Memahami Ahlussunnah, Menganut Madzhab Empat
MAYORITAS Islam di Indonesia adalah penganut Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja). “Aliran yang bagaimana sih, yang bisa dikategorikan sebagai Aswaja itu?”. Tanya Ronald Alfian, seorang remaja yang tinggal di bilangan Rungkut YKP, Surabaya.
Pertanyaan ditujukan ngopibareng.id, langsung dijawab KH Abdurrahman Navis, Lc, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. “Aswaja adalah kepanjangan kata dari ‘Ahlussunnah waljamaah’. Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW,” jelasnya.
Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah, adalah: “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.
Istilah Ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya dipakai pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M). Keduanya dari Dinasti Abbasiyah (750-1258).
Istilah Ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, Al-Ma’mun menjadikan Muktazilah (aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada Al-Quran dan akal) sebagai madzhab resmi Negara. Dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan Al-Quran.
Untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, Al-Quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala permulaan). Sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa Al-Quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, Al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, di antaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah Ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu.
Teori Asy’ariyah lebih mendahulukan naql (teks Quran dan hadits) daripada aql (penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan Ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham Asy’ariyah atau al-Maturidyah di bidang teologi. Dalam hubungan ini Ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain.
Dari aliran Ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran Sunni di bidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik di bidang fikih dan tasawuf. Sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah Sunni (Ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Yang menggunakan rujukan Al-Qur’an, al-Hadits, ijma’ dan qiyas.
Atau juga Tasawuf Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifaat. Demikian penjelasan Kiai Abdurrahman Navis. (adi)