Memanusiakan Riset Sosial (11)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember
Sebuah pesan WhatsApp (WA) menyapa pagi. Seorang kolega, pengajar program Doktoral Administrasi Publik, menanyakan perihal abstrak sebuah disertasi. Pertanyaannya bernada konfirmatif: “Sebuah model harusnya adalah abstraksi temuan penelitian yang telah didialogkan dengan kemajuan teori yang dicapai dunia akademik. Karena itu sebuah abstraksi mestinya ‘beyond the fact, beyond the research location’. Apakah tidak begitu Pak?”.
Meski bernada konfirmatif, pertanyaan ini sangat substantif. Pasalnya, isunya bukan sekedar menyangkut gaya penulisan, tapi justru menyentuh masalah proses keilmuan.
Dengan berasumsi bahwa kolega tersebut sedang mengoreksi disertasi, saya segera meresponnya: “Pemahaman saya seperti itu. (Temuan sebuah) model tanpa dilandasi temuan teoritik, (pada hemat saya) laiknya ‘kebijakan publik tanpa naskah akademik’. Dan, benar (bahwa abstraksi mestinya beyond the fact, beyond the research location)’, (sedangkan) rumusannya merupakan sebuah abstraksi, cerminan dari proposisi konseptual”.
Sang kolega, yang nampak masih penasaran, merespon balik: “Jadi tidak perlu menyebut lokasi penelitiannya, kan? Mestinya model itu kan berlaku umum ...”. Untuk meyakinkannya, saya menjawab singkat: “Benar!”.
Dialog kecil di atas sempat membuat saya masgul. Pasalnya, pengalaman membimbing dan menguji disertasi di beberapa perguruan tinggi menjadi terkonfirmasi. Abstraksi, setidaknya di kalangan mahasiswa, ternyata tidak mudah untuk dipahami. Tak mengherankan, jika kemudian proses abstraksi dalam disertasi cenderung terabaikan. Bahkan, ketika bertemu muka dengan sang kolega pengajar tersebut, ia memberi anjuran pada saya. “Sebaiknya anda hindari pemakaian istilah ‘abstraksi’, karena mahasiswa tidak mengerti!,” ujarnya. Bagi saya, anjurannya ini agak mengejutkan. Saya pun menjawab dengan pertanyaan retoris: “(Bagaimana saya menghindarinya), mengingat ‘abstraksi’ adalah nama dari salah satu konsep baku dalam proses keilmuan?!”.
Dialog lanjutan ini, sekali lagi, mengindikasikan bagaimana permasalahan ‘abstraksi’ menjadi tantangan serius; khususnya bagi mahasiswa doktoral. Apalagi, idealisasi dari program studi tingkat doktoral adalah bisa berfungsi sebagai ajang pengembangan ilmu.
Penggunaan baku istilah ‘abstraksi’ bisa ditemukan dalam proses keilmuan. Tradisi Positivisme, misalnya, menawarkan siklus keilmuan, lengkap dengan tahapan prosesnya. Landasannya, dua kriteria: validitas logis dan verifikasi empiris. Meski berproses seperti lingkaran yang tak berujung, siklus keilmuan ini bisa dipilah. Belahan setengah lingkaran yang pertama mencerminkan penalaran deduktif. Tahapannya bermula dari teori, yang esensinya merupakan suatu proposisi hubungan antar konsep.
Awalnya, konsep teoritis di-deduksi menjadi rumusan hipotesa, kemudian dilanjutkan dari hipotesa ke fakta. Proses dari teori ke hipotesa disebut deduksi. Kegiatannya, menurunkan derajat abstraksi suatu konsep menjadi variabel. Kemudian, tahapan dari hipotesa ke fakta empiris dinamakan verifikasi. Aktivitasnya, menurunkan derajat abstraksi variabel menjadi sejumlah indikator.
Dari elaborasi di atas dapat dicatat, bahwa esensi deduksi dari teori sampai indikator adalah penurunan tingkat abstraksi. Perlu dipahami, bahwa teori adalah bentuk abstraksi yang paling tinggi, sedangkan indikator merupakan tingkat abstraksi yang paling rendah. Tak pelak, konsep sebagai batu-bata bangunan teori observasinya terhadap fakta bersifat tidak langsung; sedangkan indikator observasinya bersifat langsung. Dalam prosesnya, deduksi teori ke hipotesa maujud dengan definisi konseptual, sedangkan verifikasi hipotesa ke fakta empiris tercermin pada definisi operasional.
Penurunan derajat abstraksi berjenjang dari teori sampai ke fakta empiris diperlukan agar verifikasi teori bisa dilakukan. Pasalnya, dengan derajat abstraksinya yang tinggi, konsep teoritis akan susah untuk menjangkau fakta empiris. Oleh karena itu, teori perlu ‘diturunkan’ derajat abstraksinya menjadi indikator, sebagai bentuk abstraksi paling rendah. Alasannya sederhana, dengan indikator sebuah konsep teoritis bisa menyentuh fakta empiris, karena observasinya bisa bersifat langsung. Sebagai contoh, good governance adalah sebuah konsep. Abstraksinya tinggi, sehingga sulit untuk melakukan pengukuran (measurement) di tingkat empiris. Untuk mengukurnya, maka konsep ini perlu diturunkan derajat abstraksi dengan men-deduksi-nya menjadi variabel. Salah satu variabelnya adalah ‘efektivitas organisasi pemerintahan’. Sampai pada tataran variabel inipun, masih susah untuk menyentuh fakta empiris. Tak pelak, variabel tersebut perlu diturunkan derajat abstraksinya menjadi indikator. Salah satu indikator yang bisa di-deduksi dari variabel ‘efektivitas organisasi pemerintahan’ adalah ‘prosentase penyerapan anggaran pembangunan’. Dengan indikator ini, verifikasi konsep good governance dapat dilakukan karena bisa menjangkau fakta empiris.
Belahan kedua dari siklus keilmuan ala Positivisme, mencerminkan cara berpikir induktif. Prosesnya berbeda dengan penalaran deduktif. Jika tahapan penalaran deduktif berjalan dari teori ke fakta, cara berpikir induktif berjalan sebaliknya; yakni bermula dari fakta ke perumusan generalisasi empiris, dilanjutkan dari generalisasi empiris ke teori. Dari fakta ke generalisasi empiris disebut proses induksi. Kegiatannya, melaksanakan penelitian empiris dengan menggunakan metode penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Sementara itu, dari generalisasi empiris ke teori disebut proses teorisasi. Kegiatannya, merumuskan atau merangkai proposisi berlandaskan metode logika.
Proses induksi bertujuan merumuskan generalisasi empiris. John Stuart Mills (1950), yang sering menjadi referensi filsafat ilmu, menggambarkan proses induksi sebagai _“kegiatan untuk menemukan dan membuktikan proposisi umum (empiris)” (the operation of discovering and proving general propositions). Muatan generalisasi hanyalah berupa kesimpulan dari hasil pengamatan peneliti terhadap fakta empiris. Dari titik inilah, sekali lagi, proses abstraksi dimulai, ditandai dengan merangkai proposisi teoritis. Wujudnya berupa rangkaian hubungan konseptual. Tapi, pada titik ini pulalah, proses keilmuan dari disertasi seringkali mengalami stagnasi. Pasalnya, tak jarang mahasiswa abai, atau mungkin tak siap, untuk menaikkan derajat abstraksi generalisasi empiris, hasil temuan penelitiannya menjadi proposisi teoritis. Padahal, ironisnya, di setiap proposal disertasinya selalu tersurat sub-judul “Manfaat Teoritis”. Tak mengherankan, jika muncul pertanyaan, bagaimana cerita ada deklarasi tujuan untuk menemukan kebaruan (novelty) teoritis sementara tak ada proposisi konseptual, atau temuan teoritis, yang dirumuskan?
Dalam bidang keilmuan, abstraksi sering dipandang sebagai sebuah cara berpikir (a mode of thought). Sebagai suatu proses kognitif, inti dari abstraksi adalah ‘menyederhanakan dan menggeneralisasi’ gagasan yang kompleks. Caranya, dengan minimalisir details dari obyek. Tujuannya, guna memfasilitasi konseptualisasi. Jadi, esensinya, konseptualisasi merupakan wujud langkah abstraksi. Atau, dengan kata lain, konsep merupakan hasil dari suatu abstraksi. Untuk lebih mudah dipahami, Bhavey Bhatia menyederhanakan pengertiannya: “Abstraksi adalah menemukan persamaan diantara [karakteristik] yang tidak umum” (Abstraction is finding common between uncommon). Senjata, misalnya, merupakan sebuah konsep, yang esensinya hasil dari sebuah abstraksi. Konsep adalah lambang atau simbol sebuah gagasan. Dalam konsep ‘senjata’, termuat gagasan yang telah ‘disederhanakan’ atau ‘digeneralisasi’, yang kemudian diterima sebagai kesepakatan akademis, yakni sebagai ‘alat untuk perang’. Konseptualisasi semacam ini bisa dicapai berkat ‘pengabaian’ details karakteristik empirisnya yang lain, seperti bentuk, jenis, bahan, ataupun daya musnah-nya.
Kembali pada tahapan penelitian disertasi mahasiswa doktoral, khususnya yang memakai pendekatan induktif seperti penelitian kualitatif, proses abstraksi merupakan isu krusial. Jika (novelty)-nya hanya berupa temuan empiris, dalam proses siklus keilmuan sejatinya baru mencapai tahapan generalisasi empiris. Guna meraih temuan teoritis (theoretical findings), peneliti perlu mengabstraksikan generalisasi empirisnya tersebut melalui konseptualisasi. Alasannya sederhana, untuk mengkritisi teori perlu memakai amunisi yang setara. Mengingat anatomi teori merupakan hubungan antar-konsep, maka amunisi untuk mengkritisinya menuntut perumusan proposisi konseptual.
Untuk menyederhanakannya, saya sering memakai sebuah metafora. Disertasi yang baik, khususnya yang mengadopsi pendekatan induktif-kualitatif, mengandung “3 (tiga) langkah bertingkat, 4 (empat) sempurna”. Level pertama, peneliti mengamati sekaligus meneliti fakta, sampai menemukan generalisasi empiris. Level kedua, peneliti meng-abstraksi-kan generalisasi empirisnya melalui konseptualisasi. Level ke tiga, peneliti mendialogkan rumusan proposisi konseptual, hasil dari abstraksi generalisasi empiris dengan teori yang ada, guna mendapatkan theoretical findings. Langkah menuju ‘sempurna’ akan tergapai, apabila disertasi dilengkapi argumentasi sumbangan theoretical findings-nya bagi perkembangan disiplin ilmu yang menaunginya. Jika semua tahapan ini dilalui, setiap disertasi insya Allah akan berkontribusi dalam mewujudkan program Doktoral sebagai ajang pengembangan ilmu.
Wallahu a’lam….
Advertisement