Memahami Al-Quran Jangan Terbatas pada Kata, Pesan Amin Al-Khuli
Selama bulan suci Ramadhan, umat Islam, khususnya di Indonesia, bergegas melakukan tadarus. Setelah Shalat Tarawih, biasanya, aktivitas Tadarus Al-Quran dilakukan di masjid-masjid, mushalla, dan langgar-langgar di pelbagai tempat di negeri ini.
Bahkan, yang menarik, juga dilakukan Khataman Al-Quran, setelah beberapa kali mengkhatamkan sebanyak 30 juz bacaan Kitab Suci itu. Biasanya, dilakukan pada malam-malam likuran atau malam pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Tapi, para ulama ada yang mengingatkan, pentingnya untuk memahami Al-Quran dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun antara yang membaca dan memahami sama-sama beroleh pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala (S.w.t). Sebagaimana kerap dipesankan pakar Tafsir Al-Quran dan penulis Tafsir Al-Quran Al-Misbah, Prof Muhammad Quraish Shihab.
Lalu bagaimana ulama dunia mengingatkan hal itu?
Amin al-Khuli mengatakan :
تعد الفكرة حيناما تحرم وتحارب ثم تصبح - مع الزمن - مذهباً، بل عقيدة، وإصلاحاً، تخطو به الحياة خطوة إلى الأمام.
"Pada suatu saat sebuah pemikiran, boleh jadi dianggap sebagai kekafiran, diharamkan dan diperangi, tetapi seiring dengan gerak zaman pemikiran itu akan bisa menjadi mazhab, keyakinan dominan dan gagasan perbaikan di mana dengannya kehidupan terus melangkah ke depan”.
Amin al-Khuli, suami dari Aisyah bint al-Syathi (Aisyah putri pantai), seorang perempuan ulama ahli tafsir, adalah seorang ahli tafsir dan sastrawan. Dia mengatakan Al-Qur'an itu sarat dengan bahasa sastra yang sangat tinggi dan sangat indah. Untuk memahaminya diharuskan memahami sastra.
Amin Khuli melalui pernyataan ini ingin memperkenalkan metode/pendekatan Tafsir Adabi, tafsir sastrawi.
Lalu dia mengatakan pandangan yang cemerlang. Katanya, saat kita membaca Al-Qur'an, seyogyanya, kita tidak hanya mengartikan kata atau kalimatnya, melainkan juga harus mencari dan melakukan penelitian/kajian tentang "al-umur al-kharijiyyah", hal-hal di luar teks. Yakni ruang dan waktu dan waktu saat ia diturunkan. Yakni sistem sosial, budaya, politik/pemerintahan, ekonomi, kekeluargaan, dan lain-lain. Sebab, Al-Qur'an berbicara kepada manusia yang ada di dalam ruang dan waktu ketika diturunkan. Dengan kata lain, memahami Al-Qur'an diperlukan memahami sejarah sosial dan budayanya.
Pendapatnya ini dipandang menjadi fase baru dalam metode penafsiran/pemahaman Al-Qur'an. Dan sebagaimana sering terjadi, pemikiran baru yang inovatif dalam hal-hal yang terkait dengan agama, mengalami stigmatisasi peyoratif, pensesatan stample negatif lainnya. Dan al-Khuli pun mengalaminya. Tetapi kini gagasan metode tafsir Adabi-Ijtima'i dan kontekstual, semakin diminati banyak intelektual.
"Kata-kata Amin al-Khuli di atas, menjadi terbukti. Perubahan itu tak bisa dihentikan," tutur KH Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Darul Tauhid, Arjawinangun Cirebon, dalam catatan "Tafsir Sastra dan Kontekstual". (17.05.2020-HM)
Advertisement