Melipir ke Sudi Mampir
Oleh: Bintang SH
Seperti biasa siang itu, Muhakam, 35 tahun, seorang karyawan perusahaan swasta di Jl. HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan, membeli makan siang di pedagang kaki lima yang berjualan di belakang kantornya. Hampir setiap hari, dia menitip beli makan siang kepada office girl dengan pilihan masakan Padang, sate Madura, soto Lamongan, mi ayam bakso, pecel lele, ayam penyet, rujak, minuman dingin seperti es kelapa muda dan aneka jus.
“Hampir setiap hari beli makan siang, kecuali ada ‘paket hemat’ dari meeting,” ujar Muhakam terkekeh. Yang dimaksud dengan paket hemat adalah makan siang yang terkadang disediakan pada kesempatan rapat kantor. Ayah dua putra ini menargetkan belanja makan siang sebesar Rp15.000,00. Bersama beberapa rekan kerjanya, Muhakam memilih menyantap makan siang di ruangan khusus bersantap yang disediakan kantor. Mereka dapat saling berbagi atau mencicipi menu makan siang masing-masing.
Setiap jam makan siang, lokasi pedagang kaki lima, warung, atau kedai di sekitar gedung perkantoran selalu ramai oleh pembeli. Baik yang akan makan di tempat, atau para office boy dan office girl yang dititipi membelikan makan siang karyawan untuk mereka santap di kantor. Para pembeli yang makan di tempat itu harus antre karena waktu makan siang karyawan dari gedung-gedung kantor sekitar yang bersamaan.
Warung Sudi Mampir, dengan menu soto Lamongan dan pecel lele, tampak dipenuhi pembeli. Hendro, 24 tahun, sibuk melayani pembeli bersama majikannya, Pak Aghfar. Hendro telah enam tahun mengikuti si pemilik warung berjualan soto dan pecel lele. Majikannya merintis berjualan nasi soto di Jakarta kurang lebih dua puluh tahun lalu. Diawali dengan berjualan di kantin Kampus Trisakti Grogol. Seiring waktu, Pak Aghfar tidak merasa cocok dengan cara yang diterapkan oleh pengelola kantin. Pak Aghfar pun memilih keluar dan membuka warung tenda. Semenjak itu, menurut cerita Hendro, majikannya sering mengalami penggusuran hingga terdampar ke belakang tanah kosong dekat Gedung Setia Budi.
“Saya ikut Pak Aghfar tahun 2010. Waktu itu Bapak berjualan di pojokan gang sempit belakang Setia Budi situ, terus digusur karena akan dibangun gedung. Gangnya dibuka untuk pelebaran jalan. Bapak pindah persis di depan pintu yang sekarang lagi ada proyek bangunan apartemen. Enggak lama, pindah lagi ke seberangnya, ya karena mau dibangun apartemen itu. Selama ngikut Bapak, saya ngalamin pindah-pindah ada delapan kali, tuh,” ungkap Hendro.
Peran pedagang kaki lima (sebagai pelaku industri mikro makanan rumahan) sangat penting untuk perencanaan dan pengembangan ekonomi di setiap kota. Sumbangsih pedagang makanan kaki lima terhadap ekonomi negara-negara berkembang telah diremehkan dan diabaikan (Street foods in developing countries: lessons from Asia–F.G. Winarno & A. Allain).
Meskipun demikian, kehadiran pedagang kaki lima yang terasa dibutuhkan ini tidak serta merta memiliki posisi yang kuat. Mereka sering kali tidak diberi pengakuan resmi yang pantas didapatkan. Alasan yang sering dikemukakan adalah kekhawatiran tentang kebersihan dan penyebaran penyakit—karena mereka berjualan dengan standar sanitasi rendah. Alasan lainnya, kemacetan terjadi di area sekitar tempat mereka berjualan. Mereka pun dianggap membuat wajah kota tampak kumuh.
Pengacara LBH Jakarta, Charlie Albajili, mengatakan bahwa telah terjadi penggusuran pada 2017-2019. LBH Jakarta mencatat penggusuran di 79 titik sepanjang Januari—September 2018. Sebanyak 277 kepala keluarga dan 864 unit usaha menjadi korban penggusuran. Pernyataan Charlie Albajili itu disampaikan di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin, 18 Oktober 2021.
Pembeli makanan di pedagang kaki lima seringnya mengabaikan aspek higienitas dan sanitasi. Dasar pemikirannya adalah bahwa apa yang ditawarkan oleh para pedagang kaki lima ini merupakan sesuatu mudah didapat dengan harga yang relatif terjangkau. Faktor ketersediaan merupakan keunggulan para pedagang kaki lima. Mereka ada hingga malam hari, membuat karyawan yang lembur atau pekerja yang sedang piket malam tidak pusing mengisi perut.
“Saya sedang melintasi Jalan HR. Rasuna Said, merasa lapar, lalu melihat gerobak nasi goreng,” ujar Dedi, seorang karyawan di Gedung Sampoerna Strategic. Ia baru saja kelar meeting pukul 19.20 WIB. Menurut Dedi, harga yang terjangkau, tidak repot memarkir mobil, dan cita rasa yang pasti menjadi pertimbangannya. Ia pun memesan nasi goreng jualan Pak Basuki.
Bukan hanya ketersediaan, cita rasa makanan dari pedagang kaki lima pun tidak kalah enak. Seperti Nasi Goreng Ojo Bangor—yang diracik oleh Pak Basuki, 52 tahun—pernah memenangi lomba masak nasi goreng yang dihelat oleh Restoran Dapur Sunda beberapa tahun silam. Memang banyak pedagang kaki lima di sana yang sudah menjadi legenda kuliner Jakarta, seperti Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih, Ayam Bakar Gantari di bilangan Bulungan, dan Sate Padang Ajo Manih di Rawamangun.
Pak Aghfar, pedagang soto, adalah contoh pedagang kaki lima yang mendorong teman sejawat PKL menata diri. Ia menggerakkan kegiatan ‘saweran sepuluh ribu’ bersama para PKL di belakang Gedung Plaza 89, dengan tujuan membuat kedai/warung tenda mereka lebih bagus.
Tampilan yang manis dengan tenda terpal yang seragam, tinggi tiang warung yang sama, menarik perhatian lurah setempat. Para PKL itu diundang ke kantor kelurahan. Di sana, mereka menyampaikan pikiran, mengajukan pertanyaan, bilamana mereka tidak diperkenankan berdagang di situ, lantas bagaimana nasib karyawan di sekitar gedung: akan makan di mana?
Rembukan dua puluh pedagang tersebut, ditampung oleh kelurahan setempat yang kemudian menghubungi Dinas UMKM. Sejalan dengan itu, mereka juga meneruskan ke pihak pengelola beberapa gedung perkantoran di sana. Tidak sia-sia, hasil dari mengkoordinasi rekan pedagang serta pendekatan komunikasi dari pejabat setempat membuahkan hasil. Mereka diberi izin berjualan di kawasan gedung.
Sesungguhnya regulasi dan kerja sama yang baik antara pejabat kota dan PKL dapat menyelesaikan persoalan terkait. Regulasi justru mendukung terciptanya keberlangsungan hajat orang banyak. Menurut Winarno & Allain; banyak cara sederhana untuk membuat hidup lebih mudah bagi para pedagang dan pamong praja. Penting untuk memastikan bahwa penyelenggaraan usaha pedagang kaki lima aman bagi konsumen, sekaligus juga menguntungkan kota.
Bagi para PKL sendiri, penataan serta kesadaran mengikuti aturan dan kerja sama dengan semua pihak (pengelola gedung, RT, RW, lurah) akan membuat posisi mereka lebih kuat.
“Ini ‘kan untuk kebaikan kita semua. Kalau kita mengikuti peraturan, tertib, dan warungnya rapi, kita enggak digusur-gusur lagi.” [Ed-WE]
***