Melukis Harmoni dengan Warna Idul Fitri
Oleh: Khoirul Anwar *)
Di ufuk waktu, saat rembulan menggantikan tirai bulan Ramadan, Idul Fitri berlabuh, membawa pesan keanggunan yang mendalam. Hari ini bukan semata hari kemenangan; ia adalah simfoni kehidupan yang mengalun, mengundang jiwa untuk menyelami lautan introspeksi dan membebaskan diri dari belenggu ego yang mendominasi.
Bagai hujan lembut di tengah sepi, Idul Fitri menyapa kita hari ini, Rabu (10 April 2024). Bukan dengan hentakan guntur, atau sapuan angin.
Idul Fitri memanggil kita dengan bisikan kelembutan yang menggema; "Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walilla hilham". Ia mengajak untuk menaikkan kata dan gema, mengingatkan bahwa dalam gemericik kecil ada kekuatan yang menghidupkan. Ia mengajarkan bahwa maaf adalah embun yang menyegarkan, bukan badai yang menerjang.
Ego, yang serupa dinding tebal dalam labirin jiwa, kerap kali menutup pintu hati dari keindahan maaf. Ia adalah monster yang tumbuh dari benih keangkuhan, menyembunyikan cahaya kebenaran. Untuk membunuhnya, diperlukan lebih dari sekedar keberanian; dibutuhkan pencerahan, sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri.
Amar ma'ruf yang dianjurkan
Allah SWT, dalam kebijaksanaan-Nya, berfirman, “Ambillah maaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199), sebagai pengingat bahwa esensi kekuatan terletak pada kemampuan untuk memaafkan dan menghindari kebodohan.
Proses meminta maaf merupakan sebuah ekspedisi ke dalam, menelusuri lorong-lorong hati, mencari dan membuang sampah ego yang menumpuk. Ini bukan sekedar sebuah ritual kirim ucapan via media sosial atau jalur pribadi, namun tarian jiwa yang mengharuskan langkah demi langkah dalam ketulusan.
Rasulullah Muhammad SAW menuntun, "Tidaklah seseorang merendahkan dirinya karena Allah, kecuali Allah akan mengangkatnya." Hadits ini seperti peta bintang di langit malam, menunjukkan arah bagi mereka yang tersesat dalam kegelapan ego, bahwa kebesaran sejati berakar pada kerendahan hati.
Hubungan antarmanusia, bagaikan kebun yang membutuhkan perhatian panjang. Tumbuh dan berkembang dengan pemupukan kasih dan pemangkasan dendam. Setiap interaksi adalah kesempatan untuk menyiram tanah dengan pengertian, menanam benih persaudaraan.
Imam Al-Ghazali, suaranya masih bergema, mengingatkan, “Renungkan kesalahanmu sendiri sebelum menyalahkan orang lain,” mengajarkan bahwa dalam refleksi diri terdapat kunci menuju harmoni sosial.
Karenanya, Idul Fitri, dengan kehalusannya, mengajak untuk merayakan bukan hanya berakhirnya puasa Ramadan, tetapi juga kelahiran kembali jiwa yang lebih bersih dan terang. Ini adalah waktu untuk menata ulang, membersihkan debu kesalahan dan menyulam retak kekecewaan dengan benang pengampunan.
Dengan setiap doa yang terucap dan setiap tangan yang berjabat, Idul Fitri membuka babak baru dalam naskah kehidupan kuta. Di mana setiap kata, setiap langkah, berpotensi menjadi butir-butir mutiara dalam kalung hari. Ini adalah undangan untuk hidup dalam puisi yang nyata. Momen saat setiap langkah adalah bait dalam epik kehidupan. Laiknya kuas pelukis, menorehkan warna pada kanvas eksistensi.
Mari menyongsong Idul Fitri dengan jiwa yang siap mengarungi samudra pengampunan, melangkah dengan ringan tanpa beban dendam, membiarkan hati sebagai kompas yang menuntun menuju kebahagiaan yang hakiki. Dalam kesenyapan Idul Fitri, kita menemukan kekuatan bukan dalam guntur kemarahan, namun dalam hujan kesabaran dan kelembutan. Menyuburkan taman kehidupan dengan bunga-bunga pengertian dan kasih sayang.
Dalam kesederhanaan fajar Idul Fitri, tersembunyi kebijaksanaan yang dalam. Sebuah pelajaran tentang keterkaitan antara kehidupan dan alam semesta. Di sini, setiap detik menawarkan kesempatan untuk memulai lagi, untuk menenun kembali tapestri kehidupan dengan benang emas kebaikan dan perak pengampunan. Idul Fitri bukan sekadar titik akhir, tapi sebuah awal perjalanan baru menuju puncak kesadaran dan keharmonisan.
Hari ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menundukkan gelombang ego yang mengamuk, mengubahnya menjadi lautan tenang yang mencerminkan kejernihan langit. Idul Fitri pula mengingatkan bahwa kebijaksanaan tidak teriak namanya; ia berbisik lembut dalam hati yang terbuka, dalam jiwa yang siap mendengar.
Kita diajak untuk merenung, menyelami kedalaman diri sendiri, menggali lebih dalam daripada sebelumnya. Setiap individu merupakan dunia tersendiri, dengan misteri dan keajaiban yang menanti untuk diungkap. Dalam perayaan ini, kita bukan hanya merayakan berakhirnya satu fase, namun juga penghargaan atas perjalanan yang telah ditempuh, dengan segala tantangan dan pelajarannya.
Seperti seniman yang menciptakan karya seni dari kanvas kosong, kita diajak untuk menggambar ulang peta kehidupan kita, menentukan arah yang akan kita tuju, dengan pena yang dicelupkan ke dalam tinta pengalaman dan kebijaksanaan. Setiap perbuatan baik, setiap kata yang lembut, setiap senyum yang tulus, menjadi etalase penuh arti yang menambah keindahan pada karya seni kita.
Mari kita rayakan Idul Fitri dengan jiwa yang gembira, hati yang lapang, dan pikiran yang terbuka. Mari kita isi lembaran baru ini dengan kisah-kisah yang akan kita banggakan, dengan memaafkan, mengasihi, dan terus bertumbuh dalam kearifan.
Lewat Idul Fitri ini pula, mari kita temukan kekuatan untuk mengubah. Bukan hanya diri sendiri, tetapi juga dunia di sekitar kita. Taqabbal Allahu minna wa minkum, taqabbal Yaa Kariim.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. (*)
* ) Penulis adalah wakil ketua PCNU Kota Malang, pengurus LTN PBNU.
Advertisement