Memahami Perbuatan Syirik, Dosa Besar yang Tak Terampuni
Umat Islam dan Kau Mukminin diingatkan bentuk selalu mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala (SWT) dengan berzikir. Manusia pun diingatkan agar tidak berbuat zalim.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda:
"Barang siapa berbuat dholim kepada seseorang, yang berkaitan dengan kehormatan atau sesuatu apapun, hendaklah dia meminta halal darinya pada hari ini, sebelum ( datang hari Kiamat ) yang tidak ada Dinar dan Dirham. Jika dia memiliki amal sholih diambil darinya seukuran kedholimannya. Jika dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, diambil kesalahan-kesalahan orang yang didholimi lalu ditimpakan padanya."
( H. R. Bukhari no . 2449 )
Awas, Perbuatan Syirik
Para nabi dan rasul itu senantiasa mendakwahkan Tauhid (mengesakan Allah SWT). Mereka berusaha menghapuskan berbagai macam kesyirikan yang dilakukan manusia di zamannya.
Allah SWT Berfirman:
اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
"Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahib-nya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan." (At Taubah: 31)
Terkait ayat ini, Asy-Syaukani menyatakan, “Sesungguhnya mereka menaati para pendeta/rahib mereka dalam perintah dan larangannya. Para pendeta/rahib itu menempati kedudukan sebagai 'tuhan-tuhan' karena mereka ditaati sebagaimana layaknya tuhan.” (Asy-Syaukani, II/452)
Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Hudzaifah bin al-Yamani, Ibnu Abbas, dan lain-lain (As-Suyuthi, III/354-355); juga oleh ath-Thabari, az-Zamakh-syari, ar-Razi, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baghawi, Ibnu 'Athiyah, al-Khazin, Ibnu Juzyi al-Kalbi, dll dalam kitab tafsir mereka masing-masing).
Pengertian di atas sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw. atas ayat ini. Dalam hal ini, Adi bin Hatim (yang saat itu masih memeluk agama Nasrani) bertutur:
Aku pernah mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah SAW. bersabda, "Hai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu!" Kemudian aku melemparkannya. Setelah itu, beliau membaca ayat: Ittakhadzu ahbarahum wa ruhbanahum min duni llahi…hingga selesai. Aku berkata, "Sungguh, kami tidak menyembah mereka." Beliau membantah, "Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, lalu kalian ikuti; mereka pun menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, lalu kalian pun ikuti?" Aku menjawab, "Memang benar." Beliau bersabda, "Itulah bentuk penyembahan kalian kepada para pendeta dan para rahib kalian.” (HR ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).
Mendalami ayat sekaligus penafsiran yang didasarkan pada riwayat di atas, kemudian mengaitkannya dengan realitas para pembuat hukum saat ini, kita segera menyimpulkan bahwa 'tuhan-tuhan' selain Allah itu kini tidak hanya para pendeta/rahib Yahudi dan Nasrani.
Secara tidak langsung ayat ini sebetulnya terkait dengan keharaman berlaku 'syirik' (menyekutukan Allah). Ayat ini melarang manusia untuk menjadikan para rahib dan pendeta sebagai tandingan-tandingan Allah; sebagai 'tuhan-tuhan' selain Allah.
Dalam konteks akidah, syirik jelas dosa yang amat besar, bahkan dosa yang tidak akan pernah diampuni Allah SWT (Lihat: QS. an-Nisa' [4]: 48).
Jika mempertuhankan pihak lain selain Allah (syirik) adalah sebuah dosa yang tidak terampuni, apalagi sikap mempertuhankan diri sendiri, seperti halnya yang dilakukan oleh Fir'aun?
Jika 'tuhan' adalah zat yang harus disembah, sekaligus yang memiliki otoritas untuk membuat hukum, maka Fir'aun pada masa lalu telah mentahbiskan dirinya sebagai 'tuhan' itu.
Semoga kita dan seluruh keluarga kita selalu bertaiwa kepada Allah, berakhlak baik, jujur, adil, amanah, selamat di dunia selamat di akhirat.
Aamiin....!!!
Semoga Bermanfaat.