Melipat Bumi Bertemu Nabi Khidir, Dua Karomah Kiai Hamid Pasuruan
Kiai Abdul Hamid (Mbah Hamid) Pasuruan, tetap dikenang hingga kini. Di tengah masyarakat, Pendiri dan Pengasuh Pesantren Salafiyah ini bukan nama yang asing, meskipun tak pernah berkiprah di dunia politik sebagaimana para kiai kondang umumnya.
Abdul Hamid lahir tahun 1914 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ayahnya, Kiai Abdullah bin Umar, seorang ulama asal Lasem, sedangkan ibunya Raihanah, putri KH Shiddiq yang juga berasal dari Lasem. Mula-mula belajar agama kepada kakeknya, dan kemudian dilanjutkan di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur.
Setelah menikah dengan putri Kiai Ahmad Qusyairi ia pindah ke Pasuruan, dan melanjutkan kepemimpinan pesantren yang didirikan mertuanya itu. Pesantren yang nyaris kosong karena ditinggal para santri ini, di tangan Kiai Hamid berkembang pesat.
1. Melipat Bumi
Salah satu karomah Kiai Abdul Hamid yang masyhur di kalangan warga Pasuruan adalah kemampuannya berada di berbagai tempat dalam waktu bersamaan dengan wujud serupa. Disebut ilmu melipat bumi. Hal ini terjadi, antara lain, saat Habib Baqir Mauladdawilah berkunjung ke pesantrennya.
Suatu hari habib yang punya kemampuan melihat sesuatu yang gaib ini datang menemui Kiai Abdul Hamid. Waktu itu banyak orang yang datang untuk meminta doa atau keperluannya yang lain. Setelah bertemu, Habib Baqir kaget lantaran orang yang terlihat seperti KH Abdul Hamid ternyata bukan Mbah Hamid. Sebab orang yang ditemuinya adalah sosok gaib yang menyerupai.
Kemudian ia mencari di mana sesungguhnya Mbah Hamid yang asli berada. Setelah ia selidiki dengan menggunakan ilmu gaibnya, ternyata Mbah Hamid yang asli sedang berada di Makkah.
3, Menyaksikan Masjidil Haram
Karomah KH Abdul Hamid juga pernah ditunjukkan kepada seorang habib sepuh yang datang kepadanya. Ia bertanya ke mana sang Kiai pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya.
Mbah Hamid tidak menjawab, tetapi langsung memegang habib tua itu. Seketika itu kagetlah ia, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah.
"Subhanallah!", ternyata habib sepuh tadi dibawa Mbah Hamid mendatangi Masjidil Haram.
3. Berbicara dengan Nabi Khidir
Berikut ini cerita KH Muhammad Yunus atau Mbah Yunus dari Tulungagung. Kata dia, suatu ketika Mbah Hamid berkata bahwa Nabi Khidir akan datang di kediamannya besok pagi hingga waktu dzuhur.
Pada saat itu kebetulan Mbah Yunus sedang berada di kediaman Mbah Hamid. Keesokan harinya orang-orang pun datang, ingin jumpa Khidir. Bahkan menurut Mbah Yunus ada beberapa Habib dengan berpakaian jubah lengkap dengan surbannya juga hadir disitu ingin bertemu Nabi Khidir.
Ketika orang-orang berkumpul, Kiai Yunus dipanggil oleh Mbah Hamid dan diminta agar mendekat. Beberapa saat kemudian datanglah seorang pemuda mengenakan pakaian yang sedang ngetren waktu itu. Orang-orang yang hadir tidak begitu memperdulikan pemuda yang pakaiannya berbeda dengan mereka.
Ketika bertemu Mbah Hamid, pemuda itu langsung bersalaman dan mencoba mencium tangannya. Mbah Kiai Hamid menolak dan justru dia sendiri yang ingin mencium tangan pemuda itu. Pemuda itu menolak.
Kiai Yunus yang menyaksikan adegan tersebut, kemudian diberitahu oleh Mbah Hamid bahwa pemuda itu adalah Nabi Khidir.
Lalu sang pemuda berganti pakaian dengan pakaian yang sudah kotor. Ia membersihkan selokan di sekitar kediaman Mbah Hamid sampai waktu dzuhur. Kemudian pergi.
Seusai salat dzuhur, salah seorang yang hadir bertanya kepada Mbah Hamid kapan Nabi Khidir akan datang. Mbah Hamid menjawab bahwa orang yang membersihkan selokan tadi adalah Nabi Khidir.
Advertisement