Memanusiakan Riset Sosial (13)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Pertanyaan konfirmatif saya kepada kolega: ‘Apakah yang dimaksudkan Grand theory dalam disertasi mahasiswa sama dengan paradigma’, yang kemudian sempat memicu diskusi teoritis, seperti tertuang dalam artikel berseri saya “Memanusiakan Riset Sosial (12)”, (Ngopibareng, 19 Januari 2025); sebenarnya masih ada lanjutannya. Jika memang yang dimaksudkan Grand theory oleh sang mahasiswa adalah paradigma, maka akan berimplikasi serius pada pada disertasinya.
Penilaian ‘berimplikasi serius’ di atas bukan tanpa alasan. Pasalnya, paradigma sebuah riset akan menentukan perjalanan riset itu sendiri. Tuntutannya, adalah konsistensi, baik dalam penetapan langkah riset maupun penentuan jenis data yang diperlukan. Menyangkut isu paradigmatis ini saya punya dua ilustrasi. Alkisah, dalam majelis ujian skripsi di jurusan Hubungan Internasional, FISIP – Universitas Jember, seorang mahasiswa menegaskan bahwa skripsinya memakai paradigma Constructivism. Salah satu penguji mengonfirmasi: “Jika memakai Constructivism, data seharusnya hasil konstruksi, benar?” Mahasiswa menjawab: “benar!” Sang penguji bertanya lagi: “Lha, mana data yang mencerminkan konstruksi subyektif, seperti ide atau wacana (discourse)? Kok, semua data yang Anda sajikan bersifat obyektif?” Setelah terdiam sejenak, sang mahasiswa dengan tertatih meresponnya dengan jawaban yang tidak tepat.
Ilustrasi kedua, seorang mahasiswi menulis skripsi yang mengkaji opresi berbasis gender di salah satu negara Afrika. Teorinya memakai salah satu varian Feminism, dilengkapi dengan konsep utamanya, yakni patriarki. Tapi, ironisnya, proses risetnya lebih mereprentasikan paradigma Positivism, karena diwarnai ciri-ciri tertib keilmuan scientific. Misalnya, permasalahannya berfokus pada: “Mengapa lembaga internasional dengan programnya gagal mengatasi opresi perempuan?”. Tak pelak, salah satu penguji menyorotinya. Pasalnya, permasalahannya ini lebih mencerminkan pertanyaan paradigma Positivism, karena lebih bersifat menjelaskan (explanatory). Padahal, paradigma Critical, di mana Feminism bernaung, lazimnya berobsesi untuk memahami (understanding) fenomena guna mendapatkan makna (meaning) dari fenomena tersebut. Tak ayal, sang penguji mempertanyakan konsistensi sang mahasiswi dalam menerapkan teori. “Dalam peta asumsi [dasar] posisi kedua paradigma [sangat] berbeda dan tidak bisa dicampuradukkan”, tegas sang penguji.
Kisah pertama di atas menyangkut isu ontologi (the nature of reality) dalam penelitian. Ontologi berkaitan erat dengan realitas. Substansinya, berisi asumsi dasar dalam memandang realitas sosial. Fokusnya menjawab pertanyaan: “Realitas apa (what is reality) yang dikaji”. Kisah yang kedua, menyangkut masalah epistemologi penelitian. Epistemologi, kadang, ada yang menyebutnya sebagai theory of Knowledge. Substansinya, berupa asumsi dan parameter berkaitan dengan upaya terbaik untuk mengkaji realitas sosial. Intinya, menjawab pertanyaan: “Bagaimana peneliti menginvestigasi realitas yang menjadi fokus kajian”. Permasalahan yang mencuat dalam kedua ilustrasi ini menandakan bahwa konsistensi paradigmatis masih menjadi problem utama di kalangan mahasiswa. Pasalnya, adopsi suatu paradigma sering tak diikuti konsistensi dalam artikulasinya dalam proses penelitian. Bahkan, distorsi paradigmatis ini juga tak jarang luput dari perhatian para penguji. Dalam kaitan ini, seorang kolega sempat berseloroh: “Maksud hati mengadopsi, bahkan mengkritisi, paradigma non-Positivism; tapi, di kepala kita masih bercokol asumsi Positivism”.
Jika distorsi dalam ontologi dan epistemologi cermin dari inkonsistensi paradigmatis dalam penelitian, maka muncul pertanyaan: “Apa kaitannya antara ontologi, epistemologi dan paradigma?”. Terminologi ‘paradigma’ (paradigm) diracik oleh Thomas Kuhn (1962). Tapi, ada yang menggunakan istilah lain, seperti philosophical worldview, school of thought, atau meta-theory. Dari sisi definisi, juga bervariasi. John Creswell (2014), misalnya, mendefinisikan paradigma sebagai “a general philosophical orientation about the world, and the nature of research that a researcher brings to a study” (sebuah orientasi filosofis umum tentang dunia [sosial] dan [menegaskan] sifat riset yang diadopsi peneliti guna sebuah studi [tentang dunia sosial tersebut]). Meski substansinya jelas, secara praktis definisi ini nampaknya tak mudah dipahami, setidaknya oleh sebagian mahasiswa. Apalagi, jika mereka harus mengaktualisasikannya dalam proses penelitian.
Namun, ada jalan lain yang bisa mempermudah pemahaman terhadap paradigma. Pandangan Crotty (1998) dan Pretorius (2024) mungkin bisa membantu. Intisari elaborasi keduanya bisa disederhanakan dengan rumus: Paradigma= ontologi + epistemologi. Narasinya, peneliti dianggap telah menegaskan paradigma penelitiannya jika sudah menjelaskan asumsinya tentang realitas sosial yang akan diteliti, plus penggambaran bagaimana sang peneliti dapat mengerti pengetahuan (knowledge) tentang realitas tersebut (how can he/she know the reality), termasuk pemahamannya tentang alur pikir yang akan ditempuhnya, guna membedakan dengan apa yang dipahami orang lain. Walhasil, penegasan ontologis merupakan titik tolak penjelasan peneliti tentang paradigma risetnya.
Ungkapan metaforisnya, bila penelitian diumpamakan sebuah pelayaran, paradigma riset merupakan kompas perjalanannya. Egon Guba (1990), menegaskan bahwa paradigma merupakan “a basic set of beliefs that guide [research] action”. Substansinya, mencakup “asumsi dasar tentang suatu bidang studi, termasuk kesepakatan tentang kerangka konseptual, petunjuk metodologis, dan tehnik analisa” (Mohtar Mas’oed, 1990). Dalam laku akademis, termasuk riset, asumsi dilihat sebagai pernyataan awal dari sebuah penalaran (reasoning). Dengan catatan, seperti tersirat dalam definisi Creswell di atas, asumsi ini didasarkan pada pandangan filosofis keilmuan. Asumsi dasar inilah yang membedakan paradigma. Implikasinya, paradigma yang berbeda menuntut proses penelitian dan jenis data yang berbeda pula.
Merujuk pada rumus paradigma di atas, perbedaan antar paradigma bisa dilihat dari asumsi dasar yang melandasi ontologi dan epistemologinya. Secara garis besar, terdapat dua asumsi dasar dalam ontologi. Pertama, asumsi bahwa hanya ada realitas atau ‘kebenaran’ (truth) tunggal. Kedua, asumsi bahwa terdapat banyak realitas (multi-realities). Menyangkut epistemologi, terdapat pula dua asumsi dasar. Yang pertama, asumsi bahwa pengetahuan atas realitas sosial bersifat obyektif dan bisa diukur; sedangkan yang kedua, asumsi bahwa realitas bersifat subyektif dan hanya bisa diinterpretasikan.
Identifikasi asumsi ontologi dan epistemologi bisa menjadi landasan elaborasi klasifikasi paradigma. Di satu sisi, terdapat paradigma Positivism yang mengasumsikan realitas sosial adalah tunggal, riil, terpola (patterned), dan eksis di ‘luar sana’ (out there); menunggu untuk ditemukan (discovered). Dengan asumsi dasar ini, Positivism memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang obyektif, eksis di luar teoritisi (theorist outside the subject). Walhasil, Positivism sering disebut menganut realist ontology. Epistemologinya, pengetahuan atas realitas sosial hanya bisa diraih dengan menerapkan prinsip-prinsip science, yakni dengan menggunakan metodologi sistematis berdasarkan bukti-bukti empiris. Dalam konteks ini, bukti yang bagus dan kredibel harus bisa diamati (observable) dan diidentifikasi secara tepat (precise). Argumennya, Positivism memandang pengetahuan atas realitas sosial bisa diukur (measured).
Di sisi lain, ada paradigma non-Positivism yang punya pandangan yang berbeda, baik secara ontologis maupun epistemologis. Bahkan, ilmuwan dari kubu paradigma ini mengkritik asumsi Positivism. Donna Haraway (1988), misalnya, menegaskan bahwa klaim Positivism bahwa science merupakan ‘the real game in town’ hanyalah retorika. Pasalnya, dalam pandangan paradigma non-Positivism, realitas sosial esensinya merupakan hasil kreasi dalam benak manusia, baik melalui interpretasi ataupun konstruksi sosial. Walhasil, realitas sosial diasumsikan jamak dan bersifat subyektif. Tak ayal, paradigma non-Positivism disebut mengadopsi relativist ontology.
Varian non-Positivism beragam. Bahkan, klasifikasinya juga mengundang perbedaan pandangan di antara para ilmuwan. Paradigma Constructivism dan Critical, misalnya, secara ontologis sama-sama berpandangan bahwa realitas sosial pada dasarnya multi-realities. Namun, terdapat perbedaan menyangkut fitur realitas sosial yang diasumsikannya. Dalam pandangan Constructivism, multi-realities merupakan hasil dari konstruksi sosial (social construction); sedangkan paradigma Critical melihat multi-realities secara lebih spesifik, yakni sebagai hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi konfigurasi kekuatan (power). Mengingat postulat epistemologisnya, bahwa realitas sosial dibentuk dalam benak manusia, maka paradigma non-Positivism berpandangan bahwa untuk memperoleh pengetahuan atas realitas sosial perlu menelisik proses kreasi dalam benak manusia (theorist inside the subject). Tujuannya, seperti telah disinggung di muka, untuk memahami realitas sosial guna mendapatkan maknanya.
Paradigma memang aspek yang kompleks dalam penelitian. Pasalnya, aspek ini memuat dasar filosofis keilmuan dari sebuah penelitian. Tak pelak, sekali lagi, penegasannya menjadi krusial, karena menentukan arah dan langkah penelitian itu sendiri. Tuntutan akademis ini tak lepas dari konsekuensi dari status keilmuwan suatu bidang studi yang diteliti. Konon, kematangan suatu disiplin ilmu bukan hanya dilihat oleh luasnya cakupan dan dalamnya kajian; tapi juga ditentukan oleh terorganisirnya proses riset dalam bidang ilmu tersebut. Implikasinya, sebagai pertanggungjawaban akademis, peneliti secara imperatif perlu memahami tertib keilmuan, termasuk konsisten dalam mengartikulasikan asumsi paradigmatis, di sepanjang proses penelitiannya. Wallahua’alam …
*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Advertisement