Melodrama Ahok-Veronica
Kabar perceraian Ahok-Veronica dalam beberapa hari terakhir menyita perhatian publik. Berita tersebut menjadi trending topics dan paling banyak ditelusuri di mesin pencari Google. Di kalangan media, berita sejenis ini disebut sebagai running issues.
Beritanya dipastikan akan terus berlanjut, mengalahkan berita perceraian seorang artis yang paling populer sekelas Kris Dayanti-Anang Hermansyah, atau bahkan cerita heboh di balik soal kawin cerainya (alm) Julia Peres-Gaston Costano.
Ahok bukan hanya populer, tapi juga seorang politisi yang punya banyak penggemar dan pendukung fanatik (die hard), sekaligus pembenci yang fanatik juga.
Berita perceraian Ahok-Veronica juga semakin menegaskan adanya pembelahan yang sangat dalam di tengah masyarakat kita, dan Ahok menjadi garis batas demarkasinya.
Para pendukung Ahok bahkan sampai baper, ramai-ramai membuat petisi agar pujaannya itu tidak bercerai. Sebaliknya para penentangnya mengait-ngaitkan perceraian tersebut sebagai sebuah upaya penyelamatan aset yang kemungkinan besar akan dibidik oleh Komite Pencegahan Korupsi (KPK) ibukota yang baru dibentuk oleh Gubernur DKI Anies R Baswedan.
Bagaimana kita harus menyikapi informasi semacam ini?
Pertama, kita harus menunjukkan simpati, bahkan empati, karena bagaimanapun sebuah perceraian adalah sebuah musibah, terutama untuk anak-anak. Ahok diketahui mempunyai tiga orang anak, dua diantaranya dalam usia remaja. Perasaan, dan kesehatan jiwa mereka harus dijaga. Berita-berita yang bersifat spekulatif hendaknya dihindari karena hanya akan menambah luka. Anak-anak lah yang akan menjadi korban utama.
Kedua, berbagai berita, informasi, maupun tulisan yang bersifat spekulatif hendaknya dihindari, karena hanya akan menambah dalam pembelahan di tengah masyarakat. Kewajiban kita bersama untuk mencari titik temu, bahkan sedikit demi sedikit menimbun jurang yang menganga di masyarakat kita.
Ketiga, dari sisi media sikap skeptis harus tetap dijaga. Wartawan dididik untuk mengembangkan sikap skeptis setiap kali menerima sebuah informasi, sampai kemudian menemukan fakta yang sebenarnya. Hanya dengan cara begitu wartawan/media bisa menyampaikan informasi yang sesuai dengan fakta, bukan framing yang dibuat oleh seorang tokoh, pengacara, humas atau konsultan PR.
Masih ingat sepotong berita kecil tapi cukup menarik perhatian publik, ketika Setya Novanto kedapatan melaksanakan salat dhuha di sebuah bandara? Bila dicermati berita yang dimuat di JPNN.com tersebut terdapat kode “adv,” atau advertorial. Jadi berita tersebut bukan sebuah berita genuine dan punya news value (nilai berita) yang bersifat human interest. Tapi sebuah berita yang dikemas untuk sebuah branding/pencitraan. Sah-sah saja. Namanya usaha.
Dalam kasus perceraian Ahok, media punya kewajiban untuk melakukan investigasi dan memberi informasi yang benar kepada publik, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Apakah memang benar hanya karena persoalan pribadi, atau benar ada motif tertentu. Ahok apa boleh buat sudah menjadi publik figur, bahkan pernah menjadi pejabat publik, jadi publik berhak untuk tahu.
Info yang tidak cukup akurat, dan belum terverifikasi tidak pada tempatnya disebar ke publik. Kita bisa terjebak dalam gosip murahan, ghibah (back bite), bahkan fitnah.
Dari sisi wartawan kasus perceraian Ahok ini sangat menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Seorang wartawan yang punya naluri investigasi, pasti tertantang.
Pertama, Ahok dan Veronica selama ini dikenal sebagai pasangan yang harmonis. Tak ada gosip-gosip miring seputar mereka. Keduanya saling mendukung, bahkan Veronica pernah menangis berlinang air mata ketika membacakan surat Ahok dari penjara. Jadi sangat mengagetkan ketika tiba-tiba Ahok menggugat cerai. Apalagi menurut pengacaranya, keputusan Ahok sudah final.
Kedua, perceraian ini sedikit banyak akan merusak reputasi Ahok yang tengah melakukan branding dan rebranding. Upaya itu sangat terlihat dari berbagai artikel di media, apalagi di medsos. Yang sangat mencolok ketika muncul berita bahwa Ahok sedang mendalami Al Quran, dan sudah hampir khatam membaca 15 juz.
Para pendukung Ahok, dan mungkin Ahok sendiri tengah mempersiapkan landasan bagi Ahok untuk take off kembali ke dunia politik. Modal sosial dan politik Ahok sangat kuat. Sayang kalau tidak dikapitalisasi. Dengan ancaman hukuman dan vonis di bawah lima tahun, secara perdata hak politik Ahok tidak mati atau dicabut.
Kabar perceraian ini tidak sesuai dengan image (citra) yang ingin dibangun. Seorang politisi yang sukses, dengan rumah tangga yang harmonis, istri yang sangat mendukung, dan anak-anak yang sukses, menjadi gambaran dan citra seorang politisi yang ideal.
Kecuali bila benar seperti gosip yang bersliweran di medsos, bahwa Ahok menjadi korban adanya pria idaman lain (PIL). Maka Ahok menjadi korban, didzalimi. Fakta ini bisa dikapitalisasi, playing victim. Sangat cocok dan disukai publik kita yang menggemari melodrama.
Ketiga, kabar penceraian ini muncul tak lama setelah pembentukan KPK Ibukota. Publik menghubung-hubungkan dengan isu korupsi di pembelian lahan RS Sumber Waras dan kemungkinan perceraian sebagai langkah pengamanan aset. Apalagi KPK Ibukota dipimpin oleh mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto dan mantan Wakil Kapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno. Dua nama ini tentu saja punya reputasi yang menggetarkan. Mumpung mereka belum bergerak, harus diantisipasi.
Kasus semacam ini memang sudah ada contohnya, yakni perceraian mantan PM Thailand Thaksin Sinawatra dengan istrinya Potjaman Na Pombejra. Untuk melindungi asetnya keduanya secara hukum bercerai, namun dalam realita keseharian mereka tetap bersama.
Ahok diduga menggunakan modus yang sama, apalagi dalam kepercayaan Kristen yang dianut oleh Ahok, perceraian itu sangat dilarang. Secara hukum perdata, mereka bercerai, tapi secara agama tetap terikat dalam sebuah perkawinan.
Di Medan, Sumatera Utara kota asal Veronica, begitu juga di kota Pontianak, Kalimantan Barat, sudah biasa di kalangan etnis Cina mengumumkan putusnya hubungan keluarga/perdata antara orang tua dengan anak, atau antara kakak dengan adik, melalui media massa.
Iklan semacam itu bahkan dilengkapi dengan foto dan alamat lengkap. Tujuannya bila terjadi persoalan hukum, keluarga tidak bisa disangkut pautkan lagi. Bagi yang tak biasa, iklan model begitu sangat mengagetkan.
Khusus untuk kecurigaan atas isu ini, media harus super hati-hati. Bila tidak terbukti bisa menjurus kepada fitnah, pembunuhan karakter dan implikasi hukum. Karena itu investigasi yang netral, tidak disertai prasangka, harus dilakukan.
Sikap yang terbaik adalah wait and see, sampai fakta yang nanti akan berbicara. Bila hanya sebuah drama, pasti akan terungkap. There is no perfect crime. End
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Advertisement