Melayani Itu Jati Diri
Oleh: Akh. Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024.
Lelaki itu sedang duduk di sofa depan kamarnya. Di hotel yang berlokasi di tepi jalan utama. Tampilannya masih tampak bugar. Hanya pendengarannya yang sudah terbatas. Kerap harus diulang. Jika ingin berbicara dengannya. Tapi sorot matanya masih sangat tajam. Pertanda tak ada masalah dengan penglihatan.
Berdiri sih masih oke. Tapi untuk berjalan, butuh dituntun. Butuh didampingi. Agar bisa bertahan melangkah dalam beberapa meter jaraknya. Kekuatannya memang sudah mulai melemah. Walau mukanya tampak segar. Maklum saja, dia sudah renta. Sudah 109 tahun usianya. Ponorogo Jawa Timur asalnya. Dia menjadi salah satu jemaah Indonesia tertua. Untuk pelaksanaan ibadah haji tahun 2024 yang kini telah tiba.
Di tengah situasi serba santai sore itu di depan kamar inapnya, terjadilah dialog ringan antara Mbah Harjo Mislan dengan sekretaris Kloter 9 Daerah Kerja (Daker) Mekkah. Ya, nama bapak tua itu adalah Harjo Mislan. Rekan-rekan jemaah haji lainnya menyebutnya dengan Mbah Harjo. Sedangkan sekretaris Kloter 9 itu bernama Nur Asik. Akrab dipanggil Pak Asik.
“Mbah Harjo, sehat?” tanya Pak Asik. “Sehat,” jawab Mbah Harjo. Jawaban Mbah Harjo ini menunjukkan bahwa dia merasa tak masalah dengan perjalanan untuk beribadah haji ini. Walau usia sudah sangat senja. “Mbah Harjo senang bisa berhaji?” tanya Pak Asik lagi. Mbah Harjo pun menjawab dengan tenang: “Senang. Ya, senang!” Dialog ringan itu pun berjalan gayeng. Bersambut. Suasananya pun jadi menyenangkan.
Jawaban Mbah Harjo
Pak Asik tampak tertarik lebih jauh untuk mengorek jawaban Mbah Harjo dalam berhaji. Sebab, bagaimanapun, Mbah Harjo sudah sangat renta. Sangat senja. Sementara haji itu ibadah fisik. Perasaan senang tak bisa serta merta membuat fisik ikut perkasa. Karena problem usia. Lalu, bertanyalah kembali Pak Asik: “Bagaimana Mbah, apakah tidak kesulitan dalam menjalani ibadah haji?” Mbak Harjo pun kontan menjawab: “Tidak.” “Oh begitu ya?” tanya Pak Asik lebih lanjut. “Iya, karena ada petugas yang membantu,” jawab Mbah Harjo lebih rinci.
Mendengar jawaban itu, Pak Asik tampak tergerak untuk menanyainya lebih lanjut. Begini pertanyaan Pak Asik itu: “Jadi, petugasnya baik ya Mbah?” “Ya, baik,” sahut Mbah Harjo sambil sedikit mengangguk. Pertanda dia senang dan puas dengan layanan petugas haji yang membantunya selama menjalankan rangkaian ritual di ibadah haji tahun ini.
Melihat lelaki tua renta itu merasa senang dan puas dilayani oleh para petugas haji, kuteringat langsung kepada kata-kata mutiara (quote). Bunyinya begini: Service is what life is all about. Pelayanan adalah inti kehidupan. Kata-kata mutiara ini sejatinya hendak mengingatkan kepada kita bersama bahwa kemuliaan hidup itu bergantung pada sikap dan perilaku kita kepada sesama. Tentu substansinya dalah sikap baik dan perilaku positif. Bukan justeru sebaliknya, sikap dan perilaku negatif kepada sesama.
Sebagai sebuah nilai hidup, kata-kata mutiara di atas memang terbangun dan berkembang di dalam peradaban dan setting masyarakat Barat. Pesan dasarnya adalah agar masing-masing diri menjadi pribadi yang bisa memberi kontribusi positif kepada lingkungan sosialnya. Namun, sejatinya, substansi dasar tersebut juga berkembang dalam setting sosial masyarakat selainnya. Termasuk juga yang berkembang dalam tradisi orang Arab sekalipun.
Terbukti, dalam tradisi Arab Islam, sebagai contoh, dikenal sebuah mutiara hikmah yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama lainnya, Hadits. Bunyinya begini: khair al-nas anfa’uhum li al-nas. Hadits Nabi ini pun juga memiliki padanan makna yang setara dengan terjemahan dalam Bahasa Inggrisnya. Berikut bunyinya: The best of humans are those who are most beneficial to others.
Saat quote dalam Bahasa Inggris berbunyi Service is what life is all about, dan bisa diterjemahkan menjadi “Pelayanan adalah inti kehidupan”, maka pada dasarnya pelayanan terhadap dan untuk kebutuhan sesama adalah jati diri yang sesungguhnya. Dan prinsip ini melintasi batas etnis dan ras yang ada. Bahkan juga peradaban manusia. Artinya, pelayanan terhadap dan untuk sesama adalah panggilan kemanusiaan yang dari awal sudah ada. Manusia kini harus pula memelihara dan melanggengkannya. Dalam hidup dan kehidupan yang tak selalu sama. Antara dulu dan yang kini ada.
Bermanfaat kepada sesama, karena itu, adalah kemuliaan diri yang tak terhingga. Dan karena itu pula, menjadi baik saja tak cukup. Harus disempurnakan menjadi pribadi yang bermanfaat. Menjadi prbadi yang baik itu satu langkah awal. Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah the next level untuk menjadi mulia.
Prinsip hidup di atas makin lama makin terasa. Untuk harus selalu ada dan melembaga. Apalagi, hari-hari ini, saudara-saudara yang kita yang bergama Islam sedang menghadapi dan melaksanakan ibadah haji yang menyertakan jutaan manusia seluruh dunia. Indonesia saja tahun ini mengirimkan jemaah haji sebesar 241.000 orang jumlahnya. Tentu, itu semua membutuhkan kerja ekstra. Bukan sekadar retorika tanpa makna. Persiapan maksimal harus dilakukan sejak beberapa bulan sebelumnya. Semua risiko dimitigasi untuk lahirnya layanan yang didamba.
Semangat Kerja
Untuk itulah, pelayanan menjadi semangat kerja para petugas haji Indonesia. Apalagi, Menteri Agama RI Gus Yaqut Cholil Qoumas telah berpesan kepada para petugas haji tentang pelayanan sebagai inti kerja.
Rincinya, Menteri Agama berpesan tiga hal saat menutup acara Bimbingan Teknis Terintegrasi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi 1445 H/2024 M. Pertama, manfaatkan kesempatan berharga yang diperoleh untuk melayani jemaah haji dengan sebaik-baiknya. Kedua, sebagai rasa syukur karena sudah terpilih, layani jemaah haji sepenuh hati. Ketiga, agar bisa melayani jemaah haji secara maksimal, petugas haji harus melek digital.
Untuk kepentingan menjaga semangat pelayanan itulah, kerja kebermanfaatan tak boleh surut oleh kritikan. Kerja pelayanan tak boleh lesu oleh kejulidan. Tetap menjadi pribadi yang bermanfaat jauh lebih penting dari sekadar menjadi pribadi yang baik walau diidamkan. Karena kalau bermanfaat, pasti kebaikan tidak hanya ke dalam diri pribadi semata. Namun juga menjangkau sesama. Tapi, kalau hanya sekadar pribadi yang baik, belum tentu kebaikannya meluas ke lingkungan sekitar dan sesama.
Nah, kebermanfaatan akan semakin sempurna dengan pikiran positif yang terus dipelihara. Bahwa kritikan, atau bahkan kejulidan sekalipun, jika memang ada adalah vitamin yang akan menyehatkan tubuh dan jiwa. Dan biarkan kejulidan ini menjadi bagian dari citra diri pelakunya. Semakin diperlihara, semakin menggerogoti kemuliaan dirinya. Walau tak langsung saat ini dirasakannya.
Advertisement