Memantaskan Diri Kala Berhaji
Oleh: Akh. Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
Mengapa ada baju kerja? Mengapa juga ada baju tidur? Mengapa pula ada baju olahraga? Bahkan, dalam perkembangan terkini, muncul pula baju kafan? Ya, baju Muslimah yang berdesain longgar. Dari sisi nama, mirip dengan baju jenazah: kain kafan. Bukankah semua baju itu untuk menutupi tubuh? Kalau memang iya, lalu mengapa ada macam-macam baju itu?
Lantas, bisakah macam-macam baju itu dipertukarkan dalam pemakaiannya? Umpama, baju kerja digunakan untuk tidur. Atau baju tidur dipakai untuk kerja. Atau baju tidur dipakai untuk olahraga. Atau pula baju olahraga dipakai untuk kerja.
Pertanyaan-pertanyaan di atas terasa sangat penting untuk direfleksikan dalam kerangka pelaksanaan ibadah haji. Semua pertanyaan di atas pantas direlasikan dengan kepentingan berhaji.
Pertanyaan-pertanyaan pentingnya bisa dirumuskan begini: Bisakah baju tidur dipakai untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji? Atau baju tidur dipakai untuk melaksanakan prosesi lempar jumrah kala beribadah haji? Atau pula baju olahraga dikenakan untuk menunaikan rangkaian thawaf saat beribadah haji? Ya, di Tanah Suci. Tempat ditunaikannya seluruh rangkaian ibadah haji.
Lihatlah gambar pakaian yang dikenakan oleh rombongan jemaah haji seperti bisa dijumpai di bagian bawah. Hampir semua jemaah haji Indonesia dalam rombongan itu mengenakan kaos yang dari karakter materialnya memang didesain untuk olahraga. Kainnya terbuat dari bahan yang licin. Layaknya baju olahraga pada umumnya. Semuanya berlengan pendek. Hanya, jemaah perempuan mengenakan kaos daleman sebelum kaos seragam itu dikenakan. Duapertiga bagian kaos, terutama bagian atas, berwarna biru laut. Bagian bawahnya campuran antara warna putih dan kuning dalam motif bergaris.
Seragam Warna Putih
Di tengah jemaah haji seluruh dunia yang rata-rata mengenakan seragam berwarna putih berbahan-berdesain khusus, maka rombongan dengan seragam kaos berwarna dominan biru laut di atas tampak sangat menyolok mata. Tanpa disengaja saja, penglihatan setiap orang dengan mudah dihadapkan dengan pergerakan rombongan dengan baju olahraga berbahan kaos berwarna dominan biru laut seperti diuraikan di atas. Tanpa harus ditunjuk-tunjukkan secara sengaja, setiap mata yang berada pasti akan dipertontonkan kepada pemandangan rombongan jemaah haji Indonesia dengan pakaian menyolok di atas.
Haji memang ibadah fisik. Ekstremnya, hampir tak ada rangkaian ibadah dalam kerangka haji yang tak mengandalkan kekuatan fisik. Tapi, ibadah haji bukan jogging. Ibadah haji juga bukan senam pagi. Pula, ibadah haji bukan lari pagi. Lari siang. Atau lari petang. Tak bisa dimungkiri, dalam kerangka ibadah haji, ada unsur larinya. Tepatnya lari-lari kecil. Ada unsur jalan cepatnya. Tapi, setiap kita yakin-seyakinnya bahwa semua gerak fisik yang membutuhkan kebugaran tinggi itu adalah dalam kerangka ibadah haji. Bukan dalam rangka olahraga.
Maka, kala ditanyakan, sebagai contoh, “Bisakah baju olahraga dipakai untuk melaksanakan prosesi lempar jumrah kala beribadah haji?” tentu saja jawabannya bukan sekadar dan terbatas pada persoalan bisa atau tidak. Juga, saat ditanya “Bisakah baju olahraga dipakai untuk melaksanakan prosesi thawaf saat beribadah haji?” tentu saja jawabannya sama. Bukan pula sekadar dan terbatas pada persoalan bisa atau tidak. Jawaban atas kedua pertanyaan itu harus melampaui batasan konsep bisa atau tidak itu. Alih-alih, konsep yang harus digunakan adalah persoalan kepantasan umum. Orang Barat menyebutnya dengan dengan istilah public decency. Konsep ini penting dipinjam untuk direfleksikan ke dalam melaksanakan ibadah haji.
Dalam pemahaman yang sangat mendasar (lihat URL: https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/public-decency), kepantasan umum itu berarti the quality of following accepted moral standards. Kualitas mengikuti standar moral yang diterima. Jadi, ukuran kepantasan umum dalam kaitan ini adalah memiliki dua unsur pembentuk yang penting: standar moral (moral standards) dan diterima (accepted). Kedua unsur pembentuk ini tak boleh hilang dalam deskripsi dan eksperimentasi nilai kepantasan umum itu dalam praktik kehidupan bersama.
Standar moral, sebagai misal. Unsur pembentuk ini tak bisa ditanggalkan kala setiap diri dalam gugusan masyarakat ingin mengikuti norma yang berlaku secara umum di tengah masyarakat. Standarnya tak bisa diganti dengan standar material. Sebagai misal, pakaian ihram tak bisa diganti dnegan baju tidur walaupun baju tidur itu, secara material, harganya jauh lebih mahal karena diproduksi oleh brand-brand terkenal internasional. Juga, pakaian yang digunakan untuk kepentingan prosesi lempar jumrah dalam ibadah haji tak bisa pula diganti dengan baju tidur walaupun baju tidur itu hasil produksi perancang terkenal nasional yang harganya jutaan. Mengapa demikian? Karena ada unsur ‘moral’ dalam pembentukan konsep kepantasan umum itu.
Untuk unsur ‘diterima’ sebagai pembentuk lain konsep kepantasan umum, sebagai contoh lainnya, juga tak bisa dipisahkan dari kelaziman pakaian yang digunakan untuk menunaikan rangkaian ibadah haji. Unsur ‘diterima’ ini memang bisa saja bergerak fleksibel. Tapi, unsur ini juga tak boleh dilepaskan dari kerangka besar, yakni moral dan lazim-umum. Dalam konteks ibadah haji, hal itu menunjuk ke moral haji dan keumuman pakaian yang digunakan dalam berhaji. Menanggalkan pertimbangan ‘diterima’ berarti secara otomatis meninggalkan moral dan kelaziman haji.
Maka, kala ditanya “Bisakah baju olahraga dipakai untuk melaksanakan prosesi lempar jumrah kala beribadah haji?”, maka persoalan itu harus ditempakan pada standar moral dan kelaziman haji yang diterima dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji yang selama ini berlaku. Karena itu, saat ada jemaah haji Indonesia mengenakan baju olahraga dalam melaksanakan rangkaian ibadah haji seperti saat lempar jumrah atau thawaf, maka dia sejatinya telah menanggalkan moral dan kelaziman haji dalam hal berpakaian yang sudah menjadi tradisi yang hidup (living tradition) dalam prosesi ibadah haji.
Karena sudah menjadi tradisi yang hidup itulah, maka tidak pas untuk bermimpi menjadikan diri sebagai penentu tren (trendsetter) busana baru haji dengan cara mengenakan baju olahraga dalam melaksanakan rukun ibadah haji. Prinsip itu seharusnya dipraktikkan secara kuat oleh jemaah haji Indonesia. “Oh, ini tren baru” atau “Oh kuingin jadi model baru” tak sepatutnya ada dalam berpakaian di luar standar moral dan kelaziman dalam praktik berhaji. Pikiran-pikiran semacam tak layak untuk dimiliki, apalagi dikembangkan, dalam berhaji.
Konsep kepantasan umum haji di atas akan semakin kuat saat dikaitkan dnegan status jemaah haji sebagai tamu Allah, dluyufur rahman. Saking kuatnya status jemaah haji ini, dalam banyak baliho di sejumlah kawasan di Makkah dan Madinah, bertengger tulisan semisal ini: hayyaka Allah ya dluyufar rahman. Terjemahan Inggrisnya seperti ini: Welcome Guests of Allah. Kita menyebutnya: Selamat datang para tamu Allah. Tentu nama yang digunakan sebagai tamu Allah di sini mengangkat derajat jemaah haji ke level atas. Bukan sembarang tamu. Bukan tamu orang biasa. Tapi tamu Allah.
Mengapa disebut sebagai tamu Allah? Mudahnya begini. Haji itu panggilan. Tak bisa Dipaksa-dipaksakan. Punya uang, tak selalu kemudian langsung bisa berangkat berhaji. Sehat luar biasa, tak bisa kemudian langsung bisa berangkat menunaikan haji. Punya kesempatan waktu, tidak otomatis bisa berangkat berhaji begitu saja. Karena semua ada antreannya. Panjang pula. Bagaimana dengan haji furada? Bukankah jumlah uang yang engkau punya akan bisa mengantarkanmu kapanpun engkau ingin dan mau berhaji? Mungkin iya. Mungkin bisa begitu.
Tapi, haji bukan sekadar soal biaya. Haji bukan sekadar soal kondisi sehat fisik. Juga, haji bukan soal kesempatan waktu semata. Ada spiritualitas dalam haji. Ada unsur batiniyah dalam haji. Dan semua itu harus disiapkan secara sama. Agar maksimal sebagai tamu Allah. Uang yang banyak semata tapi tak didukung dengan kesiapan mental spiritual, tak akan bisa maksimal. Atau bahkan uang yang banyak malah tidak menggerakkan seseorang untuk berkenan berhaji. Begitu pula penjelasan seterusnya. Karena itu, saat disebut haji adalah panggilan Allah, sebetulnya dalam penyataan itu terdapat substansi tentang kesiapan multidimensi. Mulai uang, kesehatan, hingga mental spiritual.
Apalagi, jemaah haji disebut sebagai tamu Allah, dluyufur Rahman, seperti disebut di atas. Tentu, konsep kepantasan harusnya standarnya lebih tinggi lagi dari sekadar kepantasan umum seperti diuraikan di atas. Bertamu ke rumah teman saja tak boleh memakai sekadar singlet. Datang ke rumah pimpinan kerja sendiri saja tak seharusnya mengenakan kaos apa adanya. Apalagi, jika datang ke rumah Allah di Tanah Suci dalam status sebagai tamu Allah atau dluyufur Rahman di atas. Tentu, standar kepantasannya mestinya lebih tinggi. Lho, lha kok ada yang menggunakan kaos yang hanya pantas, karena biasa, digunakan untuk olahraga?
Tentu semua harus dirfeleksikan kembali. Status sebagai tamu Allah atau dluyufur rahman di atas sudah menempatkan jemaah haji pada derajat yang sangat tinggi. Maka, jangan derajat itu engkau runtuhkan sendiri dengan gagal menjaga standar moral dan kelaziman haji di hadapan Allah yang Maha Agung di Tanah Suci dai Arab Saudi. Khususnya saat melaksanakan rangkaian rukun ibadah haji. Tentu, menjaga kepantasan haji itu bukan untuk kepentingan Allah. Sama sekali bukan. Melainkan untuk kepentingan kita sebagai jemaah haji yang sudah dimuliakan dengan status yang diberikan sebagai tamu Allah atau dluyufur Rahman itu.
Maka, waktu, momen, dan peruntukan tampak menjadi pembentuk penting lain bagi nilai kepantasan. Itu untuk melengkapi batasan unsur standar moral dan kelaziman dalam pemakanaan dasar konsep kepantasan umum seperti yang dijelaskan di atas. Sebab, bagaimana pun, haji itu urusan spiritual. Maka, unsur itu harus dimasukkan sebagai pembentuk standar moral dan kelaziman haji. Menanggalkan standar moral dan kelaziman haji dalam hal khusus berpakaian sama dengan meruntuhkan derajat kita sendiri. Sebab, sebagai jemaah haji, kita sudah dinaikkan statusnya menjadi tamu Allah atau dluyufur Rahman. Tapi semua itu runtuh oleh ulah kita sendiri sebagai jemaah haji. Karena kita meninggalkan standar moral dan kelaziman haji dalam praktik perilaku berpakaian dalam berhaji.
Karena itu, super penting untuk memantaskan diri saat berhaji. Pakaian adalah salah satu kata kunci yang perlu mendapatkan atensi. Boleh berdebat tentang pakaian. Termasuk jika dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah haji. Tapi, tetap, karena pakaian berhaji memiliki tradisi yang hidup seperti dijelaskan di atas, standar moral dan kelaziman haji tak bisa dijauhi. Apalagi ditingalkan sama sekali. Oleh siapa saja yang sedang melakukan ibadah haji. Di Tanah Suci. Karena, setiap jemaah haji di Tanah Suci adalah tamu Ilahi.