Memahami Hakikat Lailatul Qadar, Alasan Waktu Tetap Jadi Rahasia
Sebagaimana kita yakini bahwa bulan Ramadan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya terdapat Lailatul Qadar, suatu malam yg dinilai oleh Al-Quran dan Sunah sebagai malam yg lebih baik dari seribu bulan.”
Nabi ﷺ bersabda :
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ.
‘Telah datang kepada kalian bulan Ramadan,
➖ bulan yang penuh berkah,
➖ padanya Allah mewajibkan kalian shoum,
➖ padanya pintu-pintu Surga dibuka lebar
➖ dan pintu-pintu Neraka ditutup rapat,
➖ dan setan-setan dibelenggu.
Pada bulan Ramadan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan."
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad II : 425 no. 9493, Ibnu Abu Syaibah, al-Mushonnaf II : 270 no. 8867, Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid I : 418 no. 1429, dan Ishaq bin Rohawaih, Musnad Ishaq bin Rohawaih I : 73 no. 1).
Ada apa dengan malam itu sehingga dinilai demikian tinggi oleh Al-Qur'an dan Sunah?
Sebelum menelaah lebih jauh tentang "ketinggian nilai" itu, ada baiknya apabila kita kaji terlebih dahulu kriteria dari malam tersebut.
Pengertian Lailatul Qodar
Secara bahasa Lailatul Qodar berarti : “Malam Yang Agung”, malam yang besar nilainya.
Sedangkan secara istilah Lailatul Qadar menunjukkan 2 (dua) pengertian :
Pertama, Lailatul Qodar. Pada Waktu turunnya Al-Qur'an secara sekaligus.
Kedua, Lailatul Qadar yang dijanjikan akan terjadi setiap bulan Ramadan.
Makna Pertama :
Lailatul Qodar, ketika turunnya Al-Qur'an sekaligus. Pengertian ini merujuk kepada Firman Allah ﷻ sebagai berikut:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَا كَ مَا لَـيْلَةُ القَدْرِ (2) لَـيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْـفِ شَـهْرٍ (3) تَنَـزَّلُ المَلآئِكَةُ وَالرُّوحُ فِـيهَا بِـإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلاَمٌ هِيَ حَـتَّى مَطْلَـعِ اْلـفَجْرِ (5).
1). “Sesungguhnya kami telah menurunkan dia (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan.
2). Dan apakah engkau sudah mengetahui apa malam kemuliaan itu?
3). Malam kemuliaan itu, lebih utama daripada seribu bulan.
4). Turun Malaikat dan ruh padanya dgn izin Robb mrk (dengan membawa pokok²) dari setiap perintah (hukum-hukum yang perlu bagi dunia dan Akhirat).
5). Sejahteralah ia sampai terbit fajar.”
(QS. Al-Qodr [97] : ayat 1-5).
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَاْلفُرْقَانِ (185).
“Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, keterangan-keterangan petunjuk itu, dan pemisah antara yang haq dan yang bathil.”
(QS. Al-Baqoroh [2] : ayat 185).
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ (3).
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam yang diberkahi.”
(QS. Ad-Dukhon [44] : ayat 3).
Ketiga ayat ini menunjukkan bahwa Lailatul Qodar adalah satu malam di bulan Romadhon, sebagai waktu diturunkan Al-Quran secara menyeluruh dari Lawhul Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah di langit dunia.
Malam itu disifati dengan Lailah Mubaarakah (malam yang diberkahi).
Sehubungan dengan itu sahabat bernama Abdullah bin Abbas menyatakan :
أُنْزِلَ الْقُرْآن جُمْلَةً وَاحِدَةً إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْزِلَ بَعْد ذَلِكَ فِي عِشْرِينَ سَنَةً قَالَ : {وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا} وَقَرَأَ ( وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً ).
“Al-Quran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul Qodar, kemudian setelah itu diturunkan (kepada Rasul) pada masa 20 tahun.
Allah berfirman :
‘Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yg paling baik penjelasannya.’
(QS. Al-Furqon [25] : ayat 33)
Dan ia membaca ayat wa quranan faroqnahu …
(QS. Al-Isro [17] : ayat 106)
(HR. An-Nasai, As-Sunan Al-Kubro VI : 421 no. hadits 11.372).
Dalam riwayat lain dengan redaksi :
أُنْزِلَ الْقُرْآنُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ جُمْلَةً وَاحِدَةً إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، وَكَانَ بِمَوْقِعِ النُّجُومِ وَكَانَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُنْزِلُهُ عَلَى رَسُولِهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْضَهُ فِى إِثْرِ بَعْضٍ.فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالُوا (لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاَ)."
“Al-Quran diturunkan pada Lailatul Qodar sekaligus ke langit dunia, dan itu sesuai dgn masa turunnya bagian bintang-bintang dan Alloh ‘Azza wa Jalla menurunkannya kpd Rosul-Nya sebagian demi sebagian.
Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan mereka mengatakan : ‘Lawlaa nuzzila ‘alaihil Quraanu …
(QS. Al-Furqon [25] : ayat 32).”
(HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubro IV : 306 no. hadits 8304, dan Al-Hakim, Al-Mustadrok ‘Alash Shohihain II : 578 no. hadits 3958).
Dalam riwayat lain dijelaskan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّهُ سَأَلَهُ عَطِيَّةُ بْنُ الاَسْوَدِ قَالَ : أَوَقَعَ فِي قَلْبِي الشَّكُ قَوْلُهُ تَعَالَى - شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنُ- وَقَوْلُهُ : إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ وَهذَا أُنْزِلَ فِي شَوَّالٍ وَذِي القَعْدَةِ وَذِي الحِجَّةِ وَفِي المُحَرَّمِ وَالصَّفَرِ وَشَهْرِ رَبِيْعٍ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : إِنَّهُ أُنْزِلَ فِي رَمَضَانَ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ جُمْلَةً وَاحِدَةً ثُمَّ أُنْزِلَ عَلَى مَوَاقِعِ النُّجُومِ رَسَلاً فِي الشُّهُورِ وَالأَيَّامِ.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia pernah ditanya oleh Athiyah bin Al-Aswad, ia berkata :”Aku ragu-ragu tentang firman Allah Ta’ala :‘Syahru romadhoonalladzii unzila fihil Quraanu’ dan Firman-Nya : ‘Innaa anzaalnahu fii Lailatil Qodri.’
Apakah turunnya itu pada bulan Syawal, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharrom, Shofar, dan Ar-robi’?”
Ibnu Abbas menjawab :
”Bahwa Al-Quran itu diturunkan pada bulan Ramadan pada malam Lailah Al-Qadar secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi berdasarkan masa turunnya bagian-bagian bintang secara berangsur pada beberapa bulan dan hari.”
(HR. Al-Baihaqi, Al-Asmaa was Shifaat, II : 35 no. hadits 487).
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bahwa Lailatul Qadar dlm pengertian pertama menunjukkan waktu diturunkan Al-Qur'an secara sekaligus dari Lawhul Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah di langit dunia. Dan Lailatul Qadar dalam pengertian ini tidak akan terjadi lagi, karena Al-Quran telah selesai diturunkan.
Sifat dan Keutamaan Lailatul Qodar.
Pada surat ini (QS. Al-Qodr [97] : ayat 1-5) kata Lailatul Qodar disebut sebanyak tiga kali.
Pengulangan itu untuk menunjukkan pengagungan dan agar lebih mendapat perhatian.
Sedangkan malam itu diberi nama Lailatul Qadar karena kemuliaannya atau karena pada malam itu ditetapkan berbagai urusan, sebagaimana firman Allah ﷻ :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4).
3). “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam yg diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
4). Pada malam itu dijelaskan segala urusan yg penuh hikmah.”
(QS. Ad-Dukhon [44] : ayat 3-4).
Yang dimaksud dgn urusan² di sini ialah segala perkara yang berhubungan dgn kehidupan makhluk seperti : hidup, mati, rezeki, nasib baik, nasib buruk, dan sebagainya.
Adapun malam itu disifati dengan “malam yang diberkahi” (QS. Ad-Dukhon [44] : ayat 3), karena pada malam itu diturunkan berbagai berkah (kebaikan yg banyak) serta manfa'at agama dan dunia.
(At-Tafsir al-Munir XXX : 332, dan Tafsir al-Bahr al-Madid VII : 60).
Pada ayat itu pula dinyatakan keutamaan malam tersebut sebagai berikut :
لَـيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْـفِ شَـهْرٍ.
“Malam kemuliaan itu lebih utama daripada seribu bulan.”
(QS. Al-Qodr [97] : ayat 3).
Tentang firman Allah ﷻ :
لَـيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْـفِ شَـهْرٍ.
Mujahid berkata :
عَمَلُهَا وَصِيَامُهَا وَقِيَامُهَا خَيْرٌ مِنْ أَلْـفِ شَـهْرٍ.
“Beramal, shoum, dan sholat pada malam itu lebih baik daripada seribu bulan.”
(HR. At-Thobari, dan Tafsir Ibnu Katsir IV : 649).
Dalam riwayat lain Mujahid berkata :
لَـيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْـفِ شَـهْرٍ لَيْسَ فِي تِلْكَ الشُّهُورِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ.
“Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan yang di dlmnya tidak terdapat Lailatul Qadar.”
(HR. Ibnu Abu Hatim, Tafsir Ibnu Katsir IV : 649).
Keterangan di atas menunjukkan pengertian bahwa beramal pada satu malam itu lebih baik daripada beramal pada seribu bulan yang di dlmnya tidak terdapat Lailatul Qadar.
Pengertian ini sesuai dengan penjelasan Nabi ﷺ :
فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ.
“Pada bulan Romadhon ada satu malam yg lebih baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidk mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan."
(HR. Ahmad Musnad Ahmad II : 425 no. 9493).
Kata at-Tirmidzi, “Sabda Nabi :
مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ.
“Barangsiapa tdk mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan”
والمراد حرمان الثواب الكامل أو الغفران الشامل الذي يفوز به القائم في أحياء ليلها.
Maksudnya, kehilangan pahala yang sempurna atau ampunan yang lengkap, sebagai penyebab keberuntungan orang yg menghidupkan malam itu.”
(Misykat al-Mashobih VI : 822).
Makna Kedua : Lailatul Qodar Pada Setiap Bulan Ramadhan.
Dalam makna kedua, Lailatul Qodar adalah salah satu malam yang terjadi pada setiap bulan Ramadhan.
Pemaknaan ini kita peroleh dari jawaban Nabi terhadap pertanyaan yg diajukan oleh seseorang.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أَسْمَعُ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَقَالَ : هِىَ فِى كُلِّ رَمَضَانَ.
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata :
Rasulullah ﷺ ditanya ttg Lailatul Qodar dan aku mendengarnya. Beliau bersabda : ‘Ia (Lailatul Qodar itu) ada pada tiap bulan Romadhon.”
(HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud II : 53 no. 1387, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubro IV : 307 no. 8309, dan Ath-Thohawi, Syarh Ma’ani al-Atsar III : 84).
Dalam konteks inilah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan diri menyambut malam yg mulia itu.
Nabi ﷺ bersabda :
إِلْتَمِسُوهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ.
“Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir.”
(HR. Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori II : 714 no. 1923, Ahmad, Musnad Ahmad VI : 50 no. 24.279, al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubro IV:307 no. 8307, al-Hakim, al-Mustadrok ‘ala Ash-Shohihain I : 604 no. 1596, Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Hibban VIII : 434 no. 3676, dan Ath-Thohawi, Syarh Ma’ani al-Atsar III : 88).
Dalam riwayat lain dengan redaksi :
فَلْيَلْتَمِسْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ.
“Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir.”
(HR. Muslim, Shohih Muslim II : 824 no. 1165, dan Ahmad, Musnad Ahmad II : 75 no. 5443).
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.
️“Selidikilah oleh kalian Lailatul Qadar pada sepuluh (malam) terakhir di bulan Ramadan.”
(HR. Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori II : 714 no. 1923, Muslim, Shohih Muslim II : 828 no. 1169, Ahmad, Musnad Ahmad VI : 50 no. 24.279, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi III : 160, no. 792, al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubro IV : 307 no. 8310, Malik, al-Muwatho I : 319 no. 693, dan Ibnu Abu Syaibah, al-Mushonnaf II : 325 no. 9525).
Berdasarkan keterangan di atas kita mengetahui bahwa Lailatul Qodar yg dianjurkan untuk dicari itu terdapat pada setiap bulan Ramadhan, lebih tepatnya pada sepuluh hari terakhir bulan itu.
Meski demikian, Rasullullah tidak menerangkan secara pasti tanggal berapa. Beliau hanya menganjurkan agar lebih diperhatikan malam-macam setelah tanggal 20 Ramadhan (lihat keterangan detailnya pada penjelasan selanjutnya di bawah ini).
Allah Ta'ala sengaja tidak memberitahukan kepada Nabi SAW secara pasti tanggal berapa Lailatul Qodar itu terjadi, dlm hal ini terkandung nilai Tarbiyyah (pendidikan) yg amat mulia, yaknibagar tiap malam kaum muslimin mengisi malamnya dgn ibadah dan do'a, terutama pada malam-malam ganjil setelah berlalu 20 Ramadhan.
Hal itu tampak jelas dari sikap Rasulullah ﷺ pada sepuluh hari terakhir setiap bulan Ramadhan, dengan mengajak keluarganya untuk bangun menghidupkan malam itu lebih giat dari malam-malamvsebelumnya.
Siti Aisyah radhiyallahu anha menjelaskan :
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.
"Nabi ﷺ apabila memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya dan tidak tidur serta membangunkan keluarganya.”
(HR. Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori II : 711 no. 1920, dan Al-Baghowi, Syarh as-Sunnah VI : 389 no. 1829).
Dalam riwayat lain dengan redaksi :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اذَا بَقِىَ عَشْرٌ مِنْ رَمَضَانَ، شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَاعْتَزَلَ اهْلَهُ.
"Rasulullah ﷺ apabila tersisa sepuluh hari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya dan menjauhi istrinya.”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad VI : 66 no. 24.422).
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لا يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
️⃣ "Rasulullah ﷺ bersungguh-sungguh pada Sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, yang tidak beliau lakukan hal itu pada waktu lainnya.”
(HR. Muslim, Shohih Muslim II : 832 no. 1175, Ahmad, Musnad Ahmad VI : 255 no. 26.231, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi III : 161 no. 796, An-Nasai, As-Sunan al-Kubro II : 270 no. 3390, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I : 562 no. 1767, Ibnu Khuzaimah, Shohih Ibnu Khuzaimah III : 342 no. 2215, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubro IV:313 no. 8344, dan Ibnu Abu Syaibah, al-Mushonnaf II : 252 no. 8691).
Penjelasan.
Imam ash-Shon’ani berkata, kalimat :
وَأَحْيَا لَيْلَهُ،
“Dan menghidupkan malamnya.”
Menunjukkan makna majazi (kiasan), yaitu tidak tidur di malam itu.
Sedangkan kalimat :
وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“serta membangunkan keluarganya.” Maksudnya untuk shalat dan ibadah yang lain.
Sikap keseriusan ini lebih dikhususkan oleh Rasulullah di sepuluh malam terakhir karena waktu untuk ibadah demikian di bulan Ramadhan akan segera berakhir.
(Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Marom III : 383).
Bagaimana dengan orang yang tidak sanggup melakukan itu di sepuluh malam terakhir secara terus menerus? Sehubungan dengan itu,
"Rasulullah ﷺ bersabda :
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي.
"Carilah ia pada sepuluh terakhir (Ramadhan), yakni Lailatul Qodar.
Maka jika salah seorang dari kalian lemah atau tak mampu, maka jangan sampai terlewatkan tujuh malam terakhir."
(HR. Muslim, Shohih Muslim II : 823 no. 1165, dan Ibnu Khuzaimah, Shohih Ibnu Khuzaimah III : 327 no. 2183).
Dalam riwayat lain dgn redaksi :
اطْلُبُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَإِنْ غُلِبْتُمْ فَلَا تُغْلَبُوا عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي.
"Carilah Lailatul Qodar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Jika kalian tidak mampu maka jangan terlewatkan pada tujuh hari yang tersisa."
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad I : 133 no. 1111).
Sikap demikian itu tampak lebih jelas lagi dari ajakan dan pengumuman yang dilakukan beliau pada sore hari setelah shalat Ashar, kepada khalayak untuk berjamaah Shalat Tarawih di malam-malam ganjil :
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّا صَلَّى الـنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْ شَاءَ اللهُ، مَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم جَمَاعَةً بَعْدَ العَتَمَةِ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَ انْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِ يَوْمَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ ، فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَقُمْ فَصَلَّى بِالنَّاسِ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ سِتٍّ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَ اللهُ يَعْنِى لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ قَالَ أَبُو ذَرٍّ فَـتَجَلَّدْنَا لِلْقِيَامِ فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ حَتَّى ذَهَبَ ثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ فِى الْـمَسْجِدِ فَقُلْتُ لَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَنْ تَقُومَ بِنَا حَتَّى تُصْبِحَ، فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ إِذَا صَلَّيْتَ مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَ لَكَ قُنُوتُ لَيْلَتِكَ.
Dari Abu Dzar, ia berkata :
”Tatlaka sepuluh hari terakhir Ramadan,
Rasulullah ﷺ i'tikaf di masjid, ketika sholat Ashar pada hari ke-22, beliau bersabda: 'Insyaa Allah kita akan berjama'ah malam ini, siapa di antara kamu yg akan shalat pada malam itu silahkan ia sholat, yakni malam ke-23, kemudian Nabi sholat malam itu dengan berjamaah setelah Shalat 'Isya sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau pulang.
️Pada malam ke 24, beliau tidak berkata apapun dan tidak mengimami, pada malam ke-25 beliau berdiri setelah sholat Ashar, yaitu pada hari ke-24, kemudian bersabda :
'Kita akan berjama'ah malam ini Insyaa Alloh yakni pada malam ke-25, Siapa pun yang mau ikut berjama'ah silahkan. Kemudian beliau mengimami orang-orang sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau pulang.
Tatkala malam ke-26 beliau tidak berkata apa pun dan tidak mengimami kami, tatkala malam ke-27, beliau berdiri setelah shalat Ashar pada hari ke-26, kemudian beliau berdiri dan bersabda:
'Insyaa Allah kita akan berjama'ah malam ini yakni pada malam ke-27, siapa yang akan mengikuti berjama'ah silakan.
‘Abu Dzar berkata :
'Maka kami berusaha keras untuk ikut sholat berjama'ah itu, lalu Nabi ﷺ mengimami kami sampai lewat dua pertiga malam. Kemudian beliau pergi menuju Qubahnya di masjid (karena sedang I’tikaf). Saya berkata kepada beliau : 'Bgm jika kami sangat menginginkan tuan mengimami kami sampai Subuh.
Beliau bersabda :
'Wahai Abu Dzar jika engkau sholat beserta imammu, dan engkau selesai (shalat ketika imam itu selesai telah ditetapkan (pahala) untukmu keta'atanmu pada malam itu.”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad V : 172 no. 21.549, dan Ath-Thobaroni, al-Mu’jam al-Awsath I : 141 no. 442, Musnad asy-Syamiyin II : 92, no. 972).
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa, keagungan Lailatul Qadar dan kebesaran nilainya tidak ada artinya bagi kaum Muslimin bila pada malam itu tidur atau bangun tapi tak melakukan amal ibadah, sebab pada malam itu Alloh memberikan kesempatan bagi kaum Muslimin untuk bangun melakukan ibadah. Karena itu, keagungan Lailatul Qodar akan menemui orang-orang yang mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa dalam menyambutnya.
Hal itu tak ubahnya tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, dia tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.
Demikian juga halnya dengan Lailatul Qadar. Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailatul Qodar datang menemuinya, maka malam kehadirannya menjadi saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang.
Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah titik tolak guna meraih kemuliaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di Akhirat kelak. Dan sejak saat itu Malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yg baru kelak di kemudian hari.
Kapan Lailatul Qadar “Jilid 2” Itu Terjadi?
Hadits-hadits yang berhubungan dengan “waktu terjadinya Lailatul Qadar” cukup banyak, baik dilihat dari aspek variasi sumber periwayatan maupun dari aspek variasi redaksi.
Hadits-hadits itu sebagai berikut :
Hadits Pertama :
عَنْ عُقْبَةَ وَهُوَ ابْنُ حُرَيْثٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي.
Dari Uqbah, yaitu bin Huroits, ia berkata :
“Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata :
Rasulullah ﷺ bersabda :“Carilah Lailatul Qodar itu pada sepuluh terakhir bulan Romadan.”
(HR. Muslim, Sahih Muslim II : 828 no. hadits 1169, dan At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi III : 158 no. hadits 792).
Pemahaman hadits :
Maksudnya, cari dari tanggal 21 sampai 29/30 Ramadan
️Hadits ini tidak menginformasikan ketentuan harinya secara pasti, bisa jadi ke-21, 22, 23, dan seterusnya. Karena itu hadits ini kami kategorikan sebagai hadits mujmal (keterangan secara umum) atau mutlaq (tanpa batasan).
Hadits Kedua :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.
Dari 'Aisyah rodhiyAllohu 'anha, bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda : “Carilah Lailatul Qodar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Romadan.”
(HR. Al-Bukhori, Sahih Al-Bukhori II : 710 no. hadits 1913, dan Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubro IV : 308 no. hadits 8314).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dgn sedikit perbedaan redaksi.
(Musnad Ahmad VI : 73 no. hadits 24.489).
Dalam riwayat lain dijelaskan oleh Ibnu Umar :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِي الْوِتْرِ مِنْهَا.
Dari Ibnu Umar, ia berkata :
“Seseorang bermimpi bahwa Lailatul Qadar terdapat pada malam kedua puluh tujuh bulan Ramadhan.
Maka Nabi ﷺ bersabda :
‘Aku bermimpi seperti mimpimu, yaitu pada sepuluh malam yang akhir. Karena itu, carilah ia pada malam-malam yang ganjil."
(HR. Muslim, Sahih Muslim II : 823 no. hadits 1165).
Pemahaman hadits :
Pada hadits ini terdapat qoyyid (pembatas) dengan kalimat fii al-witr (pada malam-malam ganjil) di sepuluh malam terakhir itu.
️Maksudnya, carilah pada tanggal 21, 23, 25, 27, atau 29. Dengan demikian, maka hadits-hadits kedua menjadi pembatas atau keterangan terperinci dari hadits² pertama yang mutlaq.
Hadits Ketiga :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Carilah Lailatul Qodar itu pada 7 terakhir (bulan Ramadan).
(HR. Muslim, Shohih Muslim II : 823 no. hadits 1165, Malik, Al-Muwatho I : 320 no. hadits 694, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud II : 53 no. hadits 1385, dan Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubro IV : 311, No. hadits 8330).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan tambahan kalimat akhir :
“Min Romadhoon.”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad II : 113 no. hadits 5932)
Pemahaman hadits :
Maksudnya, kalau Ramadhan 30 hari, carilah dari tanggal 24 hingga 30 = 7 hari. Kalau 29 hari, cari dari 23 hingga 29 = 7 hari.
Hadits Keempat :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى.
Dari Ibnu Abbas rodhiyAllohu 'anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Carilah dia (Lailatul Qadar) pada 10 terakhir bulan Ramadhan. Lailatul Qodar itu tetap (ada) pada
➖ malam ke-9,
➖ malam ke-7,
➖ malam ke-5.”
(HR. Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori II : 711 no. hadits 1917, dan Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubro IV : 308 no. hadits 8316).
Hadits ini diriwayatkan pula dengan sedikit perbedaan redaksi di dalam.
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad I : 231 no. hadits 2052, I : 279 no. hadits 2520, I : 365 no. hadits 3456, III : 234 no. hadits 13.477, V : 36 no. hadits 20.392, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud II : 52 no. hadits 1381, dan Abu Dawud Ath-Thoyalisi, Musnad Ath-Thoyalisi, I : 118 no. hadits 881).
Pemahaman hadits :
Yang dimaksud dengan ungkapan yang ke-9 dari 10 akhir itu adalah malam ke-21.
️ Maksud yg ke-7 dari 10 akhir adalah malam ke-23.
Maksud yg ke-5 dari 10 akhir adalah malam ke-25.
Dengan demikian, maksud hadits itu adalah :
“Carilah pada tanggal 21, 23, 25”.
Keterangan ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang memberi petunjuk umum, karena tidak membatasi hanya pada tanggal-tanggal tersebut saja yang harus dicari itu.
Hadits Kelima :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْمَنَامِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَا خِرِ.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma bahwa beberapa orang dari Sahabat Nabi ﷺ menyaksikan Lailatul Qodar dalam mimpi terjadi pada tujuh hari terakhir.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda :
“Aku memandang bahwa mimpi kalian tentang Lailatul Qodar tepat terjadi pada tujuh malam terakhir, maka siapa yang mau mencarinya, lakukanlah pada tujuh malam terakhir.”
(HR. Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori I : 388 no. hadits 1105, II : 709 no. hadits 1911, dan Muslim, Sahih Muslim II : 822 no. hadits 1165).
Hadits di atas diriwayatkan pula dengan redaksi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَقَالَ تَحَرَّوْهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ.
Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda :
“Barangsiapa mencarinya, maka carilah ia (Lailatul Qodar) pada malam ke-27, dan beliau bersabda :
“Carilah ia pada malam ke-27, yakni Lailatul Qodar.”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad II : 27 no. hadits 4808, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubro IV : 311 no. hadits 8331, dan Abu Dawud Ath-Thoyalisi, Musnad Ath-Thoyalisi I : 257 no. hadits 1888).
Hadits ini tidak membatasi bahwa terjadinya Lailatul Qodar itu hanya pada tanggal 27 saja, namun keterangan ini termasuk salah satu bayan (penjelas) bagi petunjuk umum.
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil analisa di atas, maka kita mengetahui bahwa meskipun berbeda redaksiNamun pada dasarnya hadits² itu menunjukkan makna yg sama, bahwa Lailatul Qodar itu akan terjadi di antara tanggal-tanggal berikut : malam 21, 23, 25, 27, atau 29.
Selain itu, hadits-hadits di atas juga menunjukkan bahwa setiap tahun “posisi” Lailatul Qodar itu tidak selalu berada pada tanggal yang sama.
Sehubungan dgn itu, Ibnu Hibban telah membuat judul Bab :
ذِكْرُ الْخَبَرِ الدَّالِّ عَلَى أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ تَنْتَقِلُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي كُلِّ سَنَةٍ دُونَ أَنْ يَكُونَ كَوْنُهَا فِي السِّنِينَ كُلِّهَا فِي لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ.
“Keterangan khabar yg menunjukkan bahwa Lailatul Qodar di sepuluh malam terakhir itu akan berpindah pada setiap tahun, dan keadaannya pada tiap tahun tidak tetap di malam yg sama.”
(HR. Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Hibban VIII : 443).
Mengapa Nabi ﷺ Tdk Menjelaskan secara detail?
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : خَرَجَ نَبِـيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خَرَجْتُ ِلأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ اْلمُسْـلِمِينَ فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ فَرُفِعَتْ،وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالخَامِسَةِ.
Dari Ubadah bin Shomit, ia berkata :
"Nabi ﷺ keluar untuk memberi tahu ttg Lailatul Qodar, namun dua orang dari muslimin bertengkar. Beliau bersabda :’Saya keluar untuk memberi tahu kalian ttg Lailatul Qadar, tetapi si fulan dan si fulan bertengkar. Maka diangkatlah dariku, tetapi mudah-mudahan jadi lebih baik bagi kamu. Maka carilah pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima.”
(HR. Al-Bukhori, Shohih Al-Bukhori I : 27 no. 49, II : 711 no. hadits 1919, Ath-Thohawi, Syarh Ma’aani Al-Atsaar III : 89, dan Ibnu Hibban, Shohih Ibnu Hibban, VIII : 435 no. hadits 3679).
Lailatul Qadar yang dimaksud tidak sempat dijelaskan dgn lebih terperinci oleh Rasulullah ﷺ sehingga hal itu senantiasa dipertanyakan.
Tetapi yg jelas mengenai Fadhilah dan Keutamaannya tergambar pada sikap beliau ketika menghadapi sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, yang padanya terdapat Lailatul Qadar.
Maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri tidak diberitahu kapan tepatnya terjadi Lailatul Qadar.
Informasi tentang Lailatul Qadar diangkat kembali dengan sebab perkelahian antara dua orang laki-laki di hadapan Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan bahwa :
Lailatul Qodar tidak layak hadir di antara orang yg sedang berbuat maksiat. Sehubungan dengan itu, Al-Bukhari menetapkan judul di dalam Kitab Sahihnya :
بَاب رَفْعِ مَعْرِفَةِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ لِتَلَاحِي النَّاسِ
”Bab diangkatnya pengetahuan ttg (waktu terjadinya) Lailatul Qadar disebabkan pertengkaran manusia.”
(HR. al-Bukhori, Shohih al-Bukhori V : 158).
Dengan demikian kita dapat mengambil pelajaran bahwa dengan tidak dijelaskannya kepastian waktu terjadi Lailatul Qadar,
Rasulullah ﷺ berharap bahwa hal itu akan lebih baik untuk kita.
Apa kebaikan yang dimaksud?
Menurut sebagian 'ulama, agar kita Bersungguh-sungguh dalam menyambutnya dengan beribadah di setiap malam pada malam-malam terakhir itu.
️Andaikata waktu terjadinya itu langsung disebutkan pada malam tertentu, tentu saja setiap orang akan ber sungguh² hanya di malam itu, sementara untuk malam² lainnya akan kehilangan “gairah” dan kehilangan “antusias” dlm beribadah.
Demikian, wallahu a'lam. Semoga bermanfaat. Amiin
Advertisement