Melawan Miskin Membangun Kesadaran ala Wong Nggunung
Serombongan bocah nggunung berseragam hendak pulang sekolah. Sedang asik sepertinya. Berjalan beriringan. Sesekali tampak bercanda ala anak-anak. Tak jelas benar siapa yang memimpin rombogan kecil ini. Tahu-tahu sudah nyelonong masuk ke halaman sebuah kantor. Tertulis di sana, Kantor CU Sawiran.
Familiar benar mereka masuk di halaman kantor itu. Masuk ke gedung pula. Pun bocah-bocah ini juga tanpa takut dihalau Satpam. Megundang tanya? Sudah pasti! Untuk apa bocah-bocah nggunung itu blusukan di kantor CU Sawiran.
CU itu rupanya kependekan dari Credit Union. CU kalau diterjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia lebih kurang berarti Koperasi Kredit.
Mereka mau kredit? Ya endaklah! Tidak mungkin mereka melakukan akad kredit sebab usia mereka jelas tidak memungkinkan melakukan hal itu. Tapi kalau hanya sekadar blusukan dan bermain sepulang sekolah, sudah pasti juga secara otomatis pak Satpam kantor itu juga akan menghalaunya. Lalu ngapain? Betul-betul mengundang tanya!
Justru pemandang lebih menarik terjadi di dalam kantor CU. Bocah-bocah itu berebut kursi di pelayanan. Sembari berebut kursi mereka minta lebih dulu dilayani. Lalu, dari dalam tas masing-masing tujuh bocah itu mengeluarkan buku kecil. Ada judulnya buku kecil itu. Judulnya adalah Si Siswa. Ternyata Si Siswa tak lain adalah “Simpanan Siswa Anak Sekolah”.
Oh... ternyata mereka hendak menabung! Meski masih usia bocah mereka memiliki hak yang sama untuk mendapat pelayanan terbaik di Credit Union Sawiran.
Apa yang dilakukan Grace Agustina kelas 4, Sherly Marselina kelas 4, Fery Ferdiansyah juga kelas 4, dan empat kawannya yang lain dari SD Wonosari I Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan, hari itu bukanlah cerita fragmen Indonesia. Aktivitas para bocah tersebut adalah kebiasaan yang dibangun oleh CU Sawiran. Grace memiliki tabungan Si SISWA 780 ribu, Sherly 570 ribu, dan Fery memiliki 390 ribu.
Susilomurti, pengurus CU Sawiran, mengatakan, pemandangan para bocah mendatangi lembaga keuangan – apapun lembaga keuangannya – untuk melakukan aktivitas menabung, boleh dikata menjadi peristiwa langka pada saat ini. Tapi kelangkaan ini dicoba digeser di CU Sawiran. Aktivitas seperti yang dilakukan tujuh bocah dari SD Wonosari I Nongkojajar itu baru sebagian kecil saja yang nampak.
Namun pada kali lain, Koperasi Kredit yang memiliki jaringan internasional ini akan kebanjiran bocah-bocah seusia mereka. Pada hari dan pekan tertentu. Mereka datang sesuai dengan kemampuan si bocah menyisihkan uang jajannya. Atau, sesuai orang tua mereka yang sengaja memberikan uang untuk ditabungkan.
Perjalanan membangun kesadaran seperti ini menurut Susilomurti bukan perkara mudah, “Namun kami tak akan berhenti untuk melakukan ini. Sebab, CU ini, dan juga CU-CU lain di Indonesia, bahkan di negara di luar Indonesia, dari kesadaran itulah akan memunculkan sebuah kepercayaan,” kata Susilomurti.
Sementara itu, kata dia, saling percaya merupakan pondasi paling dasar dari beroperasinya sebuah credit union. Rasa saling percaya tersebut ternyata juga berlaku ampuh bagi masyarakat Nongkojajar yang notabene adalah masyarakat gunung. Sehingga CU Sawiran yang semula hanya beroperasi di lingkup internal mampu bekembang pesat melompati batas agama dan kelompok apapun di dalam masyarakat.
Senada dengan pernyataan Susilomurti, para pemerhati dan pakar koperasi mengatakan, dari sekian banyak jenis koperasi di Indonesia, yang dominan berkembang baik dan mandiri adalah jenis koperasi credit union. Tak sedikit pula yang mengatakan, sebagai lembaga keuangan mikro formal non bank CU dapat melakukan kegiatan-kegiatan (micro finance) kepada anggotanya yang kebanyakan dari kalangan masyarakat miskin.
Sebagai lembaga simpan pinjam, daya tarik CU adalah penyaluran kredit atau pinjaman kepada anggota. Guna menghimpun modal, CU memiliki berbagai produk simpanan nonsaham, seperti simpanan bunga harian (Sibuhar) yang mirip Tabanas, simpanan pendidikan yang mirip tabungan berencana, dan simpanan sukarela berjangka yang mirip dengan deposito.
Sebagai lembaga pembiayaan, saingan CU bukan koperasi-koperasi yang jumlahnya beribu di Indonesia. Saingan sebenarnya adalah lembaga bank. Jadilah persaingan itu berkaitan dengan penentuan suku bunga. Kalau suku bunga simpanan bank di bawah 9 persen, CU menetapkan di atasnya, yaitu 9-15 persen. Kalau suku bunga pinjaman bank dihitung berdasarkan total pinjaman, suku bunga pinjaman CU berlaku menurun, dihitung dari sisa pokok pinjaman dengan besaran bunga 2,5 persen. Jadi di desa yang CU-nya besar, lembaga bank umumnya tidak laku.
”Tetapi, kami juga harus menjaga “penyakit” anggota CU, yang biasa disebut lapar kredit. Saya selalu ingatkan filosofi CU yang utama adalah keswadayaan. Kredit diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan di antara anggota. Makanya, CU menetapkan beberapa aturan agar seseorang bisa mendapatkan kredit, salah satunya hadir rutin dalam pertemuan kelompok, prestasinya dalam menabung, dan tak bermasalah dalam pembayaran pinjaman,” katanya. (widikamidi/bersambung ke tulisan kedua)