Memaki Sesama Muslim, Ya Fasik
Di tengah revolusi informasi, setiap pribadi bisa dengan mudah mereaksi orang lain dengan sangat kasar dan tanpa adab. Fakta itu terbukti melalui maraknya caci-maki di media sosial (medsos).
Memang, kenyataan di masyarakat, banyak orang menganggap remeh omongan dengan seringnya misuh atau memaki orang lain.
"Mencaci maki atau misuh kepada saudara sesama Muslim termasuk fasik. Berarti keluar dari ketaatan kepada Allah SWT," tutur KH Ahmad Mustofa Bisri. Berikut uraian tokoh yang akrab dipanggil Gus Mus:
Jika sampai memerangi atau bertengkar dengan orang Muslim maka itu sudah termasuk orang yang tidak mau terima kasih. Karena sudah diberi hidayah oleh Allah SWT menjadi seorang Muslim.
Kebalikannya dari fasik adalah taat. Kita sebagai hamba Allah selalu dituntut untuk taat kepada-Nya. Misuh kepada saudara Muslim termasuk fasik karena qital artinya memang perang. Tapi, secara bahasa juga bisa dimaknai dengan pertengkaran, baik pertengkaran fisik maupun pertengkaran mulut.
Seseorang dikatakan kafir karena ia tidak bersyukur kepada Allah. Orang mukmin jika bersyukur akan terlihat, salah satunya dengan melaksanakan shalat. Orang yang tidak shalat adalah orang yang tidak mau berterima kasih kepada Allah.
Menurut Imam al-Bukhari, memisuhi orang lain merupakan hal yang mengkhawatirkan, karena bisa menyebabkan amal-amalnya sia-sia. Orang yang memerangi atau memusuhi orang Islam tanpa sadar amal-amalnya menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Kita harus selalu khawatir, selalu waspada, jangan hanya karena kita sudah sering sembahyang, shalat, haji, umrah, berkali-kali kemudian terhadap sesama kita tidak memperhatikan sikap kita. Hal ini dapat menyebabkan amal kita sia-sia di hadapan Allah SWT.
Bila Tidak Bicara Baik, Diam Saja
Islam memberikan harga tinggi pada perkataan yang baik. Islam menekankan pentingnya perkataan baik. Bahkan, Rasulullah saw menilai kadar keimanan seseorang kepada Allah dan hari kiamat dilihat dari baik atau tidaknya perkataan yang bersangkutan.
Keimanan kepada Allah dan hari kiamat merupakan sesuatu yang abstrak. Meski begitu, bukti dan jejak keimanan itu bisa diketahui secara konkret melalui perilaku sehari-hari. Ini ditandai antara lain dengan menjaga perkataan yang baik agar tidak menyakiti, merugikan orang lain, atau menimbulkan kekisruhan.
Sebuah hadits sahih terkait menjaga perkataan. Terlebih lagi di masa sekarang di mana banyak tersedia ruang media sosial, orang bebas dan mudah berbicara terlepas apakah itu baik atau tidak bahkan sekadar fitnah.
Bila benar kita beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah kita bicara baik atau diam (dari hadits sahih).
Pada hadits ini Rasulullah dengan nyata mengaitkan kesempurnaan iman seseorang dan kebaikan perkataannya. Oleh karena itu, jikalau perkataan baik tidak bisa dikeluarkan, sikap diam menjadi pilihan terbaik baginya dan bagi orang lain.
KH Ahmad Mustofa Bisri
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengasuh Pesantren Raudlatuth Thalibien Leteh Rembang, Jawa Tengah.
Advertisement