obyek apapun, maka ketika menjelaskannya dalam suatu disiplin ilmu, saya lebih suka menggunakan frase the state of discipline dari pada the state of the art. Alasannya, frase the state of discipline memang lebih khusus digunakan untuk menjelaskan perkembangan keilmuan.
Dengan pengertian tersebut di atas, the state of the art suatu disiplin ilmu dalam dekade pasca 2000-an bisa jadi berbeda dengan the state of the art-nya pada dekade 1990-an. Isinya memuat kemajuan teoritis mutakhir (the latest theoretical advancement) dan pengetahuan kekinian (current knowledge) dalam disiplin ilmu tersebut. The state of the art juga menjadi tuntutan dalam pembuatan disertasi. The latest theoretical advancement biasanya tercermin dalam literature review, yang mengulas kajian atau temuan teoritis; sedangkan current knowledge lazimnya termaktub dalam kajian penelitian terdahulu, dengan menempatkan disertasi di antara berbagai penelitian terdahulu tersebut (the position of the dissertation among the available research).
Dalam riset sosial, termasuk bagi disertasi, the state of the art setidaknya punya dua fungsi utama. Pertama, the state of the art membantu mengidentifikasi konteks dari permasalahan yang diteliti, sekaligus menggarisbawahi area riset yang memerlukan penelitian lanjutan (further research) menyangkut fenomena sosial tertentu. Kedua, membantu peneliti menemukan research gap, baik theoretical maupun empirical gaps sebagai titik tolak penelitiannya. Singkatnya, the state of the art menuntun peneliti untuk memperkokoh fondasi risetnya, dengan justifikasi bahwa penelitiannya memang merupakan riset yang layak untuk dilakukan, karena meretas area penelitian baru.
Beralih ke topik novelty (kebaruan temuan dari hasil penelitian), kita dihadapkan pada tuntutan yang harus dipenuhi oleh sebuah disertasi. Terdapat kesepakatan akademik bahwa novelty merupakan standar tuntutan baku bagi sebuah disertasi Doktor. Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan fundamental mengapa disertasi harus menghasilkan novelty. Pertama, sebagai satu penelitian ilmiah di level pendidikan tertinggi, disertasi haruslah mencerminkan sebuah penelitian yang baik. Menurut filsuf Imre Lakatos, penelitian yang baik adalah penelitian yang bersifat “progresif”, dalam arti menghasilkan suatu temuan akademik. Kedua, terdapat kesepakatan global bahwa program Doktoral, sebagai level pendidikan tertinggi, merupakan institusi dan sarana untuk pengembangan ilmu. Dalam konteks ini, kebaruan dari hasil penelitian (disertasi) diharapkan bisa memberikan kontribusi pada perkembangan dan kemajuan pengetahuan ilmiah. Ketiga, program Doktoral pada dasarnya ditujukan untuk mencetak seorang ahli (expert) di bidang ilmunya. Dalam kaitan ini, novelty dari sebuah disertasi merupakan salah satu ukuran untuk membuktikan bahwa sang Doktor memang benar-benar seorang ahli di bidang ilmu yang ditekuninya.
Pertanyaan berikutnya, apa ‘batasan territorial’ dan ‘ukuran’ sebuah novelty? Agak sulit untuk menentukan secara pasti dimensi yang pertama, yakni menyangkut isu batas territorial. Salah satu alasannya, karena akses terhadap karya-karya akademik belum merata di antara negara-negara di dunia. Padahal, tuntutan normatif dan imperatif bagi novelty adalah eksplorasi dan membaca seluas mungkin (thorough exploration and reading), khususnya referensi yang berkaitan dengan fokus penelitian sebuah disertasi. Namun, perkembangan mutakhir cukup mengembirakan, bahkan menjanjikan. Pasalnya, akses online terhadap publikasi di seantero dunia semakin mudah, karena tersedianya ragam laman seperti _Sci-hub,_ J-Stor, dan berbagai akses terhadap libraries lainnya.
Dimensi kedua, yaitu tentang ukuran sebuah novelty, relatif lebih mudah mengidentifikasinya. Secara garis besar, komunitas akademik global menetapkan tiga ukuran novelty. Pertama, berupa ‘temuan konfirmatif’ terhadap teori (testing theory), dengan dilandasi argumen empiriknya tentang kevalidan teori. Kedua, ‘temuan teoritis’ (theoretical finding). Ketiga, ‘temuan sebuah teori baru’ (making a new theory). Dari jenis temuan yang kedua dan ketiga, saya membedakannya dengan melihat esensinya. Theoretical finding pada dasarnya adalah ‘pembaharuan’ (innovation) sebuah teori. Asumsinya, telah terdapat sebuah teori tentang satu tema kajian, tapi dianggap tidak memadai atau tengah mengalami anomali pada saat dipakai untuk menjelaskan fenomena dalam konteks tertentu. Akibatnya, teori tersebut perlu untuk dikritik, diperbaharui, atau disempurnakan sebagai hasil temuan penelitian. Sedangkan making a new theory pada dasarnya adalah 'temuan’ (invention) teori baru. Asumsinya, sebelumnya memang tidak ada teori semacam itu, sampai ada hasil temuan dari penelitian dari sebuah disertasi.
Dengan ukuran novelty di atas, bagaimana dengan implementasinya? Dari pengamatan dan pengalaman pribadi, baik di dalam dan luar negeri; novelty disertasi banyak yang mengarah pada hasil temuan dari testing theory dan theoretical findings. Dalam membimbing mahasiswa Doktoral, untuk novelty disertasinya saya biasanya cenderung mengarahkan pada tuntutan imperatif ‘minimal’, yaitu temuan dari testing theory atau theoretical finding. Bukan berarti saya menutup kesempatan bagi mahasiswa untuk making a new theory. Kecenderungan untuk memilih theoretical findings sebagai novelty lebih didorong alasan praktis, yaitu realistis terhadap durasi masa studi program Doktoral yang relatif terbatas. Pertanyaanya: “Apakah ada disertasi yang novelty-nya making a new theory?”. Jawabannya: “jelas ada!” Bahkan, jumlahnya mungkin banyak juga. Sebagai contoh disertasi yang bisa masuk kategorisasi ini, bahkan kemudian menjadi seminal book; adalah disertasi karya Daniel Bell, The End of Ideology: On the Exhaustion of Ideas in the Fifties (PhD in Sociology, Columbia University, 1961) dan Andrew Linklater, Obligations beyond the State: the Individual, the State and Humanity in International Theory, (PhD in International Relations, London School of Economics, 1978).
Isu terakhir, yang tak kalah penting, adalah menyangkut format novelty. Pertanyaannya, apakah kebaruan ilmiah ini berwujud empirical findings ataukah dalam bentuk conceptual findings? Saya pribadi berpandangan bahwa bentuk novelty yang baik adalah dalam format conceptual findings. Setidaknya ada dua argumen yang melandasinya. Pertama, mengingat bahwa anatomi sebuah teori adalah hubungan antar konsep, maka idealnya, novelty perlu dirumuskan dalam format conceptual findings. Kedua, berkaitan dengan esensi dan fungsi konsep. Sebuah konsep esensinya adalah hasil ‘pengangkatan’ atau abstraksi pengalaman pribadi atau fenomena empirik yang ‘unik’ ke tingkat makna yang disepakati bersama. Selain itu, salah satu fungsi konsep adalah sarana komunikasi dalam dunia ilmiah.
Dengan mempertimbangkan esensi dan fungsi konsep di atas, maka dengan format conceptual findings akan memungkinkan seorang peneliti, atau kandidat Doktor, untuk mengkomunikasikan noverty-nya kepada komunitas ilmiah global. Ilustrasinya, sebuah penelitian kasus di tingkat lokal, dengan temuannya yang bersifat ‘unik’; hampir dapat dipastikan bahwa hasil disertasi itu akan sulit dikomunikasikan dan dipahami oleh komunitas ilmiah global. Namun, temuan yang bersifat ‘lokal’ dan ‘unik’ tersebut akan bisa dikomunikasikan dengan baik, sekaligus mudah dipahami komunitas ilmiah global, jika dikemas dalam bentuk proposisi konseptual (conceptual findings). Sayangnya, tidak sedikit novelty disertasi mahasiswa Doktoral berhenti di tingkat empirical findings. Salah satu penyebabnya, mungkin, karena kurang terasahnya kemampuan mahasiswa untuk berabstraksi guna mengangkat empirical findings-nya ke tingkat _conceptual findings._ Wallahua’lam ...
Advertisement