Memaknai Musibah, Mengikat Solidaritas Masyarakat
Gempa bumi, banjir, kecelakaan pesawat terbang, menjadi informasi yang kita saksikan setiap hari. Informasi yang menjadikan bukti realitas sosial kita.
Itulah musibah yang terus mengalir dalam waktu belakangan. Tentu, selaras nilai ajaran Islam, yang mengajarkan keselarasan ritual keselarasan sosial. Sehingga, menjadi pengikat untuk meningkatkan solidaritas sosial.
Musa Asy'arie, seorang pemikir dari Jogjakarta, memberikan renungan tentang "Memaknai Mushibah". Berikut catatannya.
Musibah datang silih berganti. Pandemic Covid-19 belum berakhir yang berdampak pada resesi ekonomi, pesawat terbang yang jatuh, diikuti banjir di Kalimantan Selatan dan gempa bumi di Majene dan Mamuju Sulawesi Barat.
Manusia di muka bumi ini adalah sumber masalah, jika tidak ada manusia, tentu tidak bertebaran dimuka bumi ini banyak kerusakan. Karena itu, manusia sendiri yang menanggung segala dampaknya, sebagai akibat dari ulahnya sendiri. Kita secara keseluruhan harus mawas diri.
Mushibah alam juga ada kaitannya dengan kerusakan kualitas kehidupan manusia. Konflik kekerasan politik kekuasaan, pecah belah antar kelompok sosial dan keagamaan berdampak munculnya kebencian dan permusuhan makin meluas di mana-mana merusak kohesi sosial bangsa.
Akibatnya korupsi juga makin membuncah, membuat perilaku manusia tak terkendali dan berakibat merusak kehidupan alam yang kehilangan equilibriumnya yang dieksploitasi dengan serakah untuk kepentingan pemilik capital yang melahirkan money politik dimana-mana, budaya wani piro merusak tatanan etika kebangsaan.
Mushibah harus dimaknai sebagai peringatan kepada kita sebagai bangsa untuk memperbaiki kualitas dirinya. Mushibah akan terus datang kembali, dan dengan perbaikan kualitas diri yang makin baik, maka mushibah akan dapat diatasi dengan baik, agar tidak berkepanjangan.
***
Hidup di dunia ini hanya sekali, akan tetapi tidak semua urusan itu selesai di sini. Dunia ini hanya sebentar saja. Kata orang Jawa hanya mampir ngombe (minum), jangan habiskan energy di sini. Akan tetapi hidup yang sesungguhnya adalah menembus batas. Batas kesebentaran, batas kesemenentaraan dan fana’ dalam keabadian yang digenggam-Nya.
***
Memberi adalah menghidupi, seperti air yang mengalir menghidupi tetumbuhan, ikan dan manusia, menghidupkan bumi yang mati menjadi subur makmur bagi kehidupan bersama. Semangat memberi adalah semangat kewirausahaan yang perlu terus dialirkan dan dibudayakan agar bangsa ini segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Catatan:
Seorang warganet memberikan sejumlah komentar.
Kholiq Asyhuri: "Subhanalloh.... Kita memamg harus sadar dg konsekuensi setiap perbuatan agar tidak munghakimi orang/pihak lain termasuk dalam hal musibah. Tanpa sadar bisa2 kita ikut berkontribusi atas musibah itu. Ya Alloh..."
Noor Laila Amin: "Dunia barangkali juga tempat singgah yg paling singkat, jika dibandingkan dengan jauhnya perjalanan menuju tempat singgah terakhir. Tapi semua akan menjadi singkat dan mudah jika kita dari sekarsng mampu menembus batas tersebut.. untuk selalu merasakan… "
Advertisement