Memahami Mana Peran Allah Ta'ala dan Mana Peran Hamba
Bagi mereka yang hatinya tidak mampu menerima keputusan Allah dengan lapang dada dan terus bertanya-tanya bukankah dalam kegagalan, kemalasan, kecerobohan, maksiat dan musibah yang dia alami juga ada peran Allah? Maka Imam Abu Hanifah pernah menjelaskan duduk perkaranya sebagai berikut:
"Penciptaan kemampuan dalam diri seorang hamba adalah tindakan Allah, sedangkan penggunaan kemampuan yang diciptakan Allah tersebut adalah tindakan hamba itu sendiri secara hakikat, bukan majas". (Dinukil oleh Imam Ghazali dalam al-Arbain Fi Ushuli ad-Din)
Maksudnya, berhentilah membawa-bawa takdir Allah dalam kegagalan yang diakibatkan oleh kebodohan tindakanmu sendiri. Kamulah sendiri yang menggunakan kekuatan yang diberikan oleh Allah untuk apa yang engkau perbuat, maka tanggung sendiri akibat perbuatanmu.
Membawa-bawa Allah dalam kecerobohanmu adalah sama bodohnya seperti membawa-bawa nama PLN untuk bertanggung jawab ketika kamu ditangkap polisi karena telah dengan sengaja menyetrum orang lain.
Orang Awam Tak Perlu Diberi Ibarat Kecuali Dibutuhkan
Saya sering berkata dalam berbagai kesempatan bahwa menukil ibarat tidak perlu dilakukan kecuali betul-betul dibutuhkan bantuan otoritas ulama untuk menjelaskan masalah yang dibahas. Itu sebabnya anda akan jarang menemukan ibarat dari status saya, terutama status empat tahun terakhir ketika saya memang bertambah kesibukan.
Ketika ditanya dalam kolom komentar pun saya cenderung menjawab dengan jawaban pendek to the point tanpa menukil ibarat dari kitab-kitab para ulama.
Sebagian orang setuju dengan langkah saya ini dan sebagian lagi kecewa bahkan ada yang menganggap saya hanya mengarang jawaban tanpa ada referensinya. Biasanya yang kecewa akan membandingkan dengan tulisan kawan-kawan lain yang bertaburan ibarat di dalam setiap tulisan mau pun jawabannya.
Terlepas dari anggapan orang-orang, yang sebenarnya tidak saya pedulikan, hehe, tindakan saya punya dasar pijakan seperti yang dijelaskan oleh Imam Qarafi sebagai berikut:
لا ينبغي للمفتي أن يحكي خلافا في المسألة؛ لئلا يشوش على المستفتي، ولا أن يذكر دليلا ولا موضع النقل من الكتب، إلا أن يعلم أن الفُتيا سينكرها بعض الفقهاء أو نحو ذلك
"Tidak semestinya seorang mufti menceritakan adanya perbedaan pendapat dalam suatu masalah agar tidak membingungkan pikiran orang yang meminta fatwa. Tidak semestinya juga menyebutkan dalil atau letak nukilan ibaratnya di kitab-kitab kecuali dia tahu bahwa fatwa tersebut akan ditolak oleh sebagian fukaha' lain, atau pertimbangan semisal itu." (al-Qarafi, al-Ihkam).
Anda boleh percaya tulisan ini dan boleh juga menganggapnya sekedar apologi dari sebuah kemalasan. Seperti kata seorang teman Kyai yang namanya tidak perlu saya sebutkan, tapi berinisial Nur Hasyim S Anam II, orang sudah sibuk banyak urusan masih diminta bongkar-bongkar kitab nyari ibarat, gratisan pula. Percaya pada jawabannya terserah, tak percaya pun terserah. hahaha...
Demikian ungkapan Abdul Wahab Ahmad, dosen Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember.
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bisshawab.
Advertisement