Memanusiakan Riset Sosial
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember
=======
Di sore itu, obrolan yang semula ringan berubah jadi berat. Di Yogya, saya dan adik semula berbincang tentang kompleksitas Jakarta. Kota besar yang padet, dan setiap hari macet. Syahdan, saya teringat pengalaman fieldwork, baik untuk penelitian thesis MA (by research) maupun disertasi PhD.
Saya nyeletuk: “sehari bisa menuntaskan wawancara dengan satu informan saja sudah bagus”. Belum lagi, betapa susahnya mendapatkan informan yang bersedia untuk diwawancarai. Apalagi, topiknya menyangkut hal yang dianggap sensitif, seperti politik.
Celetukan di atas membuat perbincangan meluas. Adik saya, Dodi Ambardi, menimpali: “sudah susah mencari datanya, belum tentu juga diterima”. Kemudian, ia cerita pengalaman pribadinya saat mempertahankan disertasi, di Ohio State University (OSU), Columbus, USA. Kebetulan, ia meneliti proses ‘A Cartelized Party System and Its Origin’ di Indonesia. Proyek akademik kualitatif ini juga telah mengharuskannya melakukan fieldwork di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Alkisah, dalam ujian disertasinya, dua penguji sempat mempertanyakan data yang tersaji. Mereka mempertanyakan argumen yang dibangun dari hasil wawancara di lapangan. Keduanya juga meminta penyajian data keras (hard evidence) untuk memperkokoh argumen. Isu ini menyangkut hirarki kualitas data. Asumsinya, semakin tinggi kualitas data yang tersaji, semakin kokoh rumusan proposisi.
Tersedianya hard evidences akan memfasilitasi terbangunnya ‘kausalitas naratif’ (narrative causation) yang kokoh, sekaligus menghindari ‘kausalitas probabilistik’ (probabilistic causation). Dalam kaitan dengan kebutuhan ini, semua transaksi politik perlu ditampilkan transkrip rekamannya. Setidaknya, archives-nya perlu dibuka. Menyangkut keuangan partai, misalnya, perlu ditampilkan laporan accounting-nya.
Intensi dua penguji di atas memang ideal, tapi secara empiris kadang terganjal. Pertanyaan dan tuntutan akademiknya tak salah, tapi berpotensi menimbulkan masalah. Untungnya, penguji ketiga, sekaligus pembimbing disertasi, Profesor R. William Liddle, memberikan alternatif wawasan.
Ia mengingatkan: “Jika tuntutan akan hard evidence merupakan keharusan, maka penelitian semacam disertasi ini tidak akan mungkin dilakukan!”. Pasalnya, ketersediaan hard evidences di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, tidaklah sebagus di Amerika. Akibatnya, data terpaksa harus banyak digali melalui wawancara.
Bagi saya pribadi, kisah perbincangan akademik semacam ini menarik. Pasalnya, sangat minim hasil penelitian yang menjelaskan dimensi manusia, khususnya pengalaman sang peneliti dalam seluk beluk proses penelitiannya. Publikasi hasil penelitian ilmu sosial sering terselubung oleh, istilah Bennett M. Berger (2023), “retorika impersonalitas'' (the rhetoric of impersonality).
Penyebabnya, meminjam kata-kata Richard Snyder (2007), perhatian penelitian banyak terfokus pada ‘schools and tools’ (perspektif teoritis dan perangkat penelitian). Tak pelak, teks yang dihasilkan sering kehilangan konteks. Walhasil, alur bahasan terkesan kering, sedangkan pembaca, khususnya mahasiswa, tergiring untuk textbook thinking.
Lalu, apa masalahnya dengan narasi impersonality di atas? Toh, terdapat asumsi kuat bahwa ilmu seharusnya impersonal. Memang, tak ada yang salah. Tapi, ada dimensi berharga yang terisolasi. Konteks penelitian cenderung menjadi terabaikan.
Perihal konteks penelitian ini, tuntutan kedua penguji disertasi bisa dijadikan ilustrasi. Keduanya nampaknya termanjakan melimpahnya data keras di Amerika. Transaksi politik, apalagi yang menyangkut publik, hampir selalu terekam dengan baik. Laporan transaksi politik yang berkaitan dengan uang, misalnya, lembaga yang menanganinya, ala PPATK di Indonesia, secara efektif jalan.
Dokumentasi tersimpan rapi, termasuk dalam koleksi Library of Congress, salah satu perpustakaan terbaik di dunia. Sementara itu, di Indonesia transaksi keuangan politik tak jarang dilakukan secara ‘tertutup’. Akibatnya, mau tak mau, penggalian data harus melalui wawancara. Tapi, di Amerika, hasilnya belum masuk dalam klasifikasi hard evidence. Tak heran, kadang, konstruksi kausalitasnya dipertanyakan.
Latar belakang pengalaman penelitian juga memperkuat permakluman. Ternyata, jejak penelitian kedua penguji pertama tak pernah menjamah negara berkembang. Konon, sebagian besar penelitiannya dilakukan di Amerika dan Eropa yang sistem dokumentasi dan kearsipannya telah mumpuni. Tak heran, jika keduanya hampir tak pernah bermasalah dengan data keras yang diperlukan.
Sebaliknya, Professor Bill Liddle berkutat dalam Area studies. Sebagai seorang Indonesianist penelitiannya berfokus pada kasus di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Di lapangan, ia maklum akan kondisi dan kualitas dokumentasi dan kearsipan yang terbatas. Kala ketersediaan data keras sering menjadi masalah dalam penelitian, maka wawancara menjadi sumber data utama yang tak terhindarkan.
Elaborasi di atas, sekali lagi, menunjukkan pentingnya menguak pengalaman penelitian seseorang. Saya memandang dimensi sang peneliti ini menjadi sangat berarti, khususnya bagi mahasiswa doktoral. Tapi, ironisnya, aspek-aspek ini sering luput dari perhatian. Padahal, Barrington Moore Jr. menggarisbawahi kriteria mahasiswa yang baik adalah “clarity and (academic) industry”.
Dalam kaitan ini, memahami konteks dan lahirnya gagasan penelitian, motif peneliti, langkah, dan tantangan yang dihadapinya di lapangan pada esensinya merupakan sekolah informal tentang penelitian, khususnya guna menghadapi realitasnya di lapangan. Lebih dari itu, yang tak kalah berharga, memahami semua aspek ini pada dasarnya juga merupakan bagian dari upaya untuk ‘memanusiakan penelitian’ (humanizing research). Wallahu’alam....
Advertisement