Melihat Tata Desa Surabaya Tahun 1275 M
Pada edisi Jejak Peradaban sebelumnya, sebagaimana diceritakan oleh G.H. Von Faber bahwa Surabaya dibuka oleh Raja Kertanegara pada tahun 1275 M. Sebagaimana diilustrasikaan oleh G.H. Von Faber bahwa Surabaya telah tertata sedemikian rupa sebagai Naditira Pradesa, desa tambangan. Surabaya memiliki batas batas teritorial sebagai berikut seperti termuat dalam buku “Er Werd Een Stad Geboren”.
Keterangan Legenda:
Daerah perbatasan pusat kota atau wilayah inti. (grensgebied van de stadskern, het gebied der vryen).
Batas eksternal wilayah dalam kota dan luar kota. (Buitengrens der stad tussen stadkern en buitengrens woonden de gestraften)
Perbatasan antar lingkungan atau daerah (Grentussen de wijken)
Saluran penghubung (Verbindingsgracht)
Pelabuhan dalam kota dengan jalur sempit (binnenhaven mel nauwe doorgang)
Jangkar (ankerplaats)
Wilayah Inti (pusat kota)
Tidak salah kiranya beberapa sumber kuno (prasasti), yang mengidentifikasi keberadaan kota (desa) pelabuhan atau penyeberangan di tepian kali (Brantas, Kalimas) yang sudah sistematis dan terstruktur. Wilayah inti kota (Surabaya) tertandai dengan tapal batas garis tebal dan secara alamiah dibatasi dengan sungai dan saluran penghubung (Verbindingsgracht).
Di dalam wilayah inti kota, menjorok ke dalam adalah sebuah marina yang menjadi sarana bagi penghuninya untuk keluar masuk kota, baik digunakan untuk menuju ke pedalaman maupun ke lautan lepas. Pelabuhan ini terkoneksi dengan sungai Kalimas, yang memang sudah lama terkabarkan sebagai jalur pelayaran dan perdagangan. Sementara di bantaran singai Pegirian di sisi timur kota juga memiliki fungsi sebagai pelabuhan. Ini dengan jelas ditandai dengan adanya simbol jangkar.
Di dalam batas kota atau wilayah inti kota sudah terdapat batas batas antar wilayah. Ini menunjukkan sudah adanya struktur administrasi dan tata kota. Nama-nama wilayah di dalam kota sebagaimana tersebut pada peta di atas adalah Kebon Oerang, Poengaran, Pengampon, Kalianjar, Pandean dan dermaga Semoet.
Batas-batas antar kampung di wilayah inti, seperti tergambar pada peta kuno yang berangka tahun 1275, menunjukkan bahwa peradaban desa (“kota”) pelabuhan sungai Surabaya melalui pimpinan daerahnya, kala itu, sudah sadar akan tertib administrasi pemerintahan kampung atau kawasan.
Mereka terlihat sudah memahami akan fungsi batas wilayah untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah kampung, sehingga bisa dipakai untuk menghindari potensi konflik. Jika batas wilayah tidak jelas, selain bisa menghambat proses pembangunan di desa, juga berpotensi terjadinya konflik antar warga desa. Setidaknya itulah yang tergambar pada Surabaya 1275 dengan batas-batas wilayah di dalamnya.
Bukankah persoalan batas wilayah di jaman yang moderen ini, jika dibandingkan dengan era kuno, juga sangatlah penting: apakah itu batas wilayah antar desa, antar propinsi hingga antar negara. Karenanya, adalah penting dengan adanya penetapan batas wilayah di suatu daerah sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman dan Penegasan Batas Desa.
Meski kala itu di Surabaya pada tahun 1275 masih belum mengenal Permendagri tentang Pedoman dan Penegasan Batas Wilayah, namun peradaban di desa pelabuhan sungai Surabaya itu sudah menerapkan batas batas wilayahnya. Seperti yang tergambar pada peta desa pelabuhan Surabaya 1275, batas batas antar kampung Pengampon, Kalianyar, Pandean, Kebon Urang dan Semut sudah terpetakan dengan jelas.
Wilayah Luar
Sementara beberapa wilayah, yang berada di luar batas kota inti, adalah kampung Gembong, Patjendolan, Kalisarie, Palimboengan, Padjagalan, Tambak Bajan, Boetoelan, Soeloeng, Kawidjilan dan Wonokoesoemo. Konon, nama nama kuno itu ada yang masih bertahan hingga sekarang dan ada juga yang sudah hilang. Perhatikan sebagian peta wilayah Surabaya sekarang untuk membandingkan dengan bagian wilayah Surabaya yang sama tempo dulu (1275).
Di luar wilayah batas luar bukan berarti tidak ada peradaban atau pemukim. Kawasan di antara batas sungai Kalimas dan Pegirian menjadi jujugan tumbuhnya peradaban manusia. Namun keberadaannya tidak menjadi perhitungan atau kurang dianggap penting. Peradaban “kota” pelabuhan dipandang lebih seksi. Banyak nakoda singgah dan mengangkat dagangan. Hal yang sama dideskripsikan oleh Raja Airlangga melalui prasasti Kamalagyan di awal abad 11.
Selain secara alamiah dibatasi oleh air, yang berbentuk persegi empat: sungai Kalimas (barat), sungai Pegirian (timur), Saluran Penghubung (utara) dan Saluran Penghubung (selatan), peradaban kota pelabuhan sungai ini juga ditandai dengan pembatas luar, yang mengelilingi di sepanjang daerah Tambak Bayan, Butulan, Sulung, Kawijilan, Wonokusumo, Gembong, Patjendolan, Kalisari, Palimbungan dan Pejagalan.
Pelabuhan Dalam
Mengacu pada pemetaan desa (“kota”) pelabuhan sungai dari buku “Eer Werd Een Stad Geboren…” karya GH Von Faber bahwa di wilayah “kota” tersebut terdapat sebuah pelabuhan sungai (Semut), yang masuk menjorok ke dalam wilayah desa (“kota”). Pelabuhan Semut ini dihubungkan dengan sebuah saluran kecil ke sungai Kalimas yang sudah terkenal sebagai sarana transportasi air yang menghubungkan antara lautan dan pedalaman.
Jika deskripsi di atas dihubungkan dengan isi dari prasasti Kelagen, peninggalan Raja Airlangga dari abad XI, di dusun Kelagen, desa Trosobo, kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo, maka ada kecocokan dimana prasasti Kelagan ini menyebut adanya desa tambangan, pelabuhan sungai di tepi aliran Kali Brantas (Kalimas = anak kali Brantas) yang sudah ramai dengan hilir mudik pedagang (saudagar).
Advertisement